Kamis, 27 November 2008

Selamat Ultah Unisdaku..

M. Afif Hasbullah[1]

Usiamu hari ini Jum’at 28 Nopember 2008 telah genap 22 Tahun. Sebuah perjalanan panjang yang penuh peluh. Namun saat ini engkau telah berkembang dewasa, seorang pemuda yang sedang tumbuh berkembang menentukan jati dirinya. Terasa sekali bahwa usaha dan perjuangan selama ini, langkah demi langkah telah menghasilkan prestasi, Unisda semakin dewasa, semakin sehat, semakin luas pergaulannya, dan semakin berkiprah di tengah-tengah masyarakatnya.
Walaupun demikian, Unisdaku harus tidak cepat berpuas diri dengan apa yang dicapai. Masih banyak tantangan yang menghadang di kemudian hari, semuanya harus disiapkan dengan matang, strategis dan termanage. Persaingan dunia global di bidang pendidikan dan dunia industri mengharuskan Unisda untuk senantiasa memperbaiki diri dan berbenah. Banyaklah mengaca terhadap kekurangan diri, janganlah cepat puas atas prestasi, dan anggap sebuah kegagalan yang terjadi merupakan keberhasilan yang tertunda. Jadikan kegagalan dan ketidaksempurnaan sebagai batu loncatan untuk melejit ke posisi yang lebih tinggi.
Ingat Unisdaku, engkau merupakan perguruan tinggi kebanggaan warga nahdliyin di Lamongan, bahkan keberadaanmu sudah mulai mendapat simpati yang baik dari masyarakat. Engkau banyak dibutuhkan oleh banyak pencari ilmu, baik yang ada di kotamu sendiri maupun mereka yang ada di luar kota, bahkan luar propinsi. Ingat pula wahai Unisda, engkau adalah Universitas tertua di Lamongan, walaupun memang bukan perguruan tinggi yang tertua, namun lompatan prestasimu dan tumbuh kembang pribadimu telah banyak melampaui teman-teman sebayamu yang lain.
Jadi Unisda, engkau di Ulang Tahun yang ke 22 ini, bersyukurlah. Memujilah dengan segenap rasa syukur,yang tulus dan ikhlas seraya memohon kepada Allah SWT agar senantiasa mebimbingmu dalam kebenaran dan menolongmu atas bahaya yang mungkin muncul. Juga, sampaikan terimakasih setulus hati kepada semua keluarga, handai taulan, dan seluruh masyarakat yang selama ini membangun dirimu, mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk kebesaranmu, serta stake holder semuanya yang telah membantu dirimu. Karena kedewasaan dan kebesaranmu hari ini juga atas andil semua pihak.
Secara khusus wahai Unisda, engkau harus ingat dari rahim siapa engkau dilahirkan, serta siapa yang membidani lahirnya dirimu. Kehormatan yang engkau sampaikan pada orang tua mu akan menunjukkanbaktimu pada mereka. Oleh karenanya jangan lupakan mereka, jadilah seorang putra kebanggaan yang bisa membuat para orang tua berbahagia dantidak pernah menyesal melahirkan dirimu. Patuhi pesan orang tua, ikuti petuahnya dan jangan sekali-kali lupa sekedar mendoakan setiap waktu.
Engkau lahir dari rahim Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar pada tahun 1986 yang lalu. Kelahiranmu telah dinantikan jauh hari sebelumnya oleh K.H. Sofyan Abdul Wahab, kyai kharismatik pendiri pondok Matholi’ul Anwar. Beliau dengansangat mendalam mengharapkan kehadiranmu untuk melengkapi saudaramu yang lain,yakni Madrasah Ibtidaiyah,Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, SMP NU serta SMK NU. Namun sayang, beliau tidaksempat melihat kelahiranmu dan tumbuh kembang dirimu. Beliau sudah wafat semenjak tahun 1983, tiga tahun sebelum Unisda lahir.
Engkau pun tidak dapat dipisahkan dari peran besar seorang bidan yang sekaligus sebagai tukang susumu, pembina dan pembimbingmu hingga engkau hampir melepas masa remajamu. Delapan tahun lalu,bidanmu telah tiada dalam kondisi memperjuangkan kebesaran dirimu. Ya, K.H. Masjkuri Shodiq bidanmu itu mengalami kecelakaan bersama K.H. Saifuddin Zuhri, pembantu bidan karena tertabrak kereta api di depan rumahmu sekarang. Saat itu beliau berdua sedang menguruskan pendirian magister agama sebagai bagian dari upaya membesarkan dirimu.
Unisda, ketika engkau merenungi dengan baik sejarah kedirianmu. Aku yakin, haqqul yakin. Pada hari ini engkau justru berusaha membuktikan gelora semangatmu yang tinggi, dan engkau ingin menunjukkan kapasitas dirimu pada dunia. Bahwa engkau suatu saat akan menjadi perguruan tinggi besar yang bermanfaat untuk bangsa, negara dana agama. Amin.
Dirgahayu Unisdaku!!!
[1] Kutulis senja hari, 27 Nopember 2008.

