Selasa, 17 Juni 2008

Pilkada dan Peran Serta Perguruan Tinggi


Oleh: M. Afif Hasbullah[1]

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu bagian dari rezim pemilihan umum (pemilu) di Indonesia. Sebagai konsekwensi dari anutan sistem demokrasi dalam penyelenggaraan kepemimpinan nasional maupun daerah. Konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada telah mengatur dan menentukan proses dan mekanisme untuk terselenggaranya suatu pesta politik akbar yang berwujud pemilu.
Pemilu dan pilkada dengan demikian merupakan bagian dari politik demokrasi nasional yang merupakan pengejawantahan aspirasi rakyat melalui gerakan reformasi, sekaligus merupakan politik hukum pemilu yang dikeluarkan oleh para penyelenggara negara yang berwenang untuk memutuskannya.
Sebagai bagian dari pilar sistem demokrasi, maka keberadaan pemilu seyogyanya dapat mengantarkan tujuan yang di emban oleh demokrasi, yakni kesetaraan, keadilan, kemerataan, dan kesejahteraan rakyat yang senantiasa didasari atas penghargaan suara rakyat sebagai penentu kebijakan penyelanggaraan negara.
Tentu kedudukan sentral pemilu dalam demokrasi sebagaimana tersebut, sudah sewajarnya bukan hanya monopoli dan tanggung jawab pemerintah ansich. Karena terlalu beratnya tugas tersebut, pemerintah harus senantiasa menggandeng masyarakat sebagai subyek demokrasi untuk mendukung kerja pemerintah dalam pemilu. Oleh karena itu pula, masyarakat sudah sewajarnya dapat mengambil peran dalam posisi sebagai pemilik dari demokrasi itu sendiri. Bukan malah memposisikan dirinya sebagai penonton atau bahkan pencemooh terhadap proses demokrasi. Sehingga sikap apatis, tidak mau tahu, cuek, maupun apriori terhadap proses yang sedang berjalan, nampaknya bukan tindakan yang “terpuji”.
***
Mengingat cukup mendasarnya dunia pemilu bagi penentuan nasib bangsa dan pemerintahan kita ke depan, maka menjadi penting untuk diketahui dan disosialisasikan kepada seluruh masyarakat mengenai demokrasi, pemilu, pilkada, partai politik, bidang-bidang tugas penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sehingga diharapkan publik menjadi semakin paham dan melek terhadap proses politik yang sedang berlangsung. Diharapkan mereka menjadi sadar dan tahu tugas dan tanggung jawabnya sebagai bagian dari warga bangsa untuk ikut memilih, mengontrol, dan melakukan penilaian terhadap kinerja aparatur negara yang telah terproses melalui proses politik.
Sosialisasi dengan demikian menjadi kata kunci dalam agenda besar demokrasi kita. Tentu, proses sosialisasi bukanlah hanya dimaknai sebagai penyebaran brosur, pemasangan iklan, pendirian baliho dan bahkan seminar maupun diskusi publik. Namun proses sosialisasi hendaklah tidak sekedar kata-kata yang seringkali indah namun di belakang hari kerap menuai kecewa. Artinya, proses sosialisasi sudah seharusnya juga kerap diisi dengan muatan contoh perilaku yang ideal oleh para elit maupun aparatur pemerintah dalam kaitan bagaimana mengimplementasikan demokrasi yang dianggap sementara ini sebagai sistem yang paling terpuji.
Melalui sosialisasi diharapkan terjadi internalisasi dan penyadaran yang kemudian menimbulkan sikap baru proaktif atau penguatan sikap terhadap keharusan keikutsertaan warga dalam proses politik yang sedang atau akan berjalan. Karena sosialisasi menjadi kurang makna manakala hanya merupakan transfer of knowledge, transfer of information, atau transfer of election procedure tanpa diimbangi dengan misi penyadaran sebagaimana di atas.
