Minggu, 18 Mei 2008

Pendidikan Sebagai Arus Utama Kebangkitan


Oleh: M. Afif Hasbullah

Sudah lazim diceritakan, ketika kota Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Sekutu sehingga luluh lantak pada perang dunia II, yang ditanyakan pertama kali oleh Kaisar Jepang adalah, masih seberapa banyak guru yang terselamatkan?, atau ada berapa guru yang ikut gugur?. Kaisar tidak menanyakan berapa tank yang masih dapat dipakai, berapa serdadu yang masih hidup, di awal pertanyaan. Ini menunjukkan bahwa visi seorang kaisar yang jauh ke depan. Ia meletakkan masa depan bangsanya pada guru dan institusi pendidikan. Karena hilangnya sumberdaya alam dan aset-aset fisik bukanlah kehilangan yang sesungguhnya yang harus ditangisi dan diratapi sejadi-jadinya. Hanya kehilangan ilmu dan pengetahuan lah yang seyogyanya harus disesali. Melalui ilmu pengetahuan ummat manusia akan mendapatkan jalan terbaik untuk mendapatkan kemuliaan, martabat, dan kesejahteraannya.
Bukti juga telah menunjukkan bahwa negara-negara maju saat ini, di dalam sejarahnya sangat menghargai arti penting pendidikan itu. Kita dapat melihat Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Singapura dan sebagainya telah menunjukkan komitmen mereka yang tinggi di bidang pendidikan. Terkait pendanaan misalnya, beberapa negara maju menganggarkan biaya pendidikan warganya antara 25-30% dari anggaran belanja negara itu.
Demikian pula Indonesia. Kalau dilihat dari semangat kemerdekaan Republik yang diinisiasi oleh para pemuda yang terdidik dalam Budi Utomo, menunjukkan bahwa mereka memperjuangkan kesetaraan hak yang diterima oleh warga kulit putih dengan warga pribumi. Salah satu diantaranya adalah hak atas pendidikan.
Kita juga melihat. Bahwa beberapa organisasi masyarakat (ormas) era penjajahan banyak di antaranya yang memperjuangkan hak untuk mendapat pendidikan sebagai salah satu tema sentral gerakan mereka. Sebut saja Pendidikan Indonesia, Taman Siswa, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Dengan upaya masing-masing, mereka meyakini dan mengupayakan bahwa terwujudnya kemerdekaan nasional haruslah diawali oleh kebangkitan pergerakan Indonesia. Salah satu yang harus dibangkitkan pertama kali adalah pendidikan.
Kemudian telah terbukti,bahwa kemerdekaan yang diantarkan oleh founding father tidak terlepas dari orang-orang muda yang terdidik baik, mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan yang berkualitas. Walaupun pendidikan yang dienyam ala barat, namun hati dan pikiran mereka tetap nasionalis. Sehingga dapat bersinergi mewujudkan hasil pendidikan yang mengindonesia dan anti penjajahan.
***
Kini, setelah seratus tahun kebangkitan nasional dan hampir 63 Tahun usia republik. Apa yang kita capai dengan kemerdekaan itu? Sudahkah cita-cita republik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang termuat dalam pembukaan UUD 1945 itu telah dapat dinikmati oleh seluruh rakyat? Demikian pula tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum?
Di usia ini, masih banyak ditemui orang yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang baik. Gedung-gedung sekolah yang hampir ambruk. Guru yang hidupnya tidak sejahtera. Anggaran yang minim. Regulasi pendidikan yang membingungkan. Maupun Implementasi aturan yang tidak konsisten.
Masyarakat masih merasakan bahwa pendidikan mahal. Walaupun sudah diprogramkan wajib belajar 9 Tahun dengan konsekwensi bebas biaya. Namun pada kenyataannya, biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh negara melalui bos sekolah itu tidak mencukupi. Padahal kita ketahui, bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang baik itu mahal harganya. Persoalannya, apakah biaya pendidikan ini harus di bayar oleh pemerintah, rakyat atau kedua-duanya?. Tentu, karena pemerintah tidak mampu menanggung sendiri, maka di dalam klausul UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diatur sedemikian rupa, bahwa pendidikan nasional dalam penyelenggaraannya merupakan tanggungjawab negara dan masyarakat.
Hak
untuk mendapatkan pendidikan pun, masih belum merata untuk semua. Para penyandang keterbatasan (disable person) masih banyak diantara mereka belum mendapat akses untuk mendapat pendidikan sesuai dengan kecacatan mereka. Bahkan kalangan elit dan politisi negeri ini masih sering menganggap orang cacat tidak layak untuk mendapatkan hak politiknya setara dengan mereka yang kondisi fisiknya sehat dan lengkap.
Banyaknya guru yang hidupnya kurang sejahtera, karena honor atau tunjangan yang tidak sepadan dengan pengabdian yang dilakukannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Rumahnya reot laksana kandang ayam. Mereka tidak saja cukup difasilitasi dengan tunjangan kesejahteraan hidupnya dan keluarganya, namun juga untuk pengembangan kualitas keprofesiannya. Mengikuti pelatihan, workshop dan melanjutkan pendidikannya merupakan upaya untuk selalu memutakhirkan profesionalisme guru dalam mencerdaskan bangsa. Ini semua tentu, sampai saat ini belumlah dapat dipenuhi oleh negara untuk para guru.