Rabu, 26 November 2008

Sebuah Ajakan Berhemat dalam Konsumsi Energi

Oleh: M. Afif Hasbullah
Pendahuluan
Allah SWT menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya adalah untuk didayagunakan sebaik-baiknya demi kemakmuran dunia, dikelola menurut hukumNya, dan hendaknya mengacu pada ketentuanNya dalam al Qur’an dan as Sunnah. Manusia sebagai salah satu penghuni bumi, diberikan mandat oleh Allah untuk mengurusi dan mengelola isi alam semesta ini dengan sebaik-baiknya sebagai khalifatullah di muka bumi.
Ciptaan Allah beserta segala isinya itu dilengkapi dengan manual prosedur (hukum-hukum Allah) agar supaya dapat didayagunakan semaksimal mungkin, dimanfaatkan sedemikian rupa sesuai peruntukannya, serta dapat berumur panjang sehingga maslahatnya lebih optimal. Namun apabila manual prosedur itu tidak dipakai atau dikesampingkan, maka tentu saja sistem alam semesta menjadi kacau, tidak terjadi keseimbangan sistem dan ujung-ujungnya adalah kerusakan alam semesta. Firman Allah menyatakan: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar rum:41).
Di antara isi dunia yang diciptakan Allah itu adalah sumber daya energi yang terdiri dari bermacam-macam bentuk yakni tambang minyak, batubara, gas alam, kekuatan aliran air, kekuatan gelombang laut, kekuatan energi surya dan sebagainya. Yang kesemuanya itu dapat diubah bentuknya menjadi energi yang menggerakkan mesin-mesin dan sarana produksi serta sarana transportasi ummat manusia.
Aset sumber daya yang dititipkan Allah kepada manusia itu ada yang bisa habis (tidak dapat diperbarui) ada pula yang tidak dapat habis (dapat diperbarui). Oleh karena itu manusia harus pandai-pandai memanfaatkannya, agar optimal dan bertahan lama. Perlu diwaspadai bersama, di era mutakhir ini sudah mulai terjadi gejala-gejala alam yang tidak biasa semacam perubahan iklim, baik itu terwujud dalam badai besar, curah hujan yang tidak stabil, pemanasan global dan sebagainya. Belum lagi, saat kita dihadapkan pada krisis energi, yang ditandai dengan semakin menipisnya cadangan minyak, harganya yang tinggi padahal energi lain yang diharapkan menggantikan minyak belum ditemukan atau masih belum dapat diproduksi massal.
Oleh karena itu, dalam pemanfaatan energi saat ini dan di masa datang ummat manusia harus dapat memperlakukan alam dengan sebaik-baiknya, mengambil secukupnya, memperbarui sebisanya, demi kelestarian ekologis dalam sistem peri kehidupan dunia untuk anak cucu nanti.
Konsumsi dan Pemanfaatan Energi sebagai Bentuk Konsumsi
Pemakaian atau penggunaan manfaat dari barang dan jasa merupakan kegiatan konsumsi. Sehingga konsumsi merupakan tujuan yang penting dari produksi
, tetapi tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Islam adalah agama komprehensif yang ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan, baik pengaturan tingkah laku manusia, maupun aspek moral dan etika. Islam mengatur sedemikian detil hal-hal kecil, semacam halal-haram, najis-suci dan sebagainya. Sehingga hal ini yang membedakan kesempurnaan Islam dibanding sistem kemasyarakatan manapun, baik modern atau lama, termasuk dalam hal ini konsumsi.
Konsumsi tentu tidak hanya berkaitan dengan makanan, karena konsumsi terkait juga dengan pemanfaatan barang dan jasa. Oleh karenanya pemanfaatan energi untuk memenuhi kebutuhan manusia juga merupakan bentuk konsumsi itu sendiri.
Hemat Energi, Lingkungan Hidup dan Kemaslahatan Hidup
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kekayaan yang luar biasa. Di antara kekayaan itu adalah, hamparan tanah sawah dan perkebunan, sungai dan lautan beserta isinya, gunung-gunung yang masih aktif, pusat-pusat tambang perut bumi, potensi hutan yang amat besar, dan didukung oleh kuantitas sumberdaya manusia yang besar. Semua adalah rahmat dan karunia Allah pada bangsa Indonesia untuk didayagunakan sebesar-besar kemakmuran rakyatnya.
Eksploitasi terhadap tambang, hutan dan sumberdaya air yang sedemikian luas, akan sangat mengkhawatirkan manakala tidak diimbangi dengan pengelolaan yang sesuai dengan asas kemanfaatan seluruh rakyat dan asas pelestarian lingkungan hidup.
Melalui pemanfaatan SDA yang cerdas dan berwawasan lingkungan, diharapkan dapat mencapai kemaslahatan hidup yang sesungguhnya. Yakni suatu kehidupan masyarakat yang adil makmur dan sejahtera. Allah SWT berfirman: "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmatan lil'alamiin" (QS. 21 : 107). Pandangan hidup ini mencerminkan pandangan yang holistis terhadap kehidupan kita, yaitu bahwa manusia adalah bagian dari lingkungan tempat hidupnya. Sekaligus manusia merupakan pemegang mandat pemakmur bumi.
Namun manusia pula sebagai pembuat kekacauan bumi, sebagai akibat perbuatan nafsu rakus dan boros anak manusia, yang sebenarnya oleh Allah telah diingatkan dalam firmanNya: "Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah membuat kerusakan di muka bumi", mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (QS. 2 : 11).
Keingkaran manusia tersebut menimbulkan bencana alam dan kerusakan di bumi sebagaimana firmanNya: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". Katakanlah : "Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)." (QS. 30 : 41-42).
Tanda-tanda kebenaran firman Allah telah dapat dibuktikan dalam fakta banyaknya terjadi bencana alam, kekeringan, banjir, tanah longsor, air yang tercemar, bahan bakar yang menipis dan lain-lain.
Oleh karenanya manusia sudah seharusnya kembali instrospeksi, konsolidasi, dan menata kembali budaya yang memperkosa alam dengan pemborosan SDA menjadi budaya yang dianjurkan oleh sang pembuat alam semesta beserta manual prosedurNya. Termasuk upaya sederhana yang berdampak besar yakni berhemat dalam mengkonsumsi apapun termasuk listrik, BBM dan Air. Wallahu A’lamu.