Lebih mendasar lagi, melalui sosialisasi diharapkan event pemilu dapat menjadi kegiatan semua orang, atau semua orang merasa bahwa pemilu adalah kegiatannya, kepentingannya, dan kebutuhannya. Artinya, kegiatan pemilu maupun pilkada adalah amat sangat sosial bagi setiap individu dan masyarakat. Bukan sesuatu yang asing, tidak dikenal, dan tidak dianggap penting.
Kita harus mulai mencermati mengenai trend partisipasi dalam pemilu/pilkada yang tidak cenderung menurun di beberapa tempat. Sebagai contoh, pemilu 1999 keikutsertaan dan pemilu mencapai kisaran 92%, pemilu legisatif 2004 pada kisaran 84% serta pemilu presiden dan wakil presiden pada kisaran 78% pada tahap pertama, dan 77% pada tahap kedua.
Harus pula menjadi telaah bersama fakta yang menunjukkan bahwa dibeberapa daerah angka golput yang cukup signifikan, misalnya: Kota Medan 45.32%, Provinsi. Sumbar 36.28%, Bengkulu 30.27%, Kota Depok 40.23%, Kota Pekalongan 36.49%, Blitar 46, 34 %, Kota Surabaya 48.59%, Kota Makasar 46,45 %, Provinsi Sumut 48, 42%, dan Provinsi Jabar 32, 7%
***
Melihat urgensi sosialisasi itu, maka sudah barang tentu proses sosialisasi harus dilaksanakan secara terus menerus dan berkelanjutan. Tidak hanya mengambil momentum menjelang pemilu atau pilkada saja. Karena seluruh bangunan sosialisasi demokrasi adalah berkesinambungan. Mulai proses penentuan mereka yang punya hak pilih, penentuan calon, pemilihan calon, penghituangan suara, penentuan pemenang, pelantikan pemenang, serta proses pengawalan hasil pemilu atau pilkada selama lima tahun berjalan, sampai pemilu selanjutnya. Dan demikian seterusnya.
Betulkah proses-proses yang sedang berjalan itu telah mengikuti norma-norma hukum yang berlaku, terhindar dari KKN. Benarkah proses tersebut dilalui dengan jalan luber dan jurdil. Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sudah semestinya disosialisasikan pada seluruh warga bangsa untuk mengawal proses demokrasi.
Semua elemen masyarakat, tentu harus tersosialisasi. Mengikuti corak dan kekhasan gaya masing-masing kelompok masyarakat sesuai strata pendidikan, ekonomi, dan social budaya masing-masing. Perbedaan masing-masing kelompok, tentu harus didekati dengan metode pendekatan yang mereka sukai. Penyosialisasian kalangan mahasiswa tentu berbeda dengan kalangan petani. Demikian pula, bagi mereka yang strata ekonominya menengah ke atas, akan cukup berbeda gaya dan caranya dengan sosialisasi pada kalangan miskin pinggiran.
Oleh karenanya, maka inovasi dan bentuk-bentuk penyampaian harus senantiasa digali sehingga tetap up to date terhadap sasaran sosialisasi. Munculnya temuan yang berbentuk sample tentang tidak tahunya seseorang akan adanya event pilkada di suatu daerah, merupakan salah satu indikasi bahwa sosialisasi tidak berjalan maksimal mengikuti taraf yang bisa mereka terima dan pahami. Di satu sisi penyelenggara pemilu mengatakan bahwa sudah melakukan sosialisasi dalam berbagai bentuk, namun pada kenyataannya sasaran sosialisasi merasa tidak tahu atau tidak paham. Suatu misal, kejadian protes warga pada hari H yang baru protes karena mereka tidak mendapat kartu pemilih atau namanya tidak ada dalam daftar calon tetap (DCT).