Anggaran pendidikan yang teralokasikan sebesar 20% dari APBN kita sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 31 UUD 1945 juga tidak kunjung terealisasi. Data menunjukkan yaitu UU APBN 2005 (8,1% dari APBN), UU APBN 2006 (9,1% dari APBN), UU APBN 2007 (11,8% dari APBN), dan UU APBN 2008 (12% dari APBN). Semuanya di Judicial Review dan dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai inkonstitusional karena melanggar atau tidak sesuai (unvereibaar) dengan UUD 1945.
Belum lagi, beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi RI mengabulkan permohonan seorang guru dari Sulawesi Selatan yang meminta anggaran untuk gaji guru dimasukkan sebagai anggaran pendidikan. Sehingga saat ini kalau anggaran gaji guru dimasukkan dalam anggaran pendidikan, kira-kira tinggal 2% lagi anggaran yang 20% itu terwujud.
Sebagai perbandingan, anggaran pendidikan beberapa negara lebih tinggi dari Indonesia. Malaysia 25% dari APBN, Thailand 27% dari APBN, Jepang, Korea dan Amerika lebih tinggi lagi.
Liberalisasi pengelolaan pendidikan juga persoalan yang tidak bisa dianggap enteng. Dalam liberalisasi sektor pendidikan ini yang terjadi adalah regulasi yang mengatur bahwa pengelolaan lembaga pendidikan seperti perusahaan bisnis pada umumnya. Dengan indikasi, pertama, pemerintah yang terkesan tidak konsisten menyatakan bahwa tanggung jawab pendidikan merupakan kewajiban utama negara; kedua, dibukanya kran investasi pendidikan oleh UU dan PP mengenai peneneman modal asing baik oleh pemodal dalam negeri maupun asing.
Juga, model-model pelaksanaan pembelajaran yang tidak mengikuti norma yang berlaku dalam pendidikan. Yakni asas panjangnya waktu menuntut ilmu, konsistensi, maupun biaya. Saat ini sudah membudaya prilaku dari menuntut ilmu menjadi mendapat ijasah atau gelar. Sehingga segala cara ditempuh untuk mendapatkannya. Kelas Jauh, Kuliah seminggu bahkan sebulan sekali, bayar 5 Juta langsung wisuda dan sebagainya. Sangat kontras dengan perjuangan anak-anak SMP dan SMA ketika menempuh kelulusannya dalam Ujian Nasional UNAS.
UNAS sendiri kemudian juga tidak sepi persoalan. Baik mengenai standar dan kewenangan pelulusan. Maupun akibat UNAS itu sendiri yang potensial menumbuhkan kecenderungan untuk berbohong, menipu dan curang. Bisa dilihat dari upaya seorang guru yang ingin melulusakan siswanya, sehingga malah berbuat curang dengan menunjukkan jawabannya.Ini tentu diluar tujuan pendidikan, yakni membangun kejujuran.
Belum lagi persoalan-persoalan lain yang menambah sulitnya memperoleh pendidikan yang baik. Buku yang mahal karena dipajaki dan tidak disubsidi, bantuan dan hibah untuk lembaga pendidikan yang dikenai pajak, pajak tahunan lembaga pendidikan, akses informasi internet yang masih belum terjangkau dan sebagainya.
Jadi secara umum kondisi pemajuan pendidikan di Indonesia masih perlu untuk ditingkatkan bersama-sama. Karena yang dapat membangkitkan pendidikan kita adalah kita sendiri warga negara Indonesia.
Kondisi tersebut seakan bertemu dengan situasi bangsa yang masih dirundung berbagai penyakit kronis, baik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) maupun pembalakan liar, penjualan aset negara yang cenderung tidak transparan, penjarahan hasil-hasil bumi oleh elit-elit berkuasa yang berkolaborasi dengan pengusaha yang tidak pro kesejahteraan rakyat. Berapa banyak hutan yang gundul, beberapa tahun lagi minyak kita habis, alih-alih pengusaha yang untung, namun rakyat tetap miskin dan bahkan tersiksa oleh akibat pencemaran lingkungan dan bahaya alam akibat eksplorasi yang membabi buta.
***
Tentu, bahwa dengan kondisi seperti itu ada something wrong dalam pengelolaan bangsa ini. Bagaimana mungkin, suatu negara yang gemah ripah loh jinawi, dengan dikaruniai Yang Maha Kuasa isi perut bumi yang melimpah, atas bumi yang menghampar, maupun kandungan laut yang luar biasa. Justru kita terpuruk, tidak dapat memanfaatkan, bahkan dicuri sendiri oleh oknum anak bangsa maupun pihak asing yang tidak bertanggung jawab.
Dalam kondisi ini nampaknya kita harus menyuarakan kembali mengenai jati diri bangsa ini. Yaitu pembangunan kembali karakter bangsa. Kalau meminjam istilah Bung Karno national character bulding. Membangun visi kemanusiaan sebagai bangsa Indonesia, visi keragaman yang menyatu dalam bingkai keindonesiaan, visi pemanfaatan atas sumberdaya bangsa (manusia dan alam)untuk kesejahteraan bangsa Indonesia, serta visi moral religius yang mewarnai semangat sebagai warga bangsa.
Ini semua sudah mulai terkikis oleh modernitas dan iklim globalisasi. Pancasila yang oleh founding father diharapkan sebagai guide lines mengelola negara, dilupakan. Memang Pancasila pernah dibajak oleh rezim oteriter Indonesia. Namun kita tentu harus membangun kembali pemahaman dan internalisasi kita pada Pancasila dan Konstitusi, karena keduanya adalah janji tulus kita, komitmen kita sebagai bangsa Indonesia.Dalam hal ini, pendidikan harus di bangun. Tentu tidak hanya Sistemnya, anggarannya, regulasinya, namun juga model dan tujuan pendidikan yang menjadi substansi pendidikan Indonesia harus diperhatikan. Menjadi penting disini untuk membentuk kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct) untuk dapat dibangun kembali melalui pendidikan. Untuk ini, komitmen dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah sangat dibutuhkan.