Minggu, 23 November 2008

Mempersoalkan Relasi NU dan Politik

Oleh: M. Afif Hasbullah
Nahdlatul ’Ulama (NU) merupakan organisasi yang besar. Kebesarannya tentu secara kuantitatif dapat dilihat dari jumlah anggota, pengaruhnya dan kekuatannya dalam ikut serta untuk mempengaruhi konstelasi kenegaraan dan kebangsaan. Pengaruh yang sedemikian besar itu tentu memicu ketertarikan dari banyak pihak yang menginginkan kekuasaan dan dukungan kekuatan yang kukuh untuk melanggengkan maupun menstabilkan posisinya.
Karena itu tidak heran apabila setiap event pemilu, pilpres, pilkada, maupun pil-pilan lainnya kebesaran NU itu sendiri banyak diperhitungkan oleh pihak lain. Ramai-ramai mereka yang membutuhkan NU berusaha mendekat dan menarik simpati. Tentu ada yang tulus, ada pula yang niatnya hanya pada tataran luar saja, artinya kebaikan yang tampak itu hanya strategi untuk menarik simpati.
Namun apa pentingnya merelasikan NU dengan politik?, kenapa kita harus bicara relasional yang semacam itu? Apakah pernah ada masalah antara hubungan NU dan politik, sehingga patut untuk mempermasalahkan relasi keduanya?. Beberapa pertanyaan itu tentu ada kaitannya, termasuk dengan keberadaan Khittah. Artinya dengan adanya khittah itu berarti sudah menjelaskan dan merapikan bagaimana positioning NU ke dalam ranah politik.
Dalam beberapa paragrap di bawah, kita mencoba untuk mendiskusikan hubungan relasi itu, termasuk mengenai prespektif khittah dalam ikut menjelaskan NU dan politik. Relevansi khittah dengan kondisi saat ini nampaknya juga menjadi penting untuk dibicarakan.
***
NU adalah kumpulan dari individu-individu muslim di Indonesia yang secara tradisi mengusung Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Yakni mereka-mereka yang setia akan ajaran Nabi Muhammad, para sahabat, para Imam yang empat (Maliki, Hanafi, Syafii dan Hambali) serta mengikuti tasawwuf kepada Imam Ghozali, Imam Junaidi al Baghdadi serta secara teologis mengikuti Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi.
Sebagai suatu perkumpulan besar didalam suatu negara, tentu NU mempunyai kepentingan yang harus diperjuangkan, baik kepentingan organisasi maupun kepentingan jamaah (warga) nya yang sedemikian luas. NU juga menjunjung tinggi konsep Islam rahmatan lil alamin. Konsep ini mengandaikan Islam harus bermanfaat seluas-luasnya untuk seluruh alam. Tidak memandang golongan, kelompok, agama, suku, ras, dan budaya semua harus dapat berdampingan dengan baik, dan Islam pada posisi ini harus bisa menebar rahmat, kesejukan, dan kedamaian dengan sesama ummat manusia.
Namun demikian, pada tataran praksis peran NU dalam mengusung dan meninggikan Islam sebagai rahmatan lil alamin itu tentu saja harus diwujudkan dalam suatu konsep dan tindakan yang nyata. Konsep dan tindakan itu tentu saja dengan ikut mempengaruhi dan menentukan kebijakan-kebijakan negara. Artinya, salah satu sarana perjuangan yang harus diupayakan adalah untuk menduduki posisi-posisi strategis yang dapat menentukan kebijakan negara (state policy) dan ikut menentukan arah negara ini.
Pada tataran ketatanegaraan, setidaknya dalam iklim demokrasi dewasa ini, terdapat beberapa pembagian tugas kenegaraan, yakni bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pada posisi eksekutif, terdapat beberapa jabatan mulai presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, maupun kepala desa, baik dengan wakil atau tidak. Posisi legislatif, tentu adalah jabatan anggota DPR, DPRD baik ditingkat propinsi maupun kota dan kabupaten. Sedangkan posisi yudikatif, terdiri dari beberapa kekuasaan kehakiman, apakah itu Mahkamah Agung sampai pengadilan Negeri maupun Mahkamah Konstitusi.
Dengan pewadahan seperti itu, NU ketika mau mewujudkan harapannya untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan organisasi maupun warganya pada satu sisi dan pada sisi yang lain ingin mengaktualisasikan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Maka yang harus dilakukan oleh NU adalah dengan menduduki kekuasaan negara.
Namun demikian, ada kendala yang menghinggapi NU. Kenyataan bahwa NU bukanlah partai politik yang dapat mengikuti pemilu. Juga, NU telah ”dipagari” oleh keberadaan khittah 1926 yang diputuskan tahun 1984 dalam Muktamar Situbondo itu. Di mana NU tidak terikat dengan salah satu parpol manapun. Dengan dua fakta tersebut yang sering menjadi ribut adalah kesulitan jamiyah NU untuk memposisikan diri ketika ingin turut serta dalam mewujudkan konsep islam rahmatan lil alamin pada tataran kebijakan negara.
Persoalannya adalah ketika bermaksud untuk ikut dalam proses mempengaruhi kebijakan itu yang harus lebih dekat dengan suatu partai atau beberapa partai, NU kerap dicurigai. Dikatakan bahwa NU sudah terlalu jauh masuk politik praktis, demikian pula para pengurusnya dianggap telah melanggar khittah 1926. Padahal kalau khittah hanya dipahami sedemikian rupa, sesungguhnya yang ”rugi” adalah NU sendiri. Karena dengan Khittah itu ada keterbatasan-keterbatasan untuk bergerak.
