Kamis, 24 April 2008

Kepemimpinan



Oleh: M. Afif Hasbullah

Kemarin, Rabo 23 April 2008 saya di undang oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Unisda Lamongan dalam suatu acara Seminar Nasional mengenai kepemimpinan masa depan. Suatu tema yang menarik, apalagi akhir-akhir ini suhu politik regional semakin menghangat saja mengadapi pemilihan gubernur Jawa Timur. Saya amat-amati pula, audiens yang menghadiri seminar bertambah dan bertambah, bahkan katanya sampai cetak ulang sertifikat segala.
Ya, tema kepemimpinan akan selalu aktual dalam kehidupan. Karena kepemimpinan melekat pada konteks sosiologis dan dinamika dalam masyarakat. Binatang saja tidak hidup sendiri tanpa pemimpin, setiap koloni hewan akan senantiasa ada yang berkedudukan sebagai ratu, raja atau kepala kawanan. Apalagi manusia, dalam setiap jenjangnya pasti ada yang berposisi sebagai pemimpin, di tingkat keluarga ada kepala keluarga, di tingkat beberapa kepala rumah tangga ada ketua RT, di tingkatan beberapa rukun tetangga dan rukun warga ada kepala desa, kumpulan beberapa desa ada kepala kecamatan, dan seterusnya sampai himpunan yang lebih besar lagi, misalnya negara dan himpunan negara-negara.
Di atas baru kepemimpinan formal, ada beberapa macam kepemimpinan yang informal, misalnya tokoh masyarakat, kyai, pendeta, pemimpin organisasi kemasyarakatan (ormas) dan sebagainya. Mengingat kepemimpinan senantiasa melekat dalam konteks sosial, maka di mana ada masyarakat di sana ada kepemimpinan. Dalam kaidah kepemimpinan berbahasa arab dinyatakan, la dina illa bi jama’atin, wa la jama’ata illa bi imamatin, wa la imamata illa bi imamin, yang berarti tiada agama tanpa masyarakat, dan tiada masyarakat tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa pemimpin.
Mencermati keharusan keberadaan pemimpin di tengah-tengah masyarakat, maka patut dipahami pula bahwa sesungguhnya ada suatu tugas kepemimpinan yang harus diemban oleh seorang pemimpin terhadap masyarakat yang dipimpinnya itu. Tidak ada seorang pemimpin yang diberi kekuasaan oleh rakyat atau masyarakatnya tanpa ada suatu tanggung jawab yang harus diemban. Semua kepemimpinan mesti mempunyai tugas kekhalifahan yang melekat dan harus dipertanggungjawabkan, baik kepada rakyat maupun kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kekuasaan seorang pemimpin diperoleh dari mandat yang memberi kuasa, kepala desa diberi mandat oleh warga desa pemilihnya, demikian pula presiden diberikan mandat oleh para pemilihnya, baik oleh parlemen yang memilih ataupun rakyat secara langsung. Begitu pula, para raja dan para amir mendapat kuasa menjalankan tugas kepemimpinannya dari pendahulunya yang menunjuk untuk melanjutkan kepemimpinan raja atau amir yang sudah meninggal atau berhalangan tetap. Para Nabi pun mendapat kuasa langsung dari Tuhan untuk menyebarkan risalah Tuhan kepada seluruh ummat manusia.
Konsekwensi dari mandat yang dipunyai oleh seorang pemimpin kemudian berimplikasi pada kewenangan atau otoritas untuk mengatur rakyatnya menuju kepada kebahagiaan dan kesejahteraan bersama. Atas otoritas yang dipunyai seorang pemimpin ini menjadikan rakyat harus tunduk pada tata aturan yang dibuat oleh pemimpin. Dengan alasan bahwa, masyarakat atau rakyat yang telah sepakat untuk mengangkat pemimpin maka harus melepaskan sebagian haknya yang diserahkan kepada pemimpin atau penguasa. Karena bila tanpa penyerahan sebagian haknya kepada pemimpin maka tiada pernah ada pemimpin, bagaimana bias seorang pemimpin bergerak membuat aturan, menata masyarakat, menegakkan aturan yang dilanggar tanpa suatu otoritas yang berisi hak-hak yang diserahkan itu.
Oleh karena itu sesungguhnya tugas kepemimpinan adalah dalam rangka menjamin tata kelola dalam masyarakat untuk kedamaian, keadilan dan kesejahteraan. Dalam logika sederhana, tidaklah diperlukan pemimpin manakala seseorang hidup sendirian di tengah pulau, begitu bertambah jadi dua, tiga dan seterusnya pasti harus ada yang dituakan, yakni ketua suku misalnya.
Dalam konsep kepemimpinan Islam terdapat kaidah yang berbunyi Tasharruf ul imam ala rro’iyyah manutun bil maslahah, yang bermakna orientasi tugas kepemimpinan, baik tindakan maupun kebijakannya harus senantiasa seiring sejalan dengan upaya untuk kesejahteraan rakyatnya. Masyarakat yang sejahtera dalam hal ini, tentu bukan hanya sejahtera dalam table-tabel statistic sebagaimana halnya dengan data yang diungkap oleh Biro Pusat Statistik, misalnya kemiskinan menurun, tapi kenyataannya pengguran meningkat dan rakyat sulit mendapatkan bahan pokok untuk menjamin kelangsungan hidupnya .
Kesejahteraan itu sendiri mestinya bukanlah angka-angka semata, melainkan bukti yang ditunjukkan dari akses masyarakat untuk dapat terpenuhinya hajat-hajat mereka yang mendasar yakni akses untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat menopang hidupnya, harga bahan pokok yang murah, akses pendidikan yang murah, serta biaya pendidikan yang terjangkau.Sehingga untuk menentukan kesejahteraan seseorang atau masyarakat, mestinya tidak menjadi klaim dari penguasa saja, namun rakyat perlu didengar dengan persis apakah mereka sudah sejahtera atau belum. Dengan demikian, tugas kepemimpinan yang semacam itu mestinya dapat lebih dipahami oleh seluruh komponen masyarakat dari pada urusan bentuk-bentuk formal kepemimpinan yang diperdebatkan terus menerus tanpa ujung pangkal. Memperdebatkan sistem demokrasi dengan kekhalifahan misalnya, atau memperdebatkan pula apakah memakai sistem negara agama atau negara sekuler. Nampaknya bukanlah solusi yang segera dapat mengakhiri keinginan masyarakat untuk terbebas dari kemiskinan. Karena setahu penulis Islam sendiri tidak mengharuskan pembentukan sistem kepeimpinan hanya dalam model tertentu, tetapi tugas atau orientasi kepemimpinan itulah yang ditekankan dalam Islam, yaitu kesejahteraan atau maslahah amah. Wallahu A’lam.