Kamis, 15 Mei 2008

Menimbang Kontrak Politik NU dengan Cagub

Oleh: M. Afif Hasbullah

Sebentar lagi Jawa Timur akan melaksanakan agenda politik berupa pemilihan gubernur dan wakil gubernur (pilgub). Agenda penting ini akan dilaksanakan mulai tahapan pendaftaran calon pada tanggal 1 sampai 5 Mei 2008, penentuan dan penetapan nomor urut tanggal 18 Juni 2008, kampanye pada 7 sampai 19 Juni 2008, dan pemilihan pada 23 Juli 2008.
Tentu, agenda politik ini diharapkan dapat disukseskan bersama seluruh masyarakat Jawa Timur. Ini mengingat bahwa dengan suasana yang kondusif dalam pelaksanaan agenda politik itu, diharapkan suasana Jawa Timur yang kondusif dapat dipertahankan. Demikian pula konstelasi sosial, ekonomi dapat terjaga stabilitasnya.
Juga tidak kalah pentingnya, adalah peran semua pihak untuk wellcome pada pilgub. Suatu sikap yang apriori dan masa bodoh pada agenda pilgub sama juga dengan membiarkan nasib Jawa Timur pada kondisi yang tidak dikendalikan oleh masyarakatnya, liar. Nah, sebagai masyarakat Jawa Timur tentu lebih baik untuk dapat ikut serta mengantarkan dan memilih calon. Calon kita yang terpilih, setidaknya ke depan pada diri kita yang memilihnya ada secercah tanggung jawab untuk mensukseskan program-programnya. Namun bagi yang calonnya tidak terpilih, diharapkan dapat kritis dalam mengawal program gubernur terpilih.
Walaupun demikian, dalam politik yang sudah dewasa, sikap tidak memilih alias golput (golongan putih), tidaklah merupakan sikap yang negatif dan merusak demokrasi. Karena memilih adalah hak, maka terserah pada pemilih hak itu, apakah hendak menggunakan haknya atau tidak. Dalam masyarakat yang well educated secara politik, maka sikap golput merupakan sikap yang pantas untuk dihormati. Justru dalam masyarakat yang masih feodal, mobilisasi yang menjadi kebiasaan dalam pelaksanaan pemilu patut diragukan kesahihannya. Lihat saja masa Orde Baru yang memobilisasi massa untuk aktif dalam pemilu, tapi hasil pemilunya diragukan keabsahannya. Hal demikian tidak terjadi pada negara-negara demokrasi yang maju. Mereka tingkat goputnya tinggi, namun kualitas demokrasinya cukup baik. Artinya baik mereka yang memilih, yang menang, yang kalah, dan yang tidak memilih sekalipun dapat berdampingan menerima hasil-hasil pemilu. Tidak seperti yang banyak terjadi di Indonesia, yang kalah ngamuk.
Pilgub penting dan menentukan masa depan Jawa Timur, setidaknya lima tahun ke depan. Nah, pada posisi ini peran masyarakat yang mutlak diperlukan itu tidak hanya untuk memilih. Namun lebih urgen dari itu adalah untuk menitipkan program-program yang harus diusung oleh masing-masing cagub dalam kepeimpinannya ke depan.
Nahdlatul Ulama (NU) dalam konteks ini harus memainkan peran pentingnya dalam pilgub ini. NU dapat melakukan kesepakatan-kesepakatan dengan cagub yang ada mengenai program yang harus dilakukan oleh masing-masing cagub jika berhasil memenangkan pemilihan.
Peran NU semacam itu jelas bukan dalam ranah politik praktis murahan, manakala apa yang diusung NU dengan titipan program itu tidak semata-mata hanya untuk memenangkan calon tertentu tanpa syarat. NU jelas harus bermain. Namun permainan NU tidak hanya dalam bentuk mobilisasi massa untuk mendukung calon tertentu dengan kompensasi jangka pendek seperti bantuan, sumbangan dan lain sebagainya. Karena ini sama saja dengan politik dagang sapi.