Di dalam prakteknya, NU sebenarnya secara politik praktis pernah terjun langsung masuk ke dalam teknis politis ketika PBNU memfasilitasi berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Maka tidak heran ketika PKB mengatakan satu-satunya partai yang didirikan oleh NU. Memang, di dalam sejarahnya PBNU waktu itu sangat hati-hati, dan pula sempat membuat statemen bahwa NU tidak akan mendirikan partai dan tidak merubah dirinya menjadi partai politik seperti era Orde Lama. Namun desakan-desakan warga yang menginginkan adanya saluran politik warga NU yang sedemikian besar, memaksa pengurus PBNU membuat tim lima dan tim sembilan yang bertugas mendirikan PKB.
Apapun bahasanya, bahwa NU telah bermain dalam politik praktis ketika NU memfasilitasi berdirinya PKB. Namun dengan tindakan PBNU waktu itu, apakah hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap khittah?. Tentu jawabannya tidak semudah memotret faktanya. Karena memahami kejadian tersebut harus dengan pengetahuan khittah yang benar. Betulkah pemaknaan khittah harus sekaku demikian. Ketika seorang pengurus NU mau maju sebagai calon dalam pemilu maka tidak boleh merangkap, dan NU pun tidak boleh merekomendasi.
Pada kenyataannya pula contoh yang demikian seringkali terjadi. Artinya manakala pengurus NU duduk dalam jabatan kenegaraan, ikut sebagai kontestan pemilu, maupun pengurus partai semua dibirakan saja oleh mekanisme organisasi NU. Tidak ada tidakan sama sekali untuk meluruskan hal ini. Padahal, wibawa sebuah organisasi ditunjukkan dari ketaatan dan loyalitas pada peraturan yang ada. Ini menimbulkan persepsi dan kecenderungan saling menyalahkan antar pengurus maupun warga dengan pengurusnya.
***
Kondisi semacam ini, menjadi pemicu untuk merenungkan kembali keberadaan khittah 1926. Menurut hemat saya, bahwa teks khittah 1926 itu tidak hanya berbicara mengenai politik praktis (posisi NU dengan parpol), namun juga bicara tentang banyak hal lain, yakni landasan amaliah keagamaan NU, sikap organisasi, kedudukan kyai dan relasinya dengan ummat dan juga sikap kemasyarakatan dan keagamaan NU. Bahasa yang menyebut tentang politik praktis pun hanya menyatakan NU tidak terikat dengan partai politik manapun. Tidak terikat dalam kaitan ini tentu tidak cukup dimaknai dengan NU dalam posisi di tengah-tengah tengah, atau NU tidak boleh mesra/dekat dengan suatu partai.
Posisi tidak terikat tentu dapat diartikan lebih leluasa untuk dapat berhubungan dengan partai manapun dan untuk dapat menitipkan atau mempercayakan aspirasinya dengan partai manapun. Semua harus transparan dan dilakukan dengan suatu keputusan organisasi, bukan perbuatan orang-perorang didalam struktur NU yang mengatasnamakan organisasi.
Nah, di dalam posisi ini nampaknya pemerincian kektentuan khittah itu belum didapatkan oleh pelaku (yakni pengurus dan warga). Khittah secara kebahasaan sudah bagus, yang perlu adalah adanya ketentuan yang lebih rinci untuk menjabarkan standar dan prosedur pelaksanaan khittah itu. Bukti yang ada (sekali lagi) adalah, ketika event pemilu dilaksanakan mesti isssu yang muncul adalah masalah khittah dan politik. Artinya saat ini yang dibutuhkan segera adalah membuat penjabaran dan meninjau ulang suatu hubungan NU dan politik dengan lebih cantik dan tetap untuk upaya kemaslahatan ummat dan bangsa secara lebih luas.
PBNU sudah selayaknya menginisiasi adanya proyek penjabaran itu. Kumpulkanlah para perumus khittah, para kyai, para cendekiawan NU untuk ikut bersama-sama memikirkan hal ini. Sangat disayangkan, manakala potensi NU yang sedemikian besar hanya menjadi pepesan kosong yang tidak banyak bisa dinikmati. NU besar hanya diperebutkan (bahkan dijual) kepada partai-partai untuk kepentingan bukan organisasi NU, atau dengan alam demokrasi semacam ini NU justru terpotret pecah ketika para pengurusnya ”bekerja” sendiri-sendiri dengan partainya masing-masing tanpa peduli pada NU. Atau juga, beberapa partai yang ngaku NU pun bukan mengabdi pada NU, bahkan diantara mereka didalam partainya sendiri membuat firqah-firqah yang menampakkan NU tidak solid, tidak rukun, tidak bersatu yang pada akhirnya menimbulkan kesan miring pada kalangan luar terhadap NU, belum lagi hilangnya rasa kebanggan warga pada NU itu sendiri.
Akhirnya upaya untuk merevitalisasi pemahaman dan aksi atas keberadaan khittah 1926 ini perlu dilakukan. Ini adalah era reformasi, di mana semua kepentingan politik harus dijalankan melalui melalui mekanisme demokrasi. Kita harus menyadari bahwa latar belakang khittah dikeluarkan adalah sebagai upaya NU untuk tidak ikut larut dalam tekanan kekuasaan Orde Baru. Yang ketika itu sesungguhnya keberadaan khittah sangat menguntungkan partai penguasa yakni Golkar. Wallahu a’lam.