***
Lantas bagaimana dengan sosialisasi bagi insan kampus? Insan kampus sesungguhnya merupakan salah satu sasaran yang semestinya wajib untuk diajak bicara mengenai pemilu. Apakah dari penyelenggara pemilu, partai politik maupun pasangan-pasangan calon. Tentu, kedatangan parpol dan calon kontestan ke kampus bukan semata-mata untuk kampanye dalam konteks praktis. Namun diharapkan dapat mengusung dan menampung ide-ide dan pemikiran yang berkembang dari dunia kampus untuk dicatat oleh parpol dan calon yang berlaga. Namun aneh, sekali lagi aneh. Calon-calon kontestan biasanya enggan datang untuk berbicara di hadapan mahasiswa. Semoga ini bukan karena adanya alasan negatif yang menghambat.
Demikian pula dengan penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau KPU daerah (KPUD plus Panitia Pengawas (Pilkada) Pilkada. Sudah seharusnya banyak mendatangi kampus-kampus untuk sosialisasi program-programnya. Karena masyarakat kampus adalah masyarakat terdidik yang biasa berpikiran rasional dan dengan pendekatan intelektual diharapkan dapat menjadi motor dalam menyampaikan gagasan-gagasannya sebagaimana sosialisasi KPU/KPUD maupun Panwas kepada masyarakat sekitarnya.
Fungsi Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat merupakan modal utama bagi urgensi perguruan tinggi untuk ikut serta mewarnai proses dan untuk diajak oleh komponen penyelenggara dalam mensukseskan pemilu.
Dari tiga fungsi itu jelas. Bahwa perguruan tinggi sudah sewajarnya ikut mendidik masyarakat melek politik. Dengan perannya sebagai agen perubahan masyarakat maka keberadaan perguruan tinggi sudah seharusnya selalu ada di samping dan di tengah-tengah masyarakatnya. Sudah barang tentu, sikap kritis evaluatif yang mengabdi pada kebaikan di masa yang akan datang senantiasa muncul sebagai bentuk analisa terhadap keberhasilan atau kekurangan proses politik yang ada.
***
Khusus dalam kaitan dengan pengawasan pemilu, maka seluruh komponen masyarakat diajak ikut serta dalam pengawasan pilkada. Karena amat tidak mungkin jumlah panwas yang hanya beberapa gelintir orang akan 100% dapat mengawasi kecurangan dan pelanggaran yang mungkin timbul. Oleh karena itu, peran masyarakat khususnya perguruan tinggi untuk dapat ikut bersama sama melakukan pemantauan dan pengawasan justru akan mempermudah kerja panwas dan dapat meminimalisir pelanggaran dan kecurangan yang terjadi. Tentu apabila pelanggaran dapat ditekan, kualitas pilkada dengan demikian akan menjadi lebih baik.
Hanya yang sering menjadi pertanyaan adalah, bagaimana peran pengawasan masyarakat itu dapat diwujudkan, prosedurnya seperti apa, dan apakah ada perlindungan hukum bagai para pelapor dugaaan kecurangan pemilu. Ini salah satu hal yang harus dapat dipahami oleh masyarakat.
Memang, di dalam kondisi masyarakat yang sedemikian rupa. Upaya untuk mengidealkan proses demokrasi kita agak sulit. Dengan kemiskinan yang mendera, ketidaksejahteraan rakyat, atau sikap mental fakir, menjadikan mereka rentan terhadap jual beli suara dalam pemilu. Money politics menjadi tidak aneh dalam setiap proses politik kita. Hal ini tidak hanya terjadi pada mereka yang membutuhkan saja, tapi juga karena mental yang buruk, mereka yang mapan secara ekonomi pun akan larut dalam upaya ambil keuntungan melalui event pemilu.