Jamaah NU sebagai penghuni terbesar Jawa Timur tidak boleh ambil diam. Walaupun secara organisatoris ia tidak boleh terlibat dalam politik praktis apapun. Namun NU harus menunjukkan kualitasnya melalui pressure atau penekanan pada konstelasi politik yang sedang berjalan. Tentu, sebagai ormas terbesar di Jawa Timur masa depan NU sedikit banyak terkait erat dengan siapa yang akan memimpin Jawa Timur lima tahun ke depan.
Dalam rangka itu, NU berencana membuat program kerja yang harus dialksanakan oleh cagub ketika jadi pemimpin nantinya. Program kerja yang disusun sedemikian rupa dengan melibatkan para ahli itu akan di sampaikan pada masing-masing kontestan pilgub. Apakah mereka mau menerima atau tidak. Kalau mereka mau menerima program itu untuk dilaksanakan, berarti ia mendukung program NU. Tapi kalau tidak, tentu cagub semacam ini mestinya tidak perlu direkomendasikan pada ummat untuk dapat dipilih.
Tiap calon yang sepakat harus membuat pernyataan tertulis yang mempunyai kekuatan hukum. Bila tidak, dikhawatirkan program yang disodorkan tadi akan menjadi jilidan kertas yang tidak diperhatikan dikemudian hari. Ini tentu tidak kita kehendaki. Di dalam politik, janji-janji itu biasa, namun pembohongan atas janji itu juga merupakan suatu kebiasaan-kebiasaan yang membudaya. Tentu, NU tidak mau dipakai sebagai pendorong mobil mogok, kalau mobilnya sudah jalan, maka pendorongnya ditinggal.
Pengalaman pemilu-pemilu masa lalu harus dijadikan pelajaran berharga buat warga NU. Ia hanya dimanfaatkan dukungannya pada agenda politik, namun ketika agenda pembangunan dilaksanakan NU kurang mendapat sentuhan. Di sini, diharapkan adanya sinergi antara sukses agenda politik dan sukses agenda pembangunan.
***
Orang-orang NU hampir tidak ada yang ketinggalan dalam event politik. Tapi yang kebanyakan, mengesankan bahwa ada pemanfaatan NU untuk kemenangan politiknya. Akibatnya kalau menang atau untung hanya dinikmati oleh orang NU dimaksud, disisi lain ummat dan organisasi tetap saja tidak ada kemajuan.
Dalam pemilu, apakah itu pilleg, pilpres, pilgub, dan pilbup atau pilwal. Politik praktis dalam NU harus tunduk pada khitthah NU 1926 yang dirumuskan pada Muktamar 1984 di Situbondo. Disadari bahwa peran politik masing-masing pengurus NU diindikasi cukup besar. Pada konsekwensinya, disatu sisi NU dimanfaatkan tapi tidak mendapat kompensasi yang layak, dan di sisi lain sangat rentan mengakibatkan perpecahan dikalangan ummat. Perpecahan itu tidak hanya antara warga NU dengan ummat lain, juga yang lebih mengenaskan keterbelahan pilihan politik warga NU justru disinyalir menumbuhkan bibit perpecahan itu sendiri. Susahnya lagi, seringkali dijumpai bahwa perpecahan itu tidak selesai-selesai.
Kalau melihat kondisi demikian, ditambah secara organisatoris NU tidak cukup membunyai kekuasaan untuk mencegah pengurusnya berpolitik praktis. Nampaknya NU harus memikirkan dan segera membuat solusi baru. Agar NU tetap untung dan berwibawa dengan agenda pilgub. Walaupun beberapa calon yang nota bene dari pengurus NU ikut menjadi kontestan.
Sudah saatnya NU berani berpolitik secara lebih dewasa dan bermartabat. Dukunglah calon yang mendukung program NU. Berilah rekomendasi ummat untuk memilih mereka yang komit pada NU. Jangan bikin rekomendasi yang hanya menggantungkan kepentingan atau keuntungan sesaat. Insyaallah dengan bentuk tawaran dan konsesi-konsesi jangka panjang semacam ini, NU secara organisasi tidak akan menjadi permainan politik murahan di kemudian hari.
Walaupun tentu saja, model ini masih uji coba, sejauh mana keampuhannya. Kita tunggu bersama.