Selasa, 22 April 2008

Ambiguitas TPI dalam Unas



Oleh: M. Afif Hasbullah[1]

Pemerintah telah membuat keputusan penting dalam penyelenggaraan Ujian Nasional (Unas), melalui Peraturan Mendiknas No. 34 Tahun 2007 tentang Prosedur Operasional Standar (POS) Ujian Nasional 2008 telah diatur mengenai keharusan keberadaan Tim Pemantau Independen (TPI) dalam Unas. Tujuan dari dibentuknya TPI ini adalah untuk meningkatkan kualitas Unas, termasuk kejujurannya, ketertibannya dan kelancarannya.
Tujuan dari standarisasi pendidikan nasional yakni untuk membuat proses dan hasil dari pelaksanaan pendidikan harus dapat dilakukan secara terukur, baik aturannya, sistemnya, serta pengawasannya. Diharapkan maksud dari menstandarkan pendidikan di Indonesia itu dapat terwujud.
Dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) Unas, telah dinyatakan bahwa pemantau terdiri dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ditunjuk, namun bila tidak ada ditunjuklah Perguruan Tinggi Swasta (PTS), namun bila juga tidak ada di suatu daerah, maka ditunjuk perguruan tinggi (PT) terdekat. Kehendak pembuat aturan yang menyerahkan pengkoordinasian dan pelaksanaan pada PT ini tentunya dilandasi oleh pola pikir, bahwa PT masih dapat jujur, adil, tidak memihak dan penuh integritas. Institusi akademis diharapkan terbebas dari pengaruh-pengaruh pihak yang berkepentingan untuk jalannya proses Unas, tentunya melalui cara-cara yang negative.
Belum lagi TPI yang dianggotai tidak saja oleh para dosen, widyaiswara, anggota organisasi profesi pendidikan non guru, dan para mahasiswa tingkat akhir itu diharapkan dapat betul-betul sebagai pemantau yang taat dan patuh pada aturan yang berlaku maupun SOP yang ada.
Kalau melihat SOP Unas, maka beberapa aturan yang sama dari tahun ke tahun semakin dilengkapi, diharapkan peluang untuk terjadinya kecurangan dapat diminimalisir kembali. Tahun 2008 ini saja ada beberapa macam pengetatan: misalnya, pertama, pemantau boleh menegur kepada pelaku dan disampaikan pada kepala penyelenggara (kepala sekolah); kedua, TPI di tingkat sekolah/madrasah ikut menandatangani berita acara serah terima bahan ujian dan atau Lembar Jawaban Komputer (LJK); ketiga, penandatanganan berita acara LJK oleh TPI dilakukan ketika lembar jawaban telah dimasukkan dalam amplop yang telah terlak (segel) dari pengawas ruang.
Keberdaan TPI saja sudah membuat gusar atau minimal berpengaruh pada suasana ketegangan ujian, belum lagi kalau tata aturan sebagaimana dalam SOP itu dilaksanakan 100%, apa tidak semakin tegang suasana ujiannya. Inilah yang kemudian menjadi bahan perbincangan dan harapan-harapan yang disandarkan pada TPI. Satu sisi tentunya pihak sekolah tidak menginginkan sekolahnya diawasi atau dipantau terlampau ketat, di sisi lain TPI harus menjalankan aturan sebagaimana dalam POS.
Pihak sekolah tentu ingin anak didiknya lulus semua, pelaksanaan dan hasilnya memuaskan. Bayangkan, kalau suatu sekolah ada yang tidak lulus (cukup ada, bukan banyak) maka reputasi sekolah tersebut pasti jatuh, tidak dipercaya lagi oleh para orang tua. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan Unas pihak sekolah mau tidak mau harus membuat suatu grand design untuk kesuksesan ujian anak didiknya. Ya, biasa saja grand design for success itu melelui jalur positif, misalnya dengan menambah jam belajar, membuat les-les, sering mengadakan try out, maupun upaya spiritual dengan mengadakan sholat hajat atau doa-doa agar menambah semangat dan ketenangan semua pihak di sekolah. Karena ada pula yang membuat model-model design negative untuk suksesnya Unas di sekolahnya, misalnya dengan berkolusi atau bermufakat untuk curang. Mungkin saja permufakatan itu terjadi antar pengawas, tapi TPI dan polisi yang mengawasi diam saja. Tentu hal ini, mungkin saja terjadi, walaupun tidak dapat diketahui.
Pada posisi lain, PT juga akan kehilangan banyak serapan ketika Unas tidak berhasil dengan baik, khususnya banyak peserta Unas yang tidak lolos. Kursi PT jelas akan berkurang. Di samping itu, citra PT dihadapan sekolah juga mesti harus terkesan baik, artinya dapat mengemban keinginan para siswa maupun pengelola sekolah walaupun harus tetap bersandarkan SOP dalam menjalankan tugasnya.
Secara umum sekalipun, model Unas yang sudah berjalan beberapa tahun ini juga masih menimbulkan pro dan kontra, ada yang setuju dan masih banyak pula yang menolak. Belum lagi standar penilaian kelulusan selalu naik, dan juga penambahan mata uji yang diumumkan sangat mendadak sekali. Ini semua kemudian menyumbang keprihatinan, baik bagi siswa, guru, maupun orang tua. Bahkan siapa pun saja secara umum akan tidak tega bila melihat anak-anak yang tidak lulus.
Problem psikologis seperti itu, mau tidak mau ada dalam benak setiap orang. Kadang-kadang sudah berusaha menetralisir, tapi kadang-kadang juga masih suka muncul. Hal ini menjadikan munculnya ambiguitas dalam pelaksanaan Unas, apakah dari pihak penyelenggara, TPI, maupun kepolisian. Secara sederhana kadang-kadang mereka juga berpikir, “wah anak saya juga peserta ujian, kalau terlalu tegang, lulus gak ya anak saya”. Demikian pula ada teman yang berseloroh, “untuk mendapat gelar sarjana saja mudah, gak pakai unas-unasan, apalagi dua tahun dapat ijasah seperti kelas-kelas jauh itu. Lha ini, anak-anak sekolah untuk lulus aja harus berjuang hidup mati”, demikian kata seorang teman di Dinas Pendidikan Lamongan.Untuk itu, apa yang harus dilakukan oleh koordinator TPI yakni PT setempat?, mau tidak mau harus memahami, mengayomi, dan bertindak secara arif, tegas namun bijaksana. Maka, komunikasi antara TPI dengan penyelenggara mestinya dapat dilakukan seintensif mungkin untuk sama-sama mempersiapkan agar pelaksanaan unas dapat berjalan sukses. Baik sukses dalam pelaksanaan maupun hasil.
Suatu tindakan negative atau pun juga yang terlalu over tidak lah layak untuk ditampakkan. Misalnya, pihak sekolah sudah tahu bahwa kecurangan itu dilarang, kenapa juga masih memaksakan untuk berupaya meluluskan anaknya dengan cara yang sesungguhnya meruntuhkan moral seorang guru yang sedari awal mengajari jujur dalam ujian. Kemudian, pihak TPI juga mestinya tidak terlalu over acting, sampai masuk kelas segala, menegur dengan kasar, atau tidak mau menandatangani berita acara dengan alasan kecurangan atau tidak sesuai POS. Padahal tugas TPI itu hanya tiga M, yakni Melihat, Mencatat, dan Melaporkan. Walaupun saat ini ada satu M lagi yakni Menegur, tapi semestinya penerapan M yang terakhir harus dengan cara yang arif. Wallahu A’lam.
[1] Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

Senin, 21 April 2008

Pilkada Ke Pola Lama, Apa Perlu?