Selain itu, masih banyak hal-hal yang harusnya kita curigai potensi munculnya pelanggaran-pelanggaran pemilu, misalnya:
1. black campaigne,
2. penggelembungan suara,
3. kampanye di luar jadwal,
4. kampanye terselubung,
5. kampanye dengan menggunakan fasilitas pemerintah
6. kampanye dengan pengerahan massa PNS
7. kampanye dengan mengikutsertakan anak-anak
8. pemasangan tanda gambar yang merusakan keindahan dan ketertiban
9. pembiaran media atau alat peraga kampanye ketika waktu kampanye selesai
10. politisasi agama dalam ranah politik praktis
11. maupun anarkisme dalam pengerahan massa.
Demikian pula, ketika tahapan pemungutan dan penghitungan suara dilaksanakan perlu diwaspadai terhadap kemungkinan-kemungkinan berikut:
1. kemungkinan kotak suara tidak disegel atau penyegelan menunggu pemungutan suara selesai dilakukan.
2. kesulitan berpartisipasi dalam pencoblosan karena tidak masuk daftar pemilih atau tidak punya KTP.
3. pemilih yang tidak mencelupkan jarinya dalam tinta setelah mencoblos.
4. adanya surat suara yang berlubang dua.
5. angka partisipasi yang rendah.
Mencermati hal tersebut sudah seharusnya KPU/KPUD, Bawaslu/Panwaslu, KPPS, PPS, Pemantau Independen serta masyarakat lebih mawas terhadap segala kemungkinan negatif yang berpotensi merusak event pilkada.
Pada akhirnya, institusi perguruan tinggi beserta sivitas akademiknya diharapkan menjadi motor penggerak dan menjadi contoh dalam berperilaku santun dan sopan dalam berpolitik.
[1] Rektor Unisda, Makalah ini disampaikan dalam Talk Show Sosialisasi Tugas Panwas dalam Pilgub Jatim 2008, tanggal 18 Juni 2008 oleh Fakultas Hukum Unisda dan Panwaslu Jatim.

Senin, 16 Juni 2008

Di antara Bentuk-Bentuk Mahasiswa Kita

Oleh: M. Afif Hasbullah

Mahasiswa merupakan individu terdidik yang diharapkan dengan pendidikan yang dikuasainya dapat menyumbangkan sesuatu nilai positif bagi perkembangan masyarakat dan kesejahteraannya. Karena itu sudah selayaknya tanggungjawab dan moralitas disandangkan pada para mahasiswa yang dianggap masih ”putih” atau mengabdi pada kebenaran dan kejujuran ilmiah.
Kata maha yang disandangkan pada kata siswa sebagai pembeda bahwa mereka adalah kaum terpelajar tingkat tinggi sudah seharusnya dipegang teguh oleh mereka para penyandang sebutan itu. Ini tentu berbeda, apabila dibandingkan dengan mereka yang masih menempuh pendidikan pada tingkatan dasar dan menengah.
Konsekwensi seorang mahasiswa dengan demikian berkorelasi pada seluruh tingkah, laku, ucapan maupun sikapnya yang menunjukkan kapasistasnya sebagai maha. Dalam hal ini, mengharuskan semua penyandang sebutan itu untuk senantiasa ada dalam rel dan norma ilmiah.
Dalam tataran ideal, mungkin apa yang teruraikan di atas lebih merupakan suatu target idealis. Apa yang sebaiknya. Karena didalam tataran lain, ada bentuk ”apa yang terjadi”. Dalam dunia faktuil dapat kita temui bentuk-bentuk mahasiswa yang beraneka ragam coraknya.[1] Masing-masing di antara mereka juga dengan bangganya menyebut masing-masing sebagai mahasiswa.
Bentuk pertama, mahasiswa kutu buku. Mahasiswa ini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kuliah, memperhatikan tugas-tugas dosennya dengan baik, cukup intens mengunjungi perpustakaan. Corak demikian tentu merupakan mahasiswa yang baik, karena ia disiplin, serius dalam belajar dan memperhatikan norma-norma yang berlaku dalam pendidikan. Pada akhirnya, mahasiswa ini akan memeperoleh nilai sangat memuaskan atau cumlaude.