Selasa, 13 Mei 2008

Badan Hukum Pendidikan, Apa Kabarmu?

Oleh: M. Afif Hasbullah


Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan produk hukum baru yang akan lahir di tengah kancah pengelolaan pendidikan di Indonesia. Sampai saat ini pengelolaan pendidikan dilakukan oleh badan hukum yang tidak secara khusus menangani pendidikan, yakni perkumpulan, yayasan, badan wakaf, koperasi, maupun departemen (dikelola negara). Ke depan segera akan di terapkan badan hukum yang secara khusus menangani pendidikan, yakni BHP.
BHP dalam proses kelahirannya memakan waktu panjang, Rancangan Undang-Undang (RUU) nya saja sampai 32 kali berganti-ganti. Bisa diusulkan Museum Rekor Indonesia (MURI), mungkin. Banyaknya pergantian RUU disebabkan banyak materi dalam BHP yang menimbulkan kontroversi yang panjang di kalangan pengelola pendidikan. Beberapa hal yang kontroversial itu misalnya:


  1. ketentuan tentang semua badan hukum yang lama harus berbentuk BHP ketika UU BHP sudah disahkan.
  2. ketentuan tentang bentuk BHP ditingkat satuan pendidikan.
  3. ketentuan tentang dimungkinkannya bentuk BHP di tingkat pengelola (badan hukum lama) dan di tingkat satuan pendidikan (double BHP).
  4. ketentuan tentang boleh masuknya modal asing dalam dunia pendidikan.
  5. ketentuan tentang semua bentuk satuan pendidikan (khususnya dikdasmen) masuk dalam aturan BHP.

Dan beberapa kontroversi lainnya. Ini menyebabkan persoalan menjadi lebih rumit manakala kontroversi yang ada tidak dapat diselesaikan. Yakni munculnya dugaan bahwa ada something wrong dalam latar belakang RUU BHP itu. Beberapa pandangan yang mengkaitkan dengan kontroversi itu antara lain adalah:

  1. RUU BHP dianggap sebagai penyeragaman bentuk badan hukum. Ini tidak sesuai dengan visi bangunan kenegaraan Indonesia yang menghargai pluralitas.
  2. RUU BHP dianggap berpotensi munculnya persaingan yang tajam antara pihak badan hukum lama dengan satuan pendidikan, karena dimungkinkan salah satu atau kedua-duanya akan cenderung muncul persaingan pengelolaaan dan power.
  3. RUU BHP dianggap tidak menghargai badan hukum lama yang telah berusaha berjuang membangun pendidikan sejak lama.
  4. RUU BHP dianggap memfasilitasi bisnis pendidikan dan agen kapitalis asing.
  5. RUU BHP dianggap tidak rasional dan terlalu memaksa semua bentuk pendidikan untuk mengikuti aturan UU itu. Karena tidak mungkin pengelolaan dikdasmen disamakan dengan cara mengelola suatu perguruan tinggi.

Semua inventarisasi masalah ini tidak cepat selesai. Sehingga yang terjadi adalah saling memperjuangkan konsepnya masing-masing antara yang mendukung dan yang menolak. Sikap pemerintah justru mendukung dengan argumentasinya yang juga didukung oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), dan yang menolak juga dengan segudang argument yang didukung pula oleh beberapa elemen masyarakat, misalnya Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta (ABPPTSI).
Namun, tarik menerik dalam perumusan RUU itu akhirnya menimbulkan kompromi. Paling tidak konsep bulan Maret 2008 sudah ada beberapa kemajuan, misalnya:

  1. Yang menyesuaikan diri dengan BHP hanya badan hukum yang lama saja. Satuan pendidikannya tidak perlu.
  2. badan hukum lama tidak harus berubah menjadi BHP, walaupun AD/ART nya harus menyesuaikan dengan UU BHP.
  3. Adanya ketentuan tentang biaya sosial yang harus ditanggung oleh negara dan swasta pengelola pendidikan untuk mereka yang tidak mampu dan berprestasi.
  4. Diupayakannya keringanan pengenaan pajak.
  5. Adanya ketentuan yang mengatur tentang BHP Dikdasmen yang tidak mengikuti BHP perguruan tinggi, karena akan diatur sendiri dalam PP.