Sabtu, 22 November 2008

Polluters must Pay, Kaidah Hukum untuk Kasus Lapindo

Oleh: M. Afif Hasbullah
Lumpur panas yang menyembur di kawasan pengeboran Migas Lapindo sampai saat ini belum dapat diatasi. Semburan tersebut bahkan sampai saat ini telah memakan banyak korban yang tidak bersalah, misalnya lebih dari 6000 penduduk yang mengungsi, puluhan pabrik yang tidak dapat beroperasi, ribuan pekerja telah kehilangan tempat untuk bekerja, lingkungan yang ekosistemnya rusak, ratusan hektar sawah dan lahan pertambakan yang tidak dapat dimanfaaatkan lagi, belum lagi biaya sosial lain yang sangat terganggu seperti halnya kegiatan pendidikan, kegiatan keagamaan warga, kegiatan transportasi dan lain sebagainya.
Dari kasus tersebut betapa kita menyadari bahwa mana kala manusia melakukan kegiatan eksploitatif yang cenderung mengabaikan keseimbangan alam, bahkan memperkosanya maka alam pasti melakukan reaksi yang ujung-ujungnya pasti akan mengakibatkan kesengsaraan pada manusia secara umum, tanpa memandang apakah manusia tersebut bersalah secara langsung atau tidak.
***
Dalam tinjauan hukum, persoalan Lapindo dapat dianalisis dari beberapa aturan perundang-undangan yang dilanggar oleh pihak-pihak yang terkait, peraturan-perundangan dimaksud adalah mulai UUD 1945, Undang-undang, maupun peraturan pelaksanaannya.
Sedangkan dari sudut pelaku atau pihak yang bertanggungjawab dalam kasus ini secara hukum adalah pemerintah dan perusahaan pengeboran PT. Lapindo Brantas Inc. Pertanggungjawaban pemerintah atau Negara didasarkan pada fungsi Negara sebagai pihak yang menentukan regulasi dibidang migas dan penentu kebijakan perijinan di suatu Negara. Pemerintah dalam hal ini mempunyai kewajiban untuk menilai apakah suatu kegiatan eksplorasi akan membahayakan atau tidak kepada kelestarian lingkungan hidup, keseimbangan alam maupun terhadap dampak sosial yang lainnya. Pemerintah pun sesungguhnya telah dilengkapi dengan seperangkat mekanisme Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam rangka menjalankan fungsi penegakan hukum lingkungan dan sumberdaya alam, namun keberadaan AMDAL tersebut seolah-olah tidak begitu diperhatikan penegakannya,a akibatnya rakyat juga yang menuai getah dan kesengsaraan. Lapindo hanya salah satu saja kejadian perusakan lingkungan sebagai akibat tidak adanya penilaian terhadap AMDAL, kita dapat melihat kasus-kasus lain yang terjadi sebelumnya dan bahkan sampai sekarang masih berlanjut, misalnya penebangan oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) illegal di hutan-hutan Kalimantan dan Sumatera, penambangan Freeport, penambangan New Mont dan lain sebagainya yang kesemuanya ternyata menyengsarakan rakyat.
Begitu pula sisi pertanggungjawaban PT. Lapindo terhadap seluruh kerugian yang dialami akibat kecerobohan yang dilakukan telah jelas secara hukum, karena sebagaimana telah dikemukaan dalam kaidah hukum positif Polluters Must Pay atau pencemar harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya. Bahkan Pasal 34 UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah jelas menyatakan: “setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran lingkungan yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup mewajibkan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu”.
Seolah melengkapi pelanggaran hukum yang telah dilakukan Lapindo Brantas, PT. Lapindo tidak hanya melanggar UU Lingkungan Hidup dan AMDAL saja tetapi menurut analsis hokum, Lapindo juga melanggar banyak Undang-undang lain, sebut saja UU Jalan Raya, UU Migas, UU Kesehatan, UU Pertambangan, dan bahkan kalau kita mengkaji dari sudut peraturan hukum Hak Asasi Manusia (HAM) ternyata kasus Lapindo mempunyai aspek pelanggaran HAM.
Aspek pelanggaran HAM yang dimaksud dalam Kasus Lapindo ini dapat mengacu pada pasal 28-H ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan: “setiap warga Negara Indonesia berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Oleh karenanya sangat dapat dipahami dalam keseluruhan tuntutan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang di rugikan, terutama masyarakat baik melalui unjuk rasa maupun pressure-pressure terhadap pemerintah maupun PT. Lapindo Brantas, mengingat tuntutan yang dilakukan adalah untuk memulihkan hak-hak mereka yang sampai saat ini masih diabaikan dan diinjak.
Pengabaian HAM masyarakat sekitar semburan tersebut dapat kita lihat dari kenyataan masih belum totalnya upaya penghentian semburan Lumpur, pemberian ganti rugi yang layak maupun jaminan sosial lain akibat semburan dimaksud. Pada sisi lain bahkan pemerintah pun tidak ada koordinasi yang jelas, bahkan kebijakan antar kementerian tidak sinkron misalnya antara Depatemen Pertambangan dengan Kementerian Lingkungan Hidup serta kebijakan pusat dan daerah belum tampak adanya kesesuaian, semuanya berjalan sendiri-sendiri.
Nah, untuk menyikapi kasus tersebut diatas beserta segala akibat yang ditimbulkan, maka dalam tinjauan yuridis pihak-pihak yang bertanggung jawab (pemerintah dan Lapindo) harus segera melakukan beberapa langkah berikut: pertama, lebih dioptimalkan lagi upaya investigasi terhadap pelaku dan penanggungjawab kegiatan eksplorasi tersebut, bahkan semuanya segera diperiksa secara intensif, bahkan bila perlu dilakukan penahanan karena ancaman hukumannya diatas 5 tahun; kedua, bersamaan dengan upaya investigasi tersebut juga secara terus menerus dilakukan upaya penghentian semburan dan penanggulangan bahaya dengan memilih langkah positif yang tidak berakibat semakin merusak lingkungan, misalnya membuang Lumpur atau airnya ke sungai porong atau selat madura; ketiga, segera seret ke meja hijau pihak-pihak terkait, baik pemerintah maupun perusahaan yang terlibat untuk kemudian dimintai pertanggungjawabannya baik secara hukum pidana (kurungan dan denda) maupun perdata (ganti rugi), hal ini sesuai dengan prinsip equality before the law atau kesetaraan semua pihak dihadapan hukum; keempat, semua pihak terkait harus memperlakukan masyarakat secara manusiawi dan beradab, termasuk memperhatikan sandang, pangan maupun papannya; keempat, di dalam kondisi yang sedemikian runyam, mestinya semua pihak harus menunjukkan perilaku yang jujur dan bertanggung jawab, jangan sampai kebijakan-kebijakan penanggulangan yang diambil adalah kebijakan yang menipu masyarakat, seperti halnya penandatanganan kontrak beberapa waktu yang mengandung unsur penipuan dan pemaksaan kepada masyarakat.
The last but not least, kita dapat mengambil pelajaran dari kasus Lapindo ini: pertama, kejadian yang ditimbulkan merupakan akibat dari pelanggaran aturan yang berlaku, baik hukum positif maupun sunnatullah (hukum alam); kedua, akibat yang terjadi secara langsung atau tidak adalah sebagai implikasi dari pelaksanaan proyek yang masih cenderung kolutif, koruptif dan nepotis yang ketiga hal tersebut adalah pelanggaran hukum; ketiga, kesalahan fatal dalam kegiatan industri merupakan sebuah kejahatan, oleh karena itu perlu penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu sehingga dikemudian hari para pelaku akan jera; dan keempat, momentum kasus Lapindo hendaknya menjadi starting point bagi pemerintah atau Negara untuk mengkaji ulang mekanisme dan politik eksplorasi di Indonesia agar supaya bangsa Indonesia tidak semakin terjerumus ke dalam jurang kemiskinan dan kehancuran akibat “penjajahan ekonomi” pihak asing maupun para kapitalis.
(ditulis tahun 2006, dari berbagai sumber)

Jumat, 21 November 2008

Ayo Memahami Nahdlatul Ulama melalui Khittahnya

Oleh: M. Afif Hasbullah[1]