Bentuk kedua, mahasiswa aktivis murni. Mahasiswa ini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan-kegiatan keorganisasian di dalam maupun di luar kampus. Sayangnya, cukup kerap ditemui diantara mereka malas untuk kuliah dan mengikuti kegiatan akademik di kampus. Walaupun tentu, kerap pula ditemui diantara mereka berhasil mengelola organisasinya dan menjalankan kegiatan oerganisasi dengan kualitas yang memuaskan. Belum lagi modal jaringan yang mereka dapatkan di luar kampus, sudah cukup menjadi modal manakala mereka akan terjun di masyarakat nantinya.
Bentuk ketiga, mahasiswa entertain. Mahasiswa macam ini kerap tidak mempunyai orientasi yang jelas ketika masuk di dalam suatu lembaga pendidikan tinggi. Mereka ketika ditanya, ”kenapa masuk fakultas ekonomi?”. Tidak dapat menjawab dengan logis dan ilmiah sebagaimana layaknya jawaban seorang intelektual yang seharusnya menjawab dengan ”saya masuk fakultas ekonomi, karena saya ingin mempelajari sistem ekonomi kita. Karena saya khawatir ada yang salah dalam sistem ekonomi kita, sehingga saya perlu untuk ambil bagian memperbaiki”. Atau dengan jawaban ” saya ingin menjadi seorang praktisi ekonomi, mengingat di fakultas ini mempunyai keunggulan sarana untuk mewujudkan cita-cita saya”. Tentu, mahasiswa entertain yang umumnya adalah menjawab dengan ”saya masuk fakultas ekonomi, karena banyak temannya”, atau ”karena di situ cowoknya ganteng-ganteng” atau ”cantik-cantik”.
Mahasiswa bentuk ketiga ini hampir susah sekali diajak berpikir yang berat-berat. Mereka maunya yang standar-standar. Juga tidak ada patokan prestasi. Karena bagi mereka kuliah adalah tempat dimana mereka bisa mengahbiskan waktunya demi untuk menyandang mahasiswa.
Bentuk keempat, mahasiswa show. Mahasiswa ini di dalam kuliahnya tiada yang dipikirkan selain: nanti pakai baju apa, lipstik warna apa, handphone harus up to date, sepeda motor harus yang baru. Dengan kata lain, status mahasiswa merupakan sarana mereka untuk mejeng dan tebar-tebar pesona (ttp).
Bentuk kelima, mahasiswa aktivis kutu buku. Mahasiswa corak ini menampilkan keseimbangan antara seorang akademisi yang menjunjung tinggi sikap dan kebenaran ilmiah dengan semangat dan kecenderungannya untuk ikut sebagai bagian dari insan perubahan. Ia sadar, bahwa tugas kemahasiswaan bukan hanya merupakan tugas akademis yang terkungkung oleh tembok kampus, kebenaran referensi satu dua buku, atau bahkan ilmuwan kaca mata kuda. Namun sepenuhnya ia menyepakati bahwa tugas kemahasiswaan juga harus peduli dan reaktif terhadap soal-soal pada lingkungan masyarakatnya yang harus diberdayakan, dibebaskan, dan diantarkan menuju gerbang kesejahteraan.
Mencermati dan mendiskusikan bentuk-bentuk mahasiswa di atas, sudah seharusnya kita dapat mengambil kesimpulan yang bebas. Mau memilih yang mana dari lima bentuk itu. Tentu ketepatan memilih salah satu bentuk mahasiswa di atas juga mau tidak mau pada akhirnyamenunjukkan kapasitas kita sebagai mahasiswa yang sesunggungnya ideal. Selamat memilih.
[1] Mahasiswa dalam tulisan ini tidak membatasi lokalitas daerah atau perguruan tinggi tertentu, namun secara umum yang ada dan diamati penulis.