Oleh: M. Afif Hasbullah

Kata demos dan kratos atau kratein menyusun suatu bentuk kata demokrasi yang kemudian terdefinisikan dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government from the people, by the people dan for the people). Di dalam praktik politik dan ketatanegaraan, Indonesia selalu mengusung label demokrasi dalam sistem penyelenggaraan Negara. Pada awal kemerdekaan mengusung demokrasi liberal, masa Orde Lama ada demokrasi terpimpin, pada Orde Baru ada demokrasi Pancasila dan pada era reformasi diusung demokrasi semata, tanpa kata sifat.
Namun sesungguhnya apa yang hendak dicari dengan berbagai macam demokrasi itu?, ada baiknya lebih dahulu kita meninjau unsur-unsur pembentuk demokrasi itu, sekedar contoh menurut International Commision of Jurist dalam sidangnya di Bangkok pada tahun 1969 dinyatakan bahwa unsur pembangun demokrasi adalah: keberadaan perlindungan konstitusionil yang memungkinkan rakyat mendapatkan hak-haknya dan prosedur mendapatkan haknya; kedua, lembaga peradilan yang bebas, independen dan tidak memihak; keempat, pemilihan umum yang bebas; kelima, kebebasan dalam mengeluarkan pendapat; keenam, kebebasan untuk berserikat dan berkumpul; dan ketujuh, adanya pendidikan mengenai civic education.
Kalau beberapa unsur di atas dapat dilaksanakan, maka diharapkan melalui demokrasi penyelenggaraan Negara akan dapat dilaksanakan dengan damai dan aman. Dalam arti, demokrasi hendaknya dapat menjamin suatu model suksesi kepemimpinan yang damai, dapat dinikmatinya suatu solusi permasalahan yang berkeadilan, dihargainya suatu kondisi pluralisme, berkembangnya toleransi dalam hidup bernegara dan bermasyarakat, serta diakomodasinya suara rakyat dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Dengan demikian, mestinya demokrasi adalah ketersatu-paduan antara rakyat dengan pemerintahnya, warga dengan pemimpinnya. Karena sesungguhnya antara rakyat dengan pemimpin bukanlah terpisah, namun integral dalam satu kesatuan warga bangsa itu sendiri.
Inilah kemudian, di masa lalu yang senantiasa menjadi perdebatan mengenai apakah pemimpin itu harus terpisah dengan rakyat atau satu kesatuan. Dalam sejarah tata Negara Indonesia, terdapat the founding father yang menginginkan hak asasi manusia (HAM) tidak dimasukkan secara eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), misalnya Soekarno dan Soepomo. Mereka berdua berargumentasi, bahwa dengan Negara Indonesia yang integralistik ini tidak diperlukan pemasukan HAM dalam UUD 1945 secara vulgar. Karena tidak ada pemisahan antara pemimpin dengan rakyat, selain itu pemimpin dalam Negara integralistik tidak mungkin mengkhianati rakyatnya.
Pandangan tersebut, agak berbeda dengan Hatta dan Yamin yang lebih bersikap hati-hati dalam memberikan batasan dan kekuasaan pada seorang pemimpin. Menurut mereka berdua, pemimpin harus jelas mana hak dan kewajibannya, demikian pula hak rakyat itu apa saja. Sehingga di kemudian hari diharapkan dapat diminimalisir suatu penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pimpinan Negara.
Apa yang terjadi di atas, kemudian membuat dinamika warna demokrasi yang berbeda-beda. Taruhlah demokrasi terpimpin pada masa Orde Lama, walaupun demokrasi itu dilakukan oleh presiden sebagai pemimpin pengambil kebijakan, nampaknya juga dilator belakangi oleh maksud untuk melindungi dan memakmurkan rakyat. Walaupun kemudian, menjadi suatu ekses-ekses pada pihak-pihak tertentu, bahwa ini tidak demokratis.
Lantas kemudian, demokrasi yang pada masa lalu banyak melalui sistem perwakilan, artinya rakyat hanya memilih perwakilan di DPR maupun DPRD dirasakan tidak memuaskan. Di antaranya juga karena yang menentukan eksekutif yang terpilih adalah perwakilan yang di DPR dan DPRD itu. Rakyat ingin memilih sendiri pemimpin mereka.
Reformasi yang datang sebagai upaya untuk merubah kepada kondisi yang lebih baik dalam prosedur maupun hakekatnya, mengganti otoritas pemilihan eksekutif dari dipilih oleh DPR atau DPRD menjadi dipilih langsung oleh rakyat.
Kelangsungan pemilihan langsung ini, ternyata juga disambut dengan rasa salut oleh sebagian rakyat. Namun, pada sisi lainnya ternyata substansi dari demokrasi itu sendiri belum cukup dirasakan manfaatnya. Entah itu kerusuhan setelah pilkada, rasa tidak terima yang cukup mewarnai dari pihak yang kalah, maupun dendam yang terus menerus dipelihara, sehingga semua ini menyisakan ketegangan, keterbelahan, dan perpecahan di tengah-tengah masyarakat.
Praktik demokrasi era reformasi ternyata juga masih menyisakan masalah. Dengan masalah tersebut, kemudian ada pihak yang berusaha untuk mengusulkan kembalinya pemilihan eksekutif (khususnya pemilihan kepala daerah) kepada DPRD seperti masa Orde Baru. Beberapa waktu lalu Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi bahwa sebaiknya model pemilihan kepala daerah (pilkada) kembali ke pola lama. Pilkada langsung sekarang ini, menurut tokoh Islam nasional itu, terlalu membutuhkan dana besar, menjadi ancaman disintegrasi bangsa, dan telah banyak mengorbankan warga Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga menambahkan bahwa keterlibatan langsung rakyat dalam pesta demokrasi tersebut cukup dilaksanakan dalam agenda pemilu untuk DPR, DPRD, DPD, presiden, dan wakil presiden saja.
Betulkah ini merupakan suatu solusi terbaik?
Menurut hemat saya, mereka yang usul seperti itu seperti anak kecil yang minta permen warna merah, dikasih. Tapi kemudian dimakan ternyata rasanya tidak enak, sehingga minta warna biru, demikian pula ketika dikunyah rasanya juga gak enak. Lantas, ingin kembali pada permen warna merah yang tadi. Ini sering kita dengar, ketika ada sosok rakyat yang mengidolakan soekarno, “ah, tidak seperti dipimpin Soekarno”. Demikian pula dengan kerinduan sebagian rakyat pada figur kekuasaan Soeharto dan yang lainnya. Sehingga, program kenegaraan kita menjadi maju-mundur, maju-mundur, dan maju-mundur.
Kesiapan berdemokrasi menjadi prioritas utama. Kalau kesiapannya tidak ada dapat dipastikan prosedur dan sistem seperti apapun senantiasa menyisakan persoalan. Ada beberapa hal yang menyebabkan dugaan kekurangsiapan sementara elemen warga bangsa ini dalam mengawal demokrasi:
1. mental yang muncul baru berkuasa, sehingga kalaupun kalah tidak siap, tidak rela menerima kekalahan.
2. politik masih menjadi bidang pekerjaan, bukan pengabdian dan perjuangan.
3. masih memakai emosi dan fanatisme kelompok dalam memandang kalah dan menang.
4. masih kerap memakai cara-cara inkonstitusional dalam memperoleh kekuasaan, misalnya suap, money politics dan sebagainya.
5. perilaku korupsi yang pada faktanya masih seiring berjalan dengan pelaksanaan sistem demokrasi.
6. sistem demokrasi yang kurang konsisten, misalnya perubahan aturan suatu undang-undang dengan tujuan semata-mata untuk mendukung kepentingan kelompoknya bukan kepentingan rakyat dan keluhuran demokrasi.
Walaupun poin-poin di atas belumlah mencakup keseluruhan kekurang siapan berdemokrasi, namun setidaknya dapat menunjukkan pada kita mengenai plus minus demokrasi yang sedang kitya laksanakan. Sehingga dengan ini semua, dapat dipetakan mana hal-hal yang harus diperbaiki di masa yang akan datang.
Terus terang, dengan usulan kembalinya pilkada ke pola lama, saya ragu dengan ketulusan pihak-pihak yang mendukungnya. Saya khawatir apa yang diusulkan itu karena pihak yang mengusulkan sering kalah, belum lagi ketidaksiapan kelompoknya untuk berdemokrasi secara fair, dan mungkin juga kekurangmampuan pihak pengusul untuk memanaj dan mengarahkan warganya dalam berpolitik. Sehingga kocar-kacir dan terpecah-pecah.
Mestinya yang perlu dilakukan adalah penguatan simpul-simpul organisasi masyarakat, termasuk tapi tidak terbatas pada NU dan Muhammadiyah. Sejauh mana dapat mengarahkan dan mensolidkan massanya agar dapat berpolitik secara dewasa, santun dan bermartabat serta tunduk dan patuh pada organisasi. Demikian pula kepada partai politik (parpol) hendaknya dapat mensolidkan konstituennya dengan cara-cara yang mendewasakan rakyat sebagai insan demokrasi. Cara-cara yang elegan dan jujur perlu dilakukan oleh parpol dalam merebut simpati rakyat, pencitraan mestinya dilakukan dengan contoh para wakil rakyat dalam berpolitik, dan juga harus ditunjukkan dengan kinerja yang secara nyata ditujukan pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.Jadi, yang harus dilakukan adalah: pertama, para pemimpin harus jadi contoh pemimpin yang baik, jujur, dan adil; kedua, dewasakanlah civic education para anggota organisasi dan para konstituen parpol menjadi cerdas berpolitik. Sekian.