Saat ini terkadang ada kegamangan dalam memandang posisi seseorang dalam memandang NU, sebagai warganya atau bahkan yang menyatakan diri sebagai pemimpinnya. Kegamangan itu tentu diakibatkan oleh kepengetahuannya dan pemahamannya terhadap nilai-nilai NU yang terinternalisasi terhadap kepribadiannya, cara berpikirnya dan pola perilakunya dalam bermasyarakat, berorganisasi dan berbangsa serta bernegara.
Kegamangan yang diakibatkan oleh konsepsi dan cara pandang yang keliru karena mungkin tidak pernah di refresh atau di charge ulang mengenai dasar ideologis NU dan landasan perjuangannya. Hal ini sangat dimungkinkan, di antara kenyataan persoalan yang mendera bangsa dan negara dalam bentuk problem sosial, politik, ekonomi, budaya maupun isu-isu moderen ala demokrasi, hak asasi manusia, gender, maupun ideologi-ideologi trans nasionalainnya. Belum lagi segenap permasalahan yang timbul dalam ranah internal NU berikut segala derivasinya. Apakah sikap politik maupun pandangan keagamaan lainnya.
Sehingga kemudian patut dipertanyakan, sebenarnya kita mau kemana. Ironisnya ada juga warga maupun elit yang tidak mengetahui asal usul sejarahnya dari mana. Karena kalau asal dan tujuan tidak memahami maka tentu saja rancangan tindakan dalam konteks kekinian tidak dapat ditentukan. Mengambang, bingung, hilang arah, dan pada akhirnya tidak ada kebanggaan. Lebih-lebih lagi tidak dapat membedakan lagi bagaimana menjadi warga NU dan bedanya dengan menjadi warga organisasi lain.
Persoalan ini amat sangat fundamental untuk diperhatikan bersama. Terutama kaum muda yang harus senantiasa diingatkan kembali, yang tentu bukan dalam koridor indoktrinasi kaku semata, namun reinternalisasi itu harus dilakukan dalam suatu konteks dan model transformasi pemahaman ke NU an yang bersifat dialogis dan mengusung tema-tema aktual, kekinian dan relevan.
Akan agak sulit memahami apa dan bagaimana serta mau ke mana NU buat generasi sekarang hanya melulu berdasarkan cerita masa lalu semata tanpa mengkontekskan dengan realitas persoalan keummatan yang terjadi saat ini untuk dijadikan pijakan dalam belajar dan memahami NU.
Oleh karena itu sudah tepat sekali manakala terjadi kebimbangan dan keraguan dalam langkah dan mengambil strategi, kita harus kembali pada tataran konseptual dan kesejarahan untuk dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk mencermati dan menyelesaikan problem-problem kekinian yang dihadapi warga NU dalam posisinya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan dunia internasional.
***
Secara kesejarahan kemunculan NU tahun 1926 tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk mempertahankan gerakan Islam ala Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai ajaran yang akan selamat. Di samping itu, juga suatu gerakan yang didirikan untuk membendung kemunculan golongan wahabi yang mulai menyebarkan paham-pahamnya.
Sebelum itu telah pula diawali dengan gerakan-gerakan lain, yakni pendidikan melalui Nahdlatul Wathan, gerakan ekonomi melalui Nahdlatut Tujjar, maupun gerakan ilmiah semacam wahana diskusi dan perkembangan pemikiran melalui Taswirul Afkar.
Dalam kaitan hubungan politik pada masa Kolonial, NU lebih memilih untuk melalukan non kooperative dengan pemerintahan Belanda dan menuntut untuk segera dilakukannya representasi perwakilan rakyat melalui lembaga Volksraad. Secara budayaNU dengan para ulama yang ada di depan untuk mencegah pengaruh budaya kolonial yang menular menjalar ke dalam pribadi dan moralitas bangsa. Ada demarkasi yang jelas mana budaya yang diharamkan dan yang boleh dilakukan.
Semua itu dilakukan untuk upaya Indonesia merdaeka dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang menjadi warganya. Dengan bukti, pada masa kemerdekaan NU secara aktif mendukung proses kemerdekaan itu, termasuk keterlibatannya di dalam konseptualisasi persiapan kemerdekaan melalui PPKI dan BPUPKI serta salah satu konseptor piagam Jakarta yang menjadi asal muasal Pancasila sebagai ideologi negara saat ini.
Di masa-masa awal kemerdekaan NU pun tidak kemudian berhenti mengambil kiprahnya dengan wujud berpartisipasi dalam berpartai dengan membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tahun 1948, sebuah partai yang merupakan gabungan dari ormas-ormas Islam di Indonesia. Namun karena tingkat keterwakilan dan ketidak sepahaman akomodasi warga NU dalam Masyumi yang tidak menguntungkan strategi dakwah NU. Maka kemudian pada tahun 1953, diputuskan NU keluar dari Masyumi dengan membentuk diri sebagai partai politik yakni Partai NU.
Bahwa kenyataan politik menunjukkan, manakala NU mendapat 45 kursi. Sebuah raihan prestasi yang membanggakan, di mana ketika masih bersama masyumi NU hanya mendapat 8 kursi parlemen. Saat menjadi partai sendiri bahkan menjadi urutan nomor 3 pemenang pemilu setelah PNI dan Masyumi.