Beberapa hal ini, menurut hemat penulis sudah merupakan kemajuan dalam perumusan RUU itu. Karena beberapa kompromi yang ada sebenarnya adalah persoalan-persoalan fundamental yang menjadi titik fokus persoalan.
Kemudian di samping itu, ada beberapa catatan lain yang dapat penulis berikan pada RUU BHP versi bulan Maret itu. Antara lain, orientasi nirlaba BHP menjadikan perlunya RUU BHP mengatur tentang pembebasan pajak bagi lembaga pendidikan, ketentuan limitatif yang mewajibkan negara untuk tidak lepas tangan pada dunia pendidikan dengan membuat aturan prosentase tertentu yang digunakan untuk anggaran pendidikan, ketentuan yang mengatur tentang pendidikan-pendidikan yang tumbuh dalam bingkai budaya Indonesia, termasuk pesantren. Karena pesantren kedudukan kyai lebih dari sekedar pengelola sebagaimana dalam pendidikan formal yang bias daganti-ganti, kyai adalah symbol dan ruh dari lembaga pendidikan ala pesantren itu. Ini tentu harus diatur pula.
Menilik beberapa perkembangan yang ada, tentu sebagai insan pendidikan yang baik. Harus dapat memberikan kontribusi bagi persoalan aktual yang belum tercover atau bahkan kebablasan diatur dalam RUU itu. Suatu sikap yang apriori dan menolak tanpa memberikan solusi atau bahkan sikap tidak mau tahu, justru akan melemahkan dan merugikan diri sendiri dan insane pendidikan lainnya.
Selanjutnya, marilah kita tunggu perkembangan RUU ini.