Sabtu, 19 April 2008

Membangun Karakter Mahasiswa


Oleh: M. Afif Hasbullah[1]

Perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia berjumlah 2780 (tahun 2007), di Jawa Timur 300 perguruan tinggi (tahun 2007), dan di wilayah Lamongan, Bojonegoro dan Tuban terdapat sekira 15 perguruan tinggi di lingkungan kopertis VII, jumlah ini belum termasuk perguruan tinggi di lingkungan Kopertais IV. Suatu potensi yang sangat besar untuk dapat bahu membahu membawa kehidupan masyarakat secara lebih baik, suatu tugas yang ”mulia” namun mempunyai konsekwensi yang tidak ringan sebagai tanggung jawab mempersiapkan asset bangsa.
Ya, mahasiswa adalah asset masa depan bangsa, baik secara individual maupun kolektif. Mahasiswa juga asset bagi keluarganya, orang tuanya, saudaranya dan masyarakat lingkungannya. Sebagai asset, tentu keberadaan dan kedudukan mahasiswa sangat diperhitungkan. Dalam koridor keluarga tradisional,sangat mungkin seorang mahasiswa dianggap mengetahui akan sesuatu. Sedangkan dalam konteks kemasyarakatan, mahasiswa seringkali dimunculkan sebagai kelompok yang dapat menggerakkan perubahan atau pengembangan masyarakat. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, bahkan lebih hebat lagi, mahasiswa acapkali selalu dimajukan sebagai ”enlighter group” dan ”pusher group”, karena mahasiswa hampir tidak pernah tertinggal dari issue-issue yang mengabdi pada kesejahteraan dan keadilan untuk rakyat. Ingat, berdirinya negara republik Indonesia yang diinisiasi dengan gerakan-gerakan strategis yang dapat membuat pemerintahan kolonial Belanda sangat direpotkan. Ingat pula, penumbangan rezim Orde Lama yang juga dimotori oleh para mahasiswa, berikutnya disusul dengan beberapa aksi mahasiswa baik berupa konsepsi pemikiran, aksi face to face sebagai advokasi mengingatkan kebijakan pemerintah Orde Baru, sampai pada penggulingan kekuasaan Orde Baru yang amat bersejarah tersebut. Semuanya menunjukkan bahwa mahasiswa sangat berperan, tidak saja sampai konteks argumentasi, tetapi sampai kepada nyawa yang dipertaruhkan. Misalnya, Arif Rahman Hakim yang terbunuh ketika gerakan tritura pada ujung Orde Lama, juga beberapa aktifis yang kehilangan nyawa ketika terjadi peristiwa semanggi I dan II pada tahun 1998.
Diantara para alumni gerakan mahasiswa, yang biasa disebut aktivis tersebut, banyak yang eksis dan memberikan kontribusi yang baik bagi proses membangun negara tercinta ini, walaupun tidak semua alumni aktivis ketika menduduki jabatan dalam elit lokal maupun negara kemudian mampu menunjukkan kapasitasnya seperti gerakan-gerakan moral yang telah didengung-dengungkanketika masih menjadi mahasiswa yangsangat idealis. Dalam konteks demikian, posisi agent of change yang pada waktu-waktu lalu sangat intens untuk merubah sesuatu yang dianggap salah menjadi sesuatu yang lebih baik, menjadi bertolak belakang. Artinya ketika sudah dihadapkan dan masuk dalam struktur yang hendak diubah tadi ternyata malah ”diubah” oleh struktur yang sudah membudaya.
Dalam kondisi yang demikian, muncul pertanyaan tentang integritas moral dan karakter moral anak bangsa. Persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini, misalnya konflik pilkades, konflik pilkada, konflik pemilu, bahkan konflik-konflik di level ormas, orpol dan institusi seringkali ditimbulkan oleh arogansi berpikir dan bertindak. Seringkali apa yang menjadi persoalan kemasyarakatan kita ditimbulkan oleh sikap mengabdi pada ”kebenaran” menurut masing-masing orang dan kelompok, tanpa sekalipun mengimbangi apa yang dianggap benar tersebut dengan cara dan metode yang tepat di dalam kondisi aktual masyarakat. Akhirnya yang terjadi adalah, kesan --atau bahkan kenyataan—perebutan akses sumberdaya, yang meliputi kekuasaan, jabatan, kekayaan yang ironisnya sumberdaya tersebut tidak membawa manfaat terhadap penyelesaian derita rakyat.
Perguruan tinggi sebagai motor atau lokomotif agen perubahan, pada saat ini diharapkan dapat memberikan bekal untuk terwujudnya karakter manusia masa depan yang lebih baik, religius dan nasionalis. Kampus adalah kancah candradimuka untuk mencetak calon pemimpin dan penerus bangsa, karena itu Perguruan Tinggi selayaknya mengembangkan sistem pembinaan mahasiswa sesuai dengan karakteristik Perguruan Tinggi masing-masing dengan bercermin kepada jumlah teori dan praksis yang lazim dirujuk di Perguruan Tinggi yang sudah mantap. Dalam pendampingan mahasiswa harus muncul sikap legawa dan bersikap going low profile untuk sama-sama bermain lumpur atau memanjat pohon tanpa alas kaki apalagi dasi. Inilah setidaknya tangga awal upaya untuk membangun soft skill mahasiswa.
Terdapat beberapa poin yang dapat dijadikan pegangan dalam melakukan pendampingan kemahasiswaan atau yang lebih dikenal dengan Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa), yakni: pertama, Ormawa mesti membangun kompentensi intelektual kemampuan berpikir kritis melalui pendalaman bidang studi, diskusi, seminar, lokakarya, seni, olahraga dan kemampuan interpersonal lewat komunikasi kepemimpinan organisasi kemahasiswaan; kedua, Ormawa mesti melatih mahasiswa menguasai dan mengendalikan emosi diri, cara mengungkapkan dan menguasainya mesti dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Oleh karenanya, diperlukan interaksi antara mahasiswa senior dan junior dalam berbagai kegiatan dalam suasana saling berbagi.
Ketiga, Ormawa seyogianya menanamkan kemandirian dan kemampuan menyelesaikan masalah, sedangkan Perguruan Tinggi harus mempersiapkan lulusan yang secara soft skill siap pacu dalam lapangan kerja. Keempat, Ormawa seyogianya menghangatkan hubungan interpersonal, hal inimengingat intensitas kegiatan kemahasiswaan menumbuhkan teloransi. Kelima, Ormawa hendaknya dapat menumbuhkan identitas diri yang diinginkan mahasiswa. Keterlibatan Ormawa pada berbagai kegiatan kampus adalah indikasi pengakuan terhadap keberadaan Ormawa itu dan secara sosial mendudukannya dalam wacana kesetaraan komunitas.
Keenam, Ormawa mesti membantu mengembangkan hubungan okupasional, melalui kegiatan yang beraneka ragam, mahasiswa secara perlahan-lahan membangun komitmen terhadap minat dan kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya. Dalam kontek inilah organisasi alumni menjadi penting sebagai media untuk membangun jaringan dan karier. Ikatan alumni membangun kebanggaan, kebersamaan dan komitmen bersama alumni. Alumni tumbuh besar karena dilepas (agar dewasa) dari kampus dan seyogianya memberikan masukan kepada almamaternya kerena tahu kelemahan dan kelebihan almamaternya. Ketujuh, Ormawa seyogianya membangun integritas mahasiswa sebagai manusia dewasa dan terdidik. Integritas inilah yang membangun manusia seutuhnya, sehingga mampu menjaga keseimbangan antara nilai-nilai moral yang sejak lama diyakininya dengan nilai-nilai moral yang universal yang bermunculan di kampus. Integritas ini juga mengajari mahasiswa agar tahu diri mana hak dan tanggung jawabnya di kampus. Mahasiswa senantiasa diingatkan terhadap visi dan idealisme masa depannya, semuanya perlu pembiasaan, membudayakan suatu pola pikir dan pola tindakan menjadi suatu habits memang membutuhkan tetesan keringat semua pengelola perguruan tinggi untuk keberhasilan tujuan menciptakan manusia seutuhnya. Ketahuilah, yang paling lama dikenang dan sengat memengaruhi alumni adalah: Ormawa tempat mereka berkelompok dan berkreasi, Dosen (bukan mata kuliah yang diajarkannya), Teman mereka yang temui, Persahabatan yang di bina selama di kampus.
[1] Rektor Univ. Islam Darul ‘Ulum (Unisda) Lamongan.

Jumat, 18 April 2008

Aptinu dan Pengembangan Perguruan Tinggi NU


Oleh: M. Afif Hasbullah[1]

Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 11 dan 12 April 2008 saya berangkat memenuhi undangan Asosiasi Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (Aptinu) untuk sebuah acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang mengambil tempat di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Bandung. Semenjak berdirinya Aptinu tahun 2001, saya baru sekali itu menghadiri acara. Bukan apa-apa, ini mengingat hampir tidak pernah ada undangan untuk menghadiri acara-acara Aptinu, apakah seminar ataupun rapat. Pernah sekali, ketika diundang ke Semarang, kalau tidak salah acaranya Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas), tapi karena secara bersamaan saya pun ada acara yang juga penting yakni Rapat Pimpinan (Rapim) Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) wilayah Indonesia timur, maka terpaksa saya wakilkan ke staf untuk menggantikan.
Apa yang saya lihat di dalam acara rapat Aptinu adalah, (maaf) kurangnya respon dari perguruan tinggi (PT) dilingkungan Nahdlatul Ulama (NU) untuk dapat menghadirinya. Ya, dari sisi kehadiran saja PT di lingkungan NU ini pada susah hadir. Padahal tujuan penyelenggaraan Rakernas ini tentu saja untuk membuat suatu strategi dalam rangka pengembangan PT NU menjadi lebih baik, bermutu dan berdaya saing. Saya hanya dapat menduga, apakah tingkat kehadiran yang tidak memuaskan itu karena acaranya yang mendadak, dalam arti undangan baru diterima oleh PT NU rata-rata baru 3 sampai 2 hari menjelang acara, ataukah karena memang respon dari PT NU ini masih belum baik dalam memandang eksistensi dan urgensi dari Aptinu sebagai organ NU dalam rangka membuat suatu pergerakan dan sinergitas strategis perbaikan kualitas PT-PT NU.
Namun demikian, apa yang terjadi di arena Rakernas tersebut, hendaknya tidak menjadikan kendornya semangat para PT pendiri Aptinu atau juga para pengurus yang saat ini memegang tampuk kepemimpinan yang ada. Bahwa, Aptinu harus senantiasa berakselerasi dan menunjukkan kegiatan dan program-program dalam rangka pemberdayaan PT NU. Saya seyakin-yakinnya ketika ada keistiqomahan dari beberapa anggota untuk bergerak bersama, insyaalloh kelak Aptinu akan lebih dilirik oleh PT-PT NU yang saat ini responnya masih kurang.
Lantas siapa sih PT NU itu?, menurut hemat saya PT NU itu mempunyai beberapa klasifikasi. Pertama, PT yang didirikan resmi oleh organisasi NU, jadi semenjak pendirian sampai pengelolaan atau manajemennya diatur dan dipimpin oleh organisasi NU. Kedua, Model PT yang didirikan secara joint antara organisasi resmi NU dengan pihak lain, misalnya dengan aghniya (orang berada atau kaya) di lingkungan NU. Sehingga di dalam pengelolaannya, PT bentuk ini di manaj secara bersama-sama antara NU secara organisatoris dengan pihak yang bekerjasama tersebut. Ketiga, adalah PT NU yang sama sekali organisasi NU tidak terlibat, baik dalam pendirian maupun pengelolaannya. Dalam artian, PT bentuk ini didirikan oleh para loyalis atau para pengikut (jamaah) NU, yang biasanya memang ingin mengembangkan pendidikan yang diwarnai oleh ajaran ahlussunnah wal jamaah (aswaja).
Keempat, PT yang pada awalnya secara organisasi didirikan oleh NU, namun dalam perkembangannya PT ini kemudian secara pengelolaan pindah tangan ke swasta atau kelompok. Kelompok ini tentunya bisa saja masih mempunyai benang merah dengan NU (warga NU), bisa pula sawsta lain yang secara ideologis berbeda. Hal demikian kerap terjadi karena perebutan status kepemilikan lembaga, baik dilakukan secara terang-terangan maupun secara halus atau pelan-pelan.
Kelima, ada pula bentuk PT yang pada awalnya didirikan oleh swasta NU (jamaah NU) secara pribadi atau kelompok, namun tidak melibatkan organisasi NU. Di dalam perkembangannya PT ini kemudian diserahkan pengelolaannya pada organisasi NU. Tentu saja, karena pengelolaan ini diserahkan pada organisasi, maka organisasilah yang selanjutnya mempunyai kewenangan atau otoritas manajerialnya. Proses pemindahan kepemilikannya dapat dilakukan dengan wakaf atau pun jual beli, bahkan dimungkinkan penjualan dengan “harga” yang sangat murah, karena ada niat beramal tentunya.
Saya melihat, belum ada pemetaan tentang model PT NU semacam ini. Yang ini, tentu saja adalah sebagai salah satu bentuk data base yang harus dimiliki oleh Aptinu. Walaupun bentuk-bentuk latar belakang anggota semacam itu tidaklah kemudian menjadikan perbedaan perlakuan atau kekhususan pada anggota satu dibandingkan lainnya. Dus, dengan karakteristik di atas lah yang dapat atau harus diajak untuk sama-sama bergabung.