Refleksi Hari Pendidikan Nasional dan Kebangkitan Nasional


Oleh: M. Afif Hasbullah

Pada bulan Mei setidaknya terdapat 2 hari bersejarah yang diperingati secara nasional oleh bangsa Indonesia, yakni 2 Mei Hari Pendidikan Nasional (Harpenas) dan 20 Mei Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Memang, selain dua hari itu ada hari lain yang juga diperingati pada bulan Mei, yakni Hari Buruh Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Mei Biasanya pada hari itu para buruh libur dan mengisi kegiatannya dengan pengungkapan aspirasi buruh, bisa berupa diskusi dan seminar sampai pada penyampaian aspirasi di tengah jalan (demonstrasi). Pada bulan Mei pula merupakan hari terakhir berkuasanya Soeharto sebagai presiden RI selama kurun waktu 32 tahun,yakni ketika Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998.[1]
Harpenas yang diperingati tiap tanggal 2 Mei itu mempunyai sejarah yang dikaitkan dengan sang pejuang pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara. Beliau dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Untuk menghargai dan mengambil pangkal tolak dari sang pejuang pencerdasan bangsa itulah, maka tanggal kelahiran sang pejuang di tetapkan sebagai hari pendidikan nasional yang setiap tahun diperingati oleh bangsa Indonesia.
Sedangkan Harkitnas yang jatuh pada tanggal 20 Mei itu mempunyai konsteks historis yang tidak lepas dari berdirinya Boedi Oetomo sebagai salah satu organisasi pergerakan yang memperjuangkan hak-hak pribumi untuk mendapatkan kesejahteraan umum.
Dalam konteks sejarah memang masih ada juga yang berbeda pendapat mengenai penentuan tanggal jatuhnya peringatan Harkitnas itu, ada yang mengatakan bahwa Harkitnas ditentukan pada tanggal 20 Mei itu melihat momentum berdirinya Boedi Oetomo, juga bahwa pergerakan Boedi Oetomo bersifat nasionalis dengan pemahaman bahwa organisasi itu didirikan tidak dilatar belakangi oleh agama dan keyakinan tertentu. Ada pula yang berpendapat bahwa Harkitnas mestinya diperingati dengan mengambil momentum lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tanggal 16 Oktober 1905, mereka yang berpendapat demikian dilatar belakangi pemahaman bahwa SDI berdiri lebih dahulu dari pada Boedi Oetomo. Juga mereka mempunyai argumentasi keberadaan SDI yang dianggotai oleh wakil-wakil dari daerah-daerah di luar Jawa.
Unsur perwakilan luar Jawa seperti itu memang tidak ada dalam Boedi Oetomo, karena Boedi Oetomo terdiri dari mahasiswa asal Jawa dan kebanyakan diantara mereka adalah kaum ningrat. Memang ada yang memperdebatkan ini dalam konteks, SDI yang berideologikan Islam namun berskala nasional dan dari awal anti penjajahan. Sedangkan pada sisi lain, walaupun Boedi Oetomo didirikan dengan skala Jawa Madura dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat dengan tetap berusaha kooperatif dengan pemerintah kolonial, namun ia bersifat nasionalis.
Ya, kalau kita hanya terjebak pada tanggal mana dan argumentasinya seperti apa, nampaknya akan menjadi panjang ceritanya. Yang lebih penting menurut penulis adalah mengambil makna dari Harkitnas dan Hardiknas buat kepentingan jangka ke depannya. Juga perlu untuk merefleksikan sejauhmana potret kemajuan kebangkitan bangsa dan keterdidikan bangsa ini.