Selasa, 06 Mei 2008

Transparansi, Akuntabilitas dan Pemberantasan Korupsi



Oleh: M. Afif Hasbullah

Kemarin, Senin 5 Mei 2008 saya diundang mengikuti Dialog Publik dengan Ketua BPK RI dan Ketua Umum PBNU di Hotel Shangri La Surabaya. Bersama para rektor, pimpinan pesantren, tokoh masyarakat dan para pejabat daerah baik eksekutif maupun legislatif, termasuk para bupati dan wali kota, tidak ketinggalan pula gubernur dan ketua DPRD propinsi maupun kabupaten kota.
Tema yang diangkat cukup aktual dan memang masih menjadi persoalan negeri ini. Seputar judul tulisan ini dan pengkaitannya dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Seperti kita ketahui bahwa korupsi merupakan masalah yang amat kronis di Indonesia, bayangkan menurut data PERC
[1] tahun 2008 telah menempatkan peringkat Indonesia sebagai negara terkorup nomor tiga se Asia, secara berurutan sebagai berikut:[2]
01. Filipina 9,00
02. Thailand 8,03
03. Indonesia 7,98
04. China 7,98
05. Vietnam 7,75
06. India 7,25
07. Taiwan 6,55
08. Malaysia 6,37
09. Korea Selatan 5,65
10. Macau 3,30
11. Jepang 2,25
12. Hongkong 1,80
13. Singapura 1,13
Sedangkan menurut Transparansi Internasional, Indonesia pada tahun 2004 tercatat sebagai negara kelima terkorup di dunia dari 146 negara.
[3] Dalam skala 1-10 (makin kecil makin buruk), pada tahun 2006, IPK Indonesia naik sedikit dari 2,2 pada 2005 menjadi 2,4 pada 2006. Dengan IPK 2,4, Indonesia berada pada rangking 130 dari 163 negara yang disurvei. Pada tahun 2005, dengan IPK 2,2 Indonesia berada di rangking 133 dari 146 negara.
Walaupun ada peningkatan IPK, kita masih tetap prihatin, karena posisi IPK yang dicapai masih jauh di bawah negara-negara Asia, seperti Singapura (9,4), Hong Kong (8,3), Jepang (7,6), Taiwan (5,9), Korea Selatan (5,1), Malaysia (5,0), Thailand (3,6), China (3,3), India (3,3), Sri Lanka (3,1), dan Filipina (2,5) sebagaimana data PERC. Tahun-tahun sebelumnya Indonesia hanya lebih baik dari Angola, Azerbaijan, Kamerun, Georgia, Tajikistan, Myanmar, Paraguay, Haiti, Nigeria, dan Bangladesh.
Potret ini menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia sudah sedemikian parahnya. Akibatnya tentu saja kepada rakyat, rakyat terkena imbas budaya korupsi yang tidak juga berlalu dari kebisaaan penyelenggara negeri ini. Kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, wabah penyakit, kurang gizi, daya beli rendah, pekerjaan susah dan lain-lain yang sebangsanya adalah akibat dari pengelolaan distribusi keuangan yang tidak akuntable dan transparan. Banyak proyek-proyek dilakukan dengan mark up, tanpa tender, tender yang penuh dengan permainan, dan upaya potong sana potong sini. Sehingga dana-dana APBN maupun APBD yang riil dimanfaatkan oleh rakyat hanya sedikit sekali.
Boro-boro mau merencanakan pengentasan kemiskinan dapat berhasil, kalau dana negara malah diberikan pada para pengusaha kaya yang korup dan tidak bertanggung jawab melarikan uang negara. Orang kecil saja tidak dipercaya untuk mendapat kredit, karena pertanyaan pertama dari pihak bank pasti adalah, apakah calon kreditur punya asset yang dapat dijaminkan?. Lha boro-boro punya jaminan, untuk mulai usaha aja gak ada modal. Nah, mestinya di sini rakyat pinggiran mesti harus diberdayakan, dipintarkan, dididik untuk dapat berusaha dengan keringatnya dan tentu dibantu dananya oleh pemerintah.
Kalau hendak dibandingkan, para pengusaha yang kredit tidak ditanya bertele-tele, kadang-kadang sudah modal kepercayaan dan katabelece dari elit penguasa tertentu, bisa keluar dananya. Tapi kalau rakyat kecil, siapa yang mau percaya dan siapa pula yang memberikan referensi dan jaminan?.
Demikian pula masalah pendidikan, ini persoalan penting yang harus ditangani oleh pemerintah jika Indonesia ke depan ingin lebih maju sumberdaya manusianya. Sudah terbukti bahwa negara-negara yang lebih maju telah unggul lebih dahulu di bidang kualitas SDM nya. Jepang, Amerika, Malaysia dan lain-lain merupakan contoh negara yang maju dan tumbuh berkembang dan disertai dengan pembangunan SDM. Nah, pendidikan adalah jalan satu-satunya untuk membentuk SDM unggul itu. Namun kenyataannya, di Indonesia dana APBN 20% untuk pendidikan seperti diamanatkan dalam UUD 1945 sampai saat ini belum kunjung terealisasi. Akibatnya, akselerasi pemajuan pendidikan yang diinginkan bersama berjalan lambat, reformasi yang sudah sepuluh tahun masih juga menyisakan fakta banyaknya sekolah yang tidak terawatt, sekolah baru dibangun yang ambruk, bos yang di korupsi, para guru yang kesulitan memenuhi kebutuhan minimum hidupnya dan sebagainya masih ada di sekitar kita.
Kesehatan masyarakat juga mempunyai kondisi yang kurang lebih sama. Masih banyak kita lihat di sekeliling kita orang miskin yang sakit, dengan alasan tiadak adanya biaya sakitnya menjadi lebih parah. Juga masih ditemui, adanya penyakit kronis yang dibiarkan demikian saja oleh pemerintah, ditolak rumah sakit karena tidak punya biaya, sehingga penyakitnya menjadi semakin parah. Uniknya, baru diperhatikan kalau sudah dimuat di koran.