Di samping itu, untuk kelengkapan data base seyogyanya secara intensif harus mulai didata potensi PT NU dimaksud. Tentu potensi Universitas berbeda dengan yang Institut, Sekolah Tinggi dan Akademi. Ini harus jelas, termasuk sebaran tempatnya ada di mana. Ke depan diharapkan muncul pusat-pusat keunggulan PT-PT NU, misalnya suatu PT NU yang mempunyai keunggulan bidang ilmu kedokteran ada di mana, kemudian yang unggul di bidang ilmu komputer ada di mana, dan seterusnya. Sehingga diharapkan ada semacam pemfokusan dari masing-masing PT yang tentu saja ini harus diimbangi dengan pemetaan jurusan apa harus dibuka di mana. Paling tidak ada semacam kesepahaman zonaisasi jurusan, taruhlah jurusan hukum sudah di buka oleh suatu PT NU di kota X misalnya, maka jurusan yang sama hendaknya tidak dibuka oleh anggota PT NU se daerah.
Dari sudut lain yang harus juga diketahui adalah, ada PT NU yang hanya membuka jurusan agama saja (biasa disebut PTAIS), bisa juga multi fakultas yang membuka jurusan agama dan umum (Universitas) , bisa pula bentuknya adalah institut (banyak jurusan tapi serumpun keilmuan.
Era Kompetisi dan Langkah PT NU
Tidak di rangukan lagi, bahwa saat ini dunia telah melangkah menuju suatu persaingan global, hampir tidak ada sekat lagi antar Negara. Ini semua berlaku dalam banyak lapangan, misalnya ekonomi, perdagangan, pekerjaan, maupun bidang pendidikan. Dunia akan memilih tenaga kerja atau para professional yang berkualitas dan standar pendidikannya memenuhi syarat standar internasional atau accredited dari lembaga-lembaga terpercaya, baik nasional maupun internasional. Mereka para stakeholder tidak mau menerima lulusan yang seperti kucing dalam karung. Semua harus teruji dan terpercaya, baik PT nya maupun SDM lulusannya.
Dalam kondisi semacam itu, mau tidak mau, suka tidak suka, potret persaingan tidak hanya dalam level nasional, namun juga kalangan internasional akan turut (bahkan ada tanda-tanda sudah mulai) bermain dalam penyelenggaraan pendidikan di Negara ini. Lho kok?, Ya, karena bidang pendidikan adalah satu sector yang masuk kategori jasa yang diperjanjikan dalam kesepakatan GATTS yang ditandatangani dan diratifikasi oleh para anggota World Trade Organization (WTO). Indonesia pun, sudah mengeluarkan undang-undang yang meratifikasi ketentuan WTO itu, bahkan Peraturan Pemerintahnya pun sudah keluar. Hal ini diperjelas lagi dengan mulai masuknya rancangan ketentuan tentang bolehnya pihak asing ikut dalam pembiayaan penyelenggaraan (pengelolaan) lembaga pendidikan di Indonesia dengan maksimal penyertaan (saham) 49 persen.
Nah, menyikapi hal ini mestinya para pengelola PT di Indonesia umumnya dan PT NU khususnya, hendaknya dapat mulai bangun dari keterlenaan yang dialami selama ini. Karena ke depan sudah jelas, persaingan bukan hanya milik PT besar namun juga sangat mungkin PT menengah ke bawah akan terkena imbasnya.
Walaupun belum ada data pasti, sepengetahuan saya PT NU rata-rata atau kebanyakan berada dalam zona menengah ke bawah. Yang berposisi PT maju dan mandiri tidak dapat dikatakan mendominasi populasi yang ada. Namun semacam ini, mestinya bukanlah posisi yang teramat jelek. Karena dengan masih adanya PT NU yang berkualifikasi baik atau unggul diharapkan dapat menjadi mentor atau memimpin niat perbaikan terhadap rata-rata PT NU yang lain itu.
Sudah tidak saatnya lagi, PT NU ragu-ragu atau mempunyai pandangan negative dengan kebijakan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang telah diregulasi oleh pemerintah. Memang terasa, bahwa akhir-akhir ini ketentuan penyelenggaraan pendidikan tinggi cenderung ketat. Namun ini mestinya tidak disikapi dengan keraguan atau kemalasan untuk mengikuti aturan tersebut. Karena siapa yang tidak kooperatif, justru akan tertinggal di kemudian hari.
Pengalaman Unisda sendiri menunjukkan, bahwa dengan kooperatif itu akselerasi pengembangan kampus menjadi lebih cepat. Semua diatur sedemikian rupa untuk mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti). Efek lain adalah, standard dan kualifikasi PT akan mudah diukur. Tentu tidak hanya akreditasi, beberapa kemenangan kompetisi tingkat nasional merupakan salah satu potret factual tentang posisi dan kedudukan suatu PT berdampingan atau sekelas dengan PT yang lain.Oleh karena itu, Aptinu harus segera mengambil langkah-langkah terbaik dalam memacu akselerasi grade PT NU, semuanya tanpa terkecuali. Suatu pekerjaan besar memang, namun apabila ghirah semacam ini senantiasa terpaut dengan khitthah pendirian NU, insyaallah langkah dan program ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Sekali lagi komitmen para pihak di NU sangat diharapkan. Semoga.
[1] Anggota Aptinu