Perang ideologi berbangsa dan bernegara yang merupakan persoalan laten yang muncul sebagai kenyataan bahwa mayoritas warga negara adalah ummat Islam di satu sisi, dan tuntutan akomodasi warga beragama lain yang merupakan bagian tak terpisahkan oleh suatu negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila membuat NU ikut serta dalam proses perdebatan ideologi Nasiuonalis vs Islamis yang tidak henti-hentinya. Termasuk ketika perdebatan untuk membuat rancangan UUD menggantikan UUDS ’50 yang bersifat sementara itu. Pada akhirnya perdebatan yang meruncing itu membuat keadaan sama kuat di parlemen yang mengakibatkan kekhawatiran perpecahan negara Kesatuan Republik Indonesia,sehingga presiden pada akhirnya memutuskan untuk membubarkan parlemen dengan mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945.
Masa Orde lama, NU berusaha untuk mengambil bagian dalam menentukan kebijakan Negara. Bukan justru meninggalkan negara. Hal ini kemudian dapat dipahami ketika NU menjadi salah satu bagian dari NASAKOM bersama PNI dan PKI. Semata-mata untuk keselamatan negara dan keberlangsungan kebijakan presiden yang bertumpu pada kemaslahatan ummat.
Tidak lama kemudian kejatuhan Presiden Sukarno yang merupakan kelanjutan dari peristiwa Coup D’etat yang dilakukan oleh PKI (walaupun ada sejarawan lain yang berpendapat lain). NU dalam perannya sebagai penyelamat negara ikut dalam menumpas PKI dengan Banser dan Ansornya. Hal ini sebenarnya secara politis, banyak membantu Angkatan Darat dan Soeharto dalam mencapai kursi kepemimpinan Presiden RI.
Peran NU ketika itu dapat mendudukkan NU sebagai Ketua MPRS, melelui ketua PBNU K.H. Idham Chalid. Peran ini melanjutkan peran di masa-masa sebelumnya di mana posisi menteri agama senantiasa dipegang oleh Nahdlatul Ulama.
Namun romantisme ”kemenangan” pada era Orde Lama transisi keOrde Baru itu tidak berlangsung lama. NU ditekan secara politik, termasuk akibat dari kebijakan Orde Baru yang mengusung tema pembangunan ekonomi dan stabilitas politik yang salah satu muaranya adalah penyederhanaan sistem kepartaian. Akibat kebijakan ini, demokrasi dan kedaulatan rakyat menjadi tidak diperhatikan. Karena demokrasi dan kedaulatan rakyat yang muncul dipermukaan adalah semu dan kamuflase belaka.
Sebagai bagian dari PPP pada pemilu 73 dan 78 NU tidak merasakan kepuasan yang berarti. Kepuasan itu tentu bukan sekedar representasi kursi NU dibanding unsur PPP lain semacam Parmusi dan PSII. Namun beban berat dan tekanan serta kecurigaan yang dialami oleh organisasi maupun individunya akaibat tindakan represif Orde Baru. Yang kemudian mengharuskan NU harus mengorientasikan kembali gerakannya sessuai titik tolak pendiriannya. Itulah khittah NU 1926.
***
Khittah NU bukan hanya sekedar dalam ranah politik sebagaimana pembicaraan orang saat ini. Biasanya menjelang pemilu, pilpres, pilgub dan pilbup orang baru membicarakannya. Ini kemudian terkesan bahwa khittah hanya persoalan politik. Itu keliru. Khittah merupakan landasan berpikir, bertindak dan bersikap warga NU, secara individual maupun organisatoris. Landasan itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah yang diterapkan dalam konteks kemasyarakatan Indonesia. Khittah ini juga digali dari sejarah perjuangan NU.
Muatan isi khittah antara lain: Dasar-dasar paham keagamaan NU, Sikap kemasyarakatan NU, Perilaku keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, Ikhtiar-ikhtiar yang sudah dilakukan NU , Fungsi organisasi dan pelayanan kepemimpinan Ulama, dan Hubungan NU dan kehidupan bernegara.
Sehingga salah kaprah beberapa pihak yang mengatakan bahwa khittah adalah politik. Berpolitik praktis dengan ”tidak terikat” dalam salah satu parpol merupakan bagian kecil saja dari khittah. Tidak terikat itu pun, juga berarti tidak politik praktis sama sekali. Bila kebutuhan NU sesuai khittahnya pula menuntut ia untuk dekat, tengah-tengah, atau menjauh diantara ataudengan suatu parpol, hal itu sah-sah saja. Asal sesuai dengan tujuan NU untuk kemaslahatan ummat secara lebih luas.
Khittah sebenarnya menjadi semakin relevan saat ini, ketika NU harus ambil bagian dalam rangka penyelesaian problem-problem transnasional yang mulai masuk ke dalam sendi berbangsa dan bernegara. Belum lagi krisis kebangsaan yang dalam kondisi yang kurang mapan, dengan masih adanya gerakan separatisme, keinginan merdeka, dan ketidakpuasan distribusi hasil-hasil pembangunan.
Oleh karena itu isu-isu berbangsa dan bernegara secara luas inilah yang harus diperjuangkan bersama oleh segenap warga NU. Politik sekali lagi hanyalah bagian kecil perjuangan. Karena masih banyak urusan lain yang harus ditangani NU. Masyarakat masih belum sejahtera, pengangguran merajalela, kesehatan warga masih belum optimal, pendidikan masih perlu ditingkatkan, persoalan TKI, persoalan bencana alam, kejahatan lingkungan, jual beli manusia, dan penurunan moralitas warga bangsa dengan kemaksiatan yang muncul di mana-mana, serta paham-paham keislaman yang justru berbahaya buat tradisi NU.Sikap khittah itu dapat dijalankan dengan baik bila mengedepankan fikrah nahdliyah yang terdiri dari: sikap tawassuth (moderat), sikap tasammuh (toleran), sikap islahiyah (reformatif), sikap tahowwuriyah (dinamis), dan sikap manhajiyyah (metodologis). Semua ini untuk mendukung upaya NU sebagai organisasi yang rahmatan lil alamin dengan mabadi khaira ummah sebagai pijakannya.
[1] Rektor Unisda, Ketua ISNU Lamongan, Koordinator Wilayah Asosiasi Perguruan Tinggi NU Jawa Timur.