Belum lagi, lapangan pekerjaan yang sulit. Dengan banyaknya pengangguran disekeliling kita, maka daya beli juga rendah, akibatnya kemiskinan dan kebodohan semakin banyak. Kata Nabi SAW, Kaadal fakru ayyakuna kufron.
Dengan kondisi masyarakat yang semacam ini menjadikan masyarakat kita rentan terhadap pengaruh-pengaruh negatif. Misalnya menghalalkan segala cara untuk dapat hidup, mencuri, merampok, mengemis dan sebagainya. Ya, kalau dibandingkan dengan para pejabat yang suka korupsi, memang apa yang dilakukan wong cilik miskin itu belum apa-apa, dan masih dapat dimaklumi. Akibat lebih jauhnya ternyata untuk menjamin kelangsungan hidupnya, orang Indonesia ada juga yang berani menjual pikirannya, nuraninya, keyakinannya untuk mendapat sesuap nasi. Betul apa yang disampaikan oleh Nabi SAW di atas, dan terbukti.
Tidak sampai di situ, praktek demokrasi sebagai mana harapan reformasi sekalipun belum dapat kita rasakan manfaatnya. Memang dari sudut pemilihannya langsung, one man one vote. Tapi apa di balik itu semua?, uang. Ya, uang telah menjadi segalanya dalam praktek demokrasi kita. Tidak hanya Pemilu, tapi juga penempatan pos-pos jabatan banyak di antaranya pakai uang. Rakyat pun, ternyata kalau ditanya pilih demokrasi atau makan. Kebanyakan di antara mereka memilih makan. Dengan kondisi demikian dapat kita pahami, bahwa ada elemen rakyat kecil yang mengidolakan Orde Baru dengan murahnya sandang pangan itu. Dapat pula kita fahami, bahwa Soekarno dulu mencanangkan demokrasi terpimpin, dengan maksud biar rakyat dapat makan yang enek dan hidup sejahtera, Soekarno menyatakan apakah dengan demokrasi liberal itu dapat mengantar rakyat sejahtera? Memang bisa, tapi rakyat lebih butuh makan.
Semua masalah-masalah itu berujung pada kejujuran semua komponen bangsa dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. Jujur dalam menerima dan memegang amanat, serta mempertanggungjawabkan apa yang dikerjakannya pada orang banyak. Baik itu pejabat, pengusaha, karyawan dan rakyat pada umumnya. Kalau pejabatnya saja sudah tidak jujur, maka bagaimana dengan pengusahanya, karyawannya dan seterusnya. Pemilihan dan penentuan jabatan banyak yang diprasyarati dengan sejumlah uang. Kalau untuk menjabat saja butuh uang, maka nanti ketika menjabat pasti akan korupsi.
Inilah pentingnya menggalakkan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara. Bertindak dan berprilaku yang transparan dan akuntabel akan mengantarkan bangsa ini menuju kemakmuran. Reformasi sekali lagi, sudah berumur sepuluh tahun, namun kondisi rakyat masih terbelenggu dalam kemiskinan. Dana yang bermilyar-milyar dihamburkan untuk kepentingan Pemilu, Pilpres, Pilkada dan sebagainya. Ini semua di sebabkan oleh tidak transparannya bangsa ini dalam membangun. Tidak jujur, tidak apa adanya. Belum nampak seorang pemimpin dipilih memang karena profesionalitasnya, program-programnya dan kepemimpinannya yang teruji. Masih banyak di antara pemimpinan dipilih dengan mengagungkan uangnya.
Data BPK RI menunjukkan masih banyaknya audit di tingkat pemerintah kabupaten kota yang masih diberikan disclaimer. Artinya masih banyak ditemukan data-data keuangan yang tidak valid atau tidak dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya. Dengan kata lain, ada kerugian negara di sana.
Namun, dengan semangat semua pihak, dan upaya terus menerus dalam meningkatkan check and balancies di antara para penyelenggara negara serta kontrol penuh berupa partisipasi masyarakat dalam mengawal program pembangunan, diharapkan perilaku negatif-koruptif itu dapat di kurangi lagi. Contoh yang amat disayangkan adalah tidak diperkenankannya BPK RI untuk mengaudit MA RI, ini merupakan permisalan buruk bagi upaya perbaikan pengelolaan keuangan negara. Lha, kalau MA saja tidak mau di audit bagaimana dengan lembaga lain?, swasta misalnya.
Budaya transparan dan akuntabilitas penyelenggaraan negara memang tidak hanya sekedar jargon dan bahan seminar, tapi lebih penting daripada itu adalah kesiapan para elit negara untuk membuat contoh perilaku yang bertanggungjawab. Insyaallah kalau para elit sudah banyak mempraktikkan rakyat akan ikut, dan korupsi itu sendiri akan berkurang dan berkurang. Pertanyaannya siapkah kita untuk jujur dan amanah? Jawabnya Siap, mulai sekarang!!.
[1] PERC (Political and Economic Risk Consultancy) yang bermarkas di Hongkong melansir peringkat korupsi pada 13 negara di Asia, melalui survei yang dilakukan pada Januari - Pebruari 2008 atas 1.400 warga asing pelaku bisnis. PERC tidak memasukan Myanmar dan Banglades yang dikenal sangat korup.
[2] Catatan : Angka 10 Tertinggi. PERC menyatakan Filipina adalah negara yang paling korup dengan skor 9,00 ; sementara posisi Indonesia membaik dibandingkan skor PERC tahun 2007 lalu 8,03 kini negara kita menjadi 7,98. ” Komitmen Indonesia lebih baik, sedangkan Thailand masih terganjal peralihan dari junta militer ke pemerintahan sipil hasil pemilu. Pemerintah Filipina masih jalan di tempat, ” Demikian komentar PERC.
[3] Peringkat ini menunjukkan bahwa Indonesia naik satu tingkat dari peringkat tahun 2003 yang berada di posisi keenam.