Senin, 07 April 2008

Mengenal Matholi'ul Anwar dan Pendirinya



Disunting Kembali oleh M. Afif Hasbullah
Secara hakiki pesantren merupakan lembaga (institusi) yang memiliki banyak fungsi, fungsi dimaksud adalah sebagai lembaga pendidikan, keagamaan, kemasyarakatan, pengkaderan dan dakwah. Melalui fungsi-fungsi tersebut, maka pesantren memiliki posisi strategis dan fungsional bagi agama khususnya dan bangsa pada umumnya.
Pada dataran strategis pesantren mengemban amanat sbagai penjaga dan pengembang nilai-nilai dasar keagamaan sepanjang kesejarahan Islam di Indonesia, di samping itu juga merupakan pengemban autentisitas keilmuan dalam Islam. Pada dataran fungsional, pesantren dapat mengemban dinamika-dinamika sosial masyarakat di sekelilingnya, baik melalui pendidikan formal, non formal maupun aktivitas lain yang intinya mencerdas-akhlaqkan masyarakat. Menunjuk posisi demikian, maka tidak salah jika pesantren sering dikatakan oleh banyak orang sebagai benteng sekaligus gerbang pengembangan masa depan Islam.
Menurut penelitian para ahlul ilmi, pesantren bermula dari pengajian-pengajian rutin kelompok kecil baik yang dilaksanakan di rumah maupun surau. Dari kelompok kecil tersebut, karena memiliki daya tarik yang khas, maka masyarakat yang jauh dari lingkungan pengajian tersebut datang dan menginap di tempat tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan itu, dibangunlah sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan keagamaan tersebut. Untuk itu pengajian demikian pada akhirnya disebut pondok pesantren.
Pesantren Matholi’ul Anwar didirikan pada 18 Januari 1914 oleh Kyai Abdul Wahab. Pada saat itu belum terwujud pesantren sebagaimana pengertian pesantren sekarang yaitu ada kyai, tempat ibadah, asrama santri dan sarana belajar, namun baru berupa pengajian-pengajian rutin yang menggunakan rumah kyai sebagai tempatnya. Kyai Abdul Wahab kembali ke Rahmatullah pada 12 Maret 1925.
Setelah founding father tersebut meninggal dunia, maka pengajian tersebut di lanjutkan oleh putra-putra menantu beliau yaitu Kyai Abdullah, Kyai Rusman dan Kyai Dja’far. Kepengasuhan beliau bertiga tersebut berjalan hingga tahun 1935.
Adapun semenjak 17 Juli 1935 kepengasuhan pesantren digantikan oleh K.H. Soefyan Abdul Wahab, yang ketika itu beliau baru berumur 18 tahun dan sedang giat-giatnya mengenyam ilmu di berbagai pesantren di sekitar kabupaten Lamongan, termasuk di pesantren Langitan. Dalam usia yang masih sangat belia tersebut, beliau mengasuh pesantren sekaligus juga mondar-mandir menimba ilmu kepada beberapa Kyai dengan pengajian sorogan. Hal ini dapat dipahami bahwa tanggung jawab beliau secara pribadi dan sosial sangat besar dan seimbang.
Usia 18 tahun untuk memimpin jama’ah pada era dewasa ini nampaknya terlalu muda. Namun kala itu, kharisma dan kepribadian beliau sebagai putra Kyai memang layak untuk menyandang derajad tersebut, demikian pula tanggung jawab yang sedemikian besar dalam memimpin ummat harus diiringi dengan kemampuan yang baik dalam penguasaan keilmuan maupun kepemimpinan.
Untuk itulah saudara-saudara ipar beliau yang lebih tua dan alim memberikan kepercayaan dan tanggung jawab penerusan dan kepengasuhan pesantren kepada beliau. Sebagai perwujudan tanggung jawab tersebut, beliau menerima amanat dengan niat semata-mata pengabdian dan penghambaan kepada Allah, di samping itu tak henti-hentinya beliau terus meningkatkan belajarnya.
Semangat mencari ilmu seperti yang dipraktekkan Kyai Soefyan sudah sepatutnya ditiru dan diteladani oleh para santri, pelajar, dan ummat, misalnya kebiasaan Kyai Soefyan yang selalu istiqomah muthola’ah kitab-kitab hingga larut malam. Kebiasaan ini masih beliau lakukan hingga sehari menjelang wafat beliau. Beliau juga selalu terbuka sekaligus selektif terhadap arus informasi. Sikap tawazun, tawassuth, dan i’tidal menjadi bagian dari kepribadian beliau. Beliau juga mempunyai kebiasaan membaca buku-buku umum atau aktual berikut berlangganan majalah dan koran yang kala itu bagi lingkungan pesantren yang masih dirasa asing. Tidak mengherankan, dengan kebiasaan demikian menjadikan wawasan beliau sangat maju dan tidak tertinggal oleh arus informasi yang relevan dengan pengembangan keislaman, kemasyarakatan dan kondisi sosial-politik.
Kepribadian dan akhlaq beliau juga patut dijadikan sebagi teladan bagi kita. Beliau selalu menghargai pendapat orang lain, mendengarkan dua kali lebih banyak dari pada berbicara, mengasihi kaum lemah, nada suaranya teduh dan menyejukkan hati bagi orang lain, ketika berceramah tidak menjadikan orang lain tersinggung, mengasihi orang miskin dan menghormati orang kaya. Hal ini nampak dari kebiasaan beliau jika di undang oleh seseorang dalam hari dan jam yang hampir bersamaan, yang satu miskin dan yang lain kaya, maka beliau datang dulu kepada orang miskin tersebut, baru kemudian kepada orang kaya.
Dalam bidang sosial kemasyarakatan dan kepemerintahan, pribadi beliau pantas teladani ummat Islam. Misalnya dalam kesibukan mengajar di madrasah, mengaji di pesantren dan ceramah di tengah-tengah masyarakat, beliau masih menyempatkan menjadi Ketua Tanfidliyah NU Karanggeneng, hingga beliau pernah mewakili Partai NU duduk sebagai anggota DPRD Tingkat II Lamongan. Demikian juga dalam hal pemerintahan, beliau juga pernah menjadi anggota tim P-7 Jawa Timur. Demikian ini didorong oleh motivasi beliau untuk mewujudkan fungsi dan posisi pesantren secara maksimal. Pada saat yang sama, berbagai kesibukan dalam urusan masyarakat dan pemerintah tersebut tidak menjadikan pengurangan perhatian beliau pada pengembangan pesantren dan lembaga-lembaga yang ada di dalamnya.