Jumat, 14 November 2008

Ada Apa dengan Komersialisasi Pendidikan

Oleh: M. Afif Hasbullah

Komersialisasi berasal dari bahasa Inggris commercialization yang artinya sifat mencari keuntungan, kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia komersialisasi. Istilah ini wajar digunakan dalam bidang perdagangan dan perniagaan, namun apakah juga wajar manakala istilah tersebut digabungkan dengan kata pendidikan? Sebagaimana halnya istilah komersialisasi pendidikan.
Tentu saya tidak bermaksud untuk mengkaji frasa komersialisasi pendidikan itu dari sudut kebahasaan, yakni bahasa Indonesia maupun Inggris. Namun saya hendak mengulas kewajaran atau ketidakwajaran munculnya komersialisasi pendidikan yang dewasa ini sedang dibicarakan banyak kalangan, baik pendidik, peserta didik, maupun masyarakat.
Komersialisasi pendidikan yang sedang hangat diperbincangkan, sesungguhnya sebuah wacana, stigma atau bahkan fakta? Hal ini sampai sekarang menimbulkan ketidakjelasan, karena suatu hal tidak adanya parameter untuk mengukur apakah suatu pelaksanaan pendidikan itu ada unsur komersil atau tidak.
Problem yang banyak dibincangkan mengenai komersialisasi pendidikan itu umumnya dimulai dari suatu dugaan bahwa suatu proses pendidikan dilakukan dengan niatan atau tujuan semata-mata mencari keuntungan. Keuntungan tersebut hanya dinikmati oleh sekelompok orang pemegang modal maupun untuk kepentingan-kepentingan lain di luar kepentingan penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Sehingga dengan keadaan yang demikian, masyarakat dan peserta pendidikan merasa dirugikan karena biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh peserta didik dan orang tua digunakan untuk keperluan lain diluar kepentingan penyelenggaraan pendidikan peserta didik.
Kasus semacam itu kerap terjadi karena tidak adanya proses akuntabilitas dan transparansi yang dibangun oleh penyelenggara pendidikan. Sehingga yang ada adalah penyangkaan akan penyelewengan dana dalam bentuk komersialisasi tadi. Padahal, penyangkaan itu bisa salah, walaupun juga kemungkinan betul adanya. Oleh karena itu komersialisasi pendidikan macam demikian mestinya harus ditangani dengan manajemen administrasi yang akuntabel.
Kedua, komersialisasi pendidikan juga dapat terjadi ketika biaya pendidikan jauh lebih tinggi daripada fasilitas dan kelayakan fasilitas maupun sarana pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta didik. Dalam kasus demikian, suatu satuan pendidikan yang tidak lengkap atau di bawah standar dalam hal fasilitasnya, namun dari sudut pembiayaan jauh melampaui fasilitas yang disediakan satuan pendidikan. Bahkan di beberapa kasus suatu satuan pendidikan yang tidak mempunyai fasilitas apapun, namun pembiayaannya sama atau sebanding dengan satuan pendidikan yang telah standar.
Dalam bentuk semacam ini, yang harus dilakukan adalah peningkatan standar mutu dan fasilitas pembelajaran. Dengan demikian diharapkan dugaan komersialisasi tersebut tidak terjadi. Hendaknya pula, para pengelola pendidikan memperhatikan dan mencermati dengan seksama keseimbangan antara biaya yang dikeluarkan peserta didik dengan fasilitas yang telah dipenuhi penyelenggara pendidikan.
Ketiga, dapat pula terjadi komersialisasi pendidikan yang mewujud pada penyelenggaraan proses pendidikan yang di bawah standar. Dalam hal ini biasa terjadi dalam suatu kasus ketika ada suatu perguruan tinggi yang membuka kelas jauh atau kelas paralel. Kelas jauh ini biasa diselenggarakan dengan model ala kadarnya, tempat pun sekenanya, bisa di suatu sekolah dasar, rumah penduduk, maupun di ruko-ruko. Belum lagi kelas kuliah model seperti ini dilakukan dengan tatap muka yang juga ala kadarnya. Kalau misalnya satu mata kuliah 2 sks menurut aturan normal harus ditempuh 14 kali tatap muka, dalam kuliah model begini mungkin seorang peserta didik (mahasiswa) hanya menempuh 1-2 kali tatap muka.
Wajar, kemudian kalau dihitung-hitung, dengan pembiayaan yang sama dengan kelas regular yang 14 kali tatap muka atau sedikit lebih rendah, maka betapa banyak keuntungan yang diperoleh oleh penyelenggara kelas jauh semacam ini. Kasus yang model demikian harus diawasi oleh pemerintah, ditindak dan ditegur, bila mana perlu diberikan sanksi maksimal sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. Masyarakat pun harus waspada dan mengerti, bahwa proses pendidikan awu-awu macam ini harus diberantas karena illegal.
Keempat, ada lagi modus komersialisasi pendidikan yang melakukan aksinya dengan cara jual beli ijazah. Lho kok? Ya, ijazah ternyata dalam praktiknya telah diperjual belikan. Ada oknum-oknum pebisnis ijazah yang suka menjual belikan ijazah. Baik di tingkat dasar, menengah maupun ijazah perguruan tinggi. Lihat saja, beberapa kasus pejabat public atau tokoh masyarakat yang terkena kasus hukum gara-gara membeli ijazah palsu.
Biasanya, mereka memang spesialis memalsu, yang ini dapat dilakukan tidak hanya oleh orang yang mempunyai akses dalam lembaga pendidikan, namun juga oleh orang yang tidak punya akses dalam lembaga pendidikan, karena memang ia pintar memalsu. Kerap pula terjadi dalam kasus seperti ini dilakukan oleh oknum lembaga pendidikan nakal, yang modusnya seolah-olah peserta didik mengikuti proses pendidikan sewajarnya, padahal hanya akal-akalan.
Beberapa hal di atas adalah sebagian contoh kecil komersialisasi pendidikan yang membahayakan potret sumberdaya manusia Indonesia jangka panjang. Dua fakta terakhir yang saya tulis di atas, tidak hanya merupakan komersialaisasi pendidikan semata, tapi juga merupakan pelanggaran hukum pendidikan kita.
***
Namun, apakah juga merupakan komersialisasi apabila pembiayaan dalam pendidikan itu digunakan semaksimal mungkin untuk peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Baik itu terkait dengan mutu akademik, sumberdaya manusia, sarana pendidikan maupun layanan pendidikan lainnya yang dibutuhkan oleh mahasiswa atau siswa.
Juga, apakah merupakan suatu komersialisasi manakala suatu lembaga pendidikan mendapatkan surplus atau laba dari penyelenggaraan pendidikannya. Asal keuntungan tersebut dipakai untuk peningkatan kualitas maupun pengembangan kelembagaan, menurut hemat saya hal itu no problem.
Dalam pembiayaan pendidikan ini, sangat erat kaitannya dengan biaya operasional dan pengembangan suatu lembaga. Sebagai contoh, beberapa waktu belakangan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan kebijakan untuk pengetatan pendirian perguruan tinggi baru atau pembukaan program studi baru. Pengetatan itu dalam bentuk suatu pernyataan bank yang harus disertakan dalam proposal pendirian yang isi penyataan bank itu adalah bahwa yayasan atau perguruan tinggi pengusul sanggup menyediakan dana operasional setidaknya untuk 3 tahun ke depan. Biaya yang harus dipunyai oleh perguruan tinggi pengusul itu bisa merupakan uang sendiri maupun uang yang diperoleh dari bank melalui mekanisme bank garansi.
Dari sini, Dikti menganggap bahwa harus ada jaminan faktual dalam bentuk dana operasional untuk menjamin tetap terselenggaranya penyelenggaraan pendidikan setidaknya dalam kurun tertentu. Karena jangan sampai suatu ijin atau SK penyelenggaraan program studi telah dikeluarkan, namun ternyata sepi peminat sehingga mahasiswa terlantar.
Jumlah jaminan itu pun, tidak sedikit. Apalagi untuk tataran pengelola pendidikan. Kira-kira antara 1 milyar per tahun kali 3 tahun penyelenggaraan. Dari ketentuan Dikti itu setidaknya dapat diambil suatu garis bawah, bahwa standar kesehatan suatu lembaga pendidikan setidaknya harus mempunyai back up dana yang cukup dan pantas untuk menjamin tetap terselenggaranya pendidikan.
Saat ini muncul pula model-model perguruan tinggi yang mencoba membranding dirinya sebagaimana perguruan tinggi asing atau internasional. Mereka memang tidak membidik konsumen calon mahasiswa dari kalangan kelas menengah ke bawah, karena biaya pendidikan yang mahal, maka perguruan tinggi tersebut cenderung diikuti oleh kalangan yang mapan secara finansial. Karena standar yang dipakai cukup mewah, misalkan dosennya digaji pakai dolar, sistem pendidikan harus membeli mahal dengan royalti pada asing maupun layanan lainnya sebagaimana hotel berbintang.Tentu dari ini semua, publik harus faham dan mengerti posisi komersialisasi atau non komersialisasi dalam dunia pendidikan kita. Tentu publik lah yang kemudian paling berhak menilai mana yang komersil dan tidak.