Tahun 2008 ini, peringatan Hardiknas memang dikaitkan dengan Harkitnas. Sehingga menjadi relevan pula di sini untuk dapat mendiskusikan bersama-sama keberadaan kedua peringatan itu dengan kondisi faktuil yang dialami bangsa Indonesia hari ini dan harapan proyeksinya ke depan. Seyogyanya pula, semua hari-hari besar tidak hanya dipahami kesendiriannya masing-masing, peringatan HUT RI sendiri, peringatan hari Ibu sendiri, peringatan Isra’ Mi’raj sendiri, Tahun Baru sendiri, dan sebagainya. Alangkah menariknya manakala masing-masing peringatan itu sekali waktu di kaitkan benang merahnya, misalkan Hardiknas dan Harkitnas itu. Juga tidak jelek untuk mengkaitkan peringatan hari besar agama dengan hari besar nasional. Penulis yakin, dengan seringkali mengkaitkan pemaknaan hari besar yang ada akan semakin memperkuat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentu saja dengan demikian diharapkan tumbuh dan menguatnya nasionalisme yang berakar kuat pada budaya dan moralitas agama pada keluarga besar NKRI itu sendiri. Diharapkan juga ikatan antar suku, agama dan ras menjadi semakin kuat, karena perbedaan yang merupakan kodrati kehidupan tidak dilihat sebagai faktor pembeda, bahkan perlu dicari kesamaan-kesamaan di antara sesama. Sehingga yang muncul adalah suasana persaudaraan dan kekeluargaan (integralistik) di antara warga bangsa.
Lantas apa yang dapat diambil refleksi dari peringatan Hardiknas dan Harkitnas ini?, Tentu melalui Hardiknas kita diingatkan kembali mengenai filosofi luhur pendidikan nasional dan keberadaannya di dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul, bermoral, berbudaya dan bermartabat. Kita juga senantiasa diingatkan pada ajaran-ajaran para tokoh dan pembaharu pendidikan di Indonesia, misalnya Ki Hadjar Dewantara: Ing Ngarso sung tulodho, Ing madyo mangunkarso, Tut wuri handayani.
Melalui Harkitnas, bangsa Indonesia juga diharapkan untuk senantiasa bangkit dan bangkit untuk memperbaiki kesejahteraan warga bangsa. Kebangkitan nasional yang dulu dimaksudkan sebagai upaya untuk mengakhiri kolonialisme, namun ketika kolonialisme sudah enyah dari Bumi Pertiwi, tentu yang harus dilawan hari ini dan ke depannya adalah untuk bangkit dari kebodohan, bangkit dari kemiskinan, bangkit dari pengangguran, bangkit dari wabah penyakit,bangkit dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta tentu saja bangkit dari penjajahan ekonomi yang kapitalistik.
Semua bisa dimaknai sebagai keterjajahan bentuk baru, yakni berbeda dengan penjajahan lama oleh pihak asing yang bersikap agresi dan pengkolonian suatu wilayah. Penjajahan bentuk baru, dapat pula dimotori dan dilakukan oleh bangsa sendiri dan diri sendiri. Bangsa sendiri dapat menjadi motor penjajahan sudah tidak asing lagi, yakni mereka-mereka yang suka menjual aset dan kehormatan bangsa pada pihak asing, menggantungkan masa depan negara pada pihak asing untuk kepentingan diri pribadi dan kelompoknya, walau acapkali mereka menyatakan ini untuk kepentingan negara. Namun pada kenyataannya semua bohong, walau semua upaya dilandaskan pada hukumyang dibuat untuk mendukung itu, tapi semua hanyalah bermuara pada kerugian negara, baik aset maupun kehormatan. Kita dapat belajar mengenai hal ini pada sejarah, ingat proyek nasional mobil Timor, kebijakan BLBI, kontrak dengan IMF, perjanjian-perjanjian dengan perusahaan asing yang tidak adil, penjualan aset penting negara baik perusahaan maupun barang.
Beberapa fakta sejarah di atas, merupakan contoh semata bahwa di antara banyaknya rakyat yang menderita, miskin, bodoh, dan sakit-sakitan kebijakan-kebijakan yang cenderung merugikan rakyat itu diambil oleh sementara ”elit penguasa”. Sekali lagi dengan dalih kepentingan rakyat, walaupun pada kenyataannya rakyat tetap melarat.