Semenjak kepengasuhan pesantren dipegang oleh Kyai Soefyan, maka diadakan pengembangan-pengembangan pesantren yang sangat bermakna dan berdampak sampai dewasa ini. Pengembangan dimaksud bukan hanya pengajian level kampung seperti pada masa kepengasuhan sebelumnya, namun pengembangan yang menjadikan suatu bibit pesantren menjadi pesantren yang sesungguhnya. Pada masa beliau inilah telah lengkap unsur kyai, langgar (musholla) dan asrama (pondokan), hal ini terjadi pada 1 Januari 1949. Perkembangan ini tentu tidak terlepas dari ilmu, kharisma dan kepribadian beliau sebagai sosok pengasuh.
Dengan didirikannya pesantren, respon masyarakat sangat positif. Pertumbuhan yang postif itu dapat dilihat, kalau pada awal mula santrinya hanya 3 orang, maka dua tahun berikutnya sudah menjadi 60 orang. Dengan banyaknya murid atau santri tersebut, maka beliau mendirikan sekolah formal, yaitu tepatnya pada tahun 1951. Sekolah yang dibuka tersebut adalah Madrasah Ibtida’iyah. Pendirian madrasah tersebut tidak terlepas dari dorongan dan saran para Kyai dan pejabat kabupaten Lamongan, misalnya dari K.H. Mustaqim dan Bapak Susminto, seorang Hakim di Lamongan kala itu.
Pengembangan demi pengembangan semakin pesat, dan mendapat respon positif dari masyarakat, sehingga santrinya semakin pesat. Untuk itu perlu disediakan sarana belajar yang memadai pula, bukan hanya pendidikan tingkat dasar (MI), namun juga pendidikan formal yang lebih tinggi yaitu Madrasah Tsanawiyah (dahulu MMP) yang didirikan tahun 1959 dan Madrasah Aliyah (dahulu MMA) yang didirikan sepuluh tahun kemudian yakni pada tahun 1969.
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran, bahwa semangat beliau dalam mencerdas-akhlaqkan generasi muda sangat tinggi atau dapat dilihat dari cara beliau berfikir yang menampakkan progresifitas ide jauh ke depan. Sebagai salah satu buktinya, semenjak tahun 1979 beliau sudah mempunyai ide untuk mendirikan lembaga pendidikan lanjutan pertama dan atas yang bersifat umum (SMP dan SMA), perguruan tinggi, rumah sakit, dan penerbitan. Biar pun pendidikan lembaga umum tersebut belum didirikan hingga beliau kembali ke Rahmatulloh, namun tebaran ide itu masih senantiasa beredar dalam komunitas penerusnya untuk diambil sebagai program pengembangan pesantren pada masa sekarang dan ke depan.
Hingga 20 Januari 1983 saat K.H. Soefyan Abdul Wahab pulang ke Rahmatullah, jumlah murid dan santri Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar dengan berbagai unit yang ada yaitu Madrasah Banin Banat, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah sudah cukup lumayan yaitu lebih 1250 orang. Namun, tidak berarti bahwa dengan wafatnya beliau pengembangan pesantren menjadi stagnan, justru semangat dan cita-cita beliau senantiasa dilanjutkan dengan memegang mata rantai penghargaan terhadap tradisi yang ada dengan terus berusaha mengaktualisasikan, inovatif dan akomodatif terhadap perkembangan baru di sekelilingnya.
Setelah meninggalnya beliau, maka kepemimpinan dilanjutkan oleh K.H. Mahsuli Effendi dan putra-putra menantu beliau antara lain Drs. K.H. Masykuri Shodiq, S.H., Drs. K.H. Moh.Taufiq dan Drs. K.H. Saifuddin Zuhri, MA. Selain itu, tentu saja peran dari Ibu Nyai Hj. Masfiyah Soefyan sebagai orang tua yang sangat bijaksana dan pengayom yang baik, serta putri-putri beliau yakni Ny. Hj. Shofiyah Mahsuli, Ny. Dra. Hj. Siti Zaenab Anwar, Ny. Dra. Hj. Siti Djamilah Masykuri, Ny. Hj. Dra. Siti Aisyah Taufiq, dan Ny. Dra. Hj. Khotimah Suryani Saifuddin juga cukup mewarnai dinamika kepemimpinan yang ada. Hampir tidak ada keputusan penting yang di ambil lembaga ini tanpa melalui ijin, restu dan istikharah Ibu Nyai Hj. Masfiyah Soefyan.
Formasi kepemimpinan tersebut berkurang sejak tahun 2001, yakni ketika dua putra menantu beliau Kyai Masykuri dan Kyai Saifuddin dipanggil ke Haribaan Yang Maha Kuasa pada tanggal 26 Juni 2001, atau tiga hari sebelum pelaksanaan Haul Kyai Soefyan yang ke XVIII.
Adapun pendidikan formal yang ada hingga dewasa ini, bukan hanya Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah (sebagaimana ketika Kyai Soefyan wafat). Namun dengan pertolongan dan ridlo dari Alloh SWT, ide beliau untuk mendirikan sekolah umum telah terwujud, yaitu SMP NU berdiri tahun 1985, SMEA NU 1 berdiri tahun 1986 dan Universitas Islam Darul ‘Ulum (Unisda) berdiri tahun 1989 dengan delapan Fakultas dan lima belas program studi strata satu dan dua, yaitu Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Bahasa Indonesia, Pendidikan Matematika, Ilmu Hukum, Manajemen, Akuntansi, Agronomi, Teknik Sipil, Teknik Arsitektur, Pendidikan Agama Islam, Ilmu Politik, Ilmu Pemerintahan, Matematika, Magister Pendidikan Islam, dan Magister Pendidikan. Adapun jumlah santri, siswa dan mahasiswa, hingga dewasa ini adalah 4.679 orang.
Demikian sekilas pondok pesantren dan riwayat singkat Al maghfurlah Kyai Soefyan berikut ide-ide dan pandangan beliau yang kiranya patut dijadikan sebagai teladan bagi pengabdian kita pada Alloh SWT. Teriring harapan, semoga seluruh amal, ide, perjuangan dan ibadah beliau menjadi amal sholeh di hadapan Alloh SWT dan kita yang hidup dapat meneruskan dan mengembangkannya. Amin Yarobbal Alamin.
Wallohul Musta’an Ila Sabilirrohman
Wallohul Muwafiq Ila Aqwamitthoriq
Wasalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.


Disusun di Lamongan 22 Agustus 1996 (Haul ke XIII)
Diedit kembali di Lamongan 06 April 2008 (Haul ke XXV)