APBN pun menjadi berat, karena uang negara yang raib dikemplang tak kunjung kembali, belum lagi pembayaran utang negara yang wajib dibayar,ditambah pula dengan kenaikan harga minyak dunia yang memicu naiknya harga-harga. Keadaan menjadi semakin sulit. Mau tidak mau, suka tidak suka, akhirnya pemerintah SBY akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk mendukung APBN. Sampai di sini rakyat ikut menanggung akibatnya. Walaupun ada kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT), tapi ini justru akan membuat warga bangsa menjadi pemalas, memang cukup membantu daya beli, tetapi tidak memacu produktifitas. Kenapa tidak melakukan padat karya misalnya?
100 tahun kebangkitan nasional belum menunjukkan kebangkitan yang sesungguhnya. Artinya sampai saat ini bangsa Indonesia belum mempunyai posisi tawar yang disegani dalam percaturan dunia internasional. Karena banyak kebijakan dan policy negara masih tergantung pada suatu kekuatan asing. Dulu, tahun 1990 an Indonesia pernah dijuluki sebagai salah satu Macan Asia, ada juga sebutan lain New Emerging Force, yakni Indonesia disebut sebagai negara yang tumbuh pesat perkapitanya sebagaimana negara Korea Selatan.
Namun itu semua pada akhirnya hanya menjadi sebutan belaka atau tidak menjadi kenyataan. Karena tidak lama kemudian, ”pertahanan” dan ”kewibawaan” bangsa ini sempat tersenggol oleh badai krisis moneter atau krisis ekonomi. Sehingga rupiah pada waktu itu sampai hanya bernilai Rp. 16.000/US Dolar. Memang, banyak analis menyatakan ini disebabkan ulah George Soros, seorang profesional valas yang dapat membuat ekonomi Asia terguncang.Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa proses recovery Korea Selatan, Malaysia dan Thailand dapat lebih cepat dari Indonesia?.
Dalam bidang pendidikan pun, keberadaan Indonesia masih belum terlalu memuaskan. Dari sudut penganggaran pendidikan, Indonesia masih kalah dengan negara maju lainnya, anggaran pendidikan Indonesia saat ini teregulasikan dalam UUD 1945 sebesar 20% dari APBN namun realita UU APBN 2008 hanya sekitar 12% dari APBN. Pada saat yang lebih dulu Malaysia 25%, Singapura 30%. Ini menunjukkan bahwa komitmen konstutusional kita untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan yang baik masih dapat dipertanyakan.
Dari sudut perguruan tinggi yang masuk top world university, Indonesia masih kalah dengan negara-negara terdekat, seperti Singapura, Malaysia, Australia, apalagi Jepang. Dari sudut kejuaraan dan penelitian, Indonesia juga masih kalah kompetitif dengan negara-negara yang tersebut di atas.
Belum lagi, upaya perbaikan kualitas pendidikan nasional yang seyogyanya direncanakan sebagai pintu utama perbaikan kualitas bangsa secara umum, sebagai suatu negara yang adil, makmur dan sejahtera ternyata belum dibarengi pula oleh kondisi SDM yang mendukung. SDM pendidikan di Indonesia, masih ”banyak” yang dihasilkan oleh gelar sarjana yang tidak diperoleh secara tidak sah atau minimal penuh dengan cara-cara kolutif. Misalnya seseorang yang kuliah kelas jauh, tidak ikut kuliah tapi dapat ijasah, atau bahkan jual beli ijasah.Dalam momentum hardiknas sebagai bagian dari harkitnas ini, sudah seyogyanya semua elemen dan komponen bangsa menyatukan langkah untuk memperbaiki kesejahteraan bangsa di masa yang akan datang.
[1] Selain tanggal-tanggal tersebut, ada juga beberapa hari bersejarah yang jatuh pada bulan Mei. 1 Mei hari pembebasan Irian Barat, 4 Mei hari bangkit pelajar IslamIndonesia, 31 Mei hari anti tembakau.