Minggu, 22 Februari 2009

Membangun Perguruan Tinggi, Unisda = Malaysia, Unigoro = Indonesia


Oleh: M. Afif Hasbullah

Syukur Alhamdulillah, acara studi banding Universitas Bojonegoro (Unigoro) di Universitas Islam Darul ’Ulum (Unisda) Lamongan telah usai dilaksanakan. Studi banding yang membawa rombongan sebanyak 15 orang tersebut langsung dipimpin oleh Rektor Unigoro Bapak Dr. H.M. Thalhah, S.H., M.Hum. Turut menyertai Rektor Unigoro seluruh pembantu rektor Unigoro dan beberapa pimpinan fakultas, biro serta pusat penjaminan mutu Unigoro.
Dari pihak tuan rumah, saya pimpin sendiri dengan seluruh wakil rektor, kepala biro, pimpinan fakultas dan pimpinan Badan Penjaminan Mutu (BPM) Unisda. Agenda acara yang diusung adalah studi banding tentang penyelenggaraan Badan Penjaminan Mutu di Unisda Lamongan.
Kurang lebih sebulan yang lalu, saya sempat ditelepon oleh Rektor Unigoro yang menyampaikan keinginannya untuk berkunjung dan ngangsu kaweruh ke Unisda, khususnya meninjau pengelolaan BPM di Unisda Lamongan. Dari permintaan rektor Unigoro tersebut saya iyakan saja, karena memang di Unisda sudah ada lembaga BPM selama 1 setengah tahun terakhir ini.
Segera saya call seluruh pimpinan BPM Unisda untuk menyiapkan kunjungan tersebut yang kemudian diputuskan untuk menerima tamu Unigoro pada tanggal 22 Februari 2009, hari ini.
Acara hari ini, sesuai agenda, membicarakan mengenai penerapan manajemen mutu di Unisda Lamongan. Hari ini, saya menyampaikan kepada para tamu mengenai beberapa hal: pertama, historis pengembangan Unisda sejak didirikannya pada tahun 1986; kedua, memperkenalkan mengenai Unisda secara sumberdaya, baik manusia, tenaga, maupun dana; ketiga, korelasi pengembangan Unisda dengan Higher Education Longterm Strategy (HELTS) 2003-2010; keempat, elaborasi mengenai konsep pengembangan perguruan tinggi menurut L RAISE (Leadership, Relevansi, Academic atmosphere, Internal Managemen, Sustainability, serta Efficiency and Productivity); dan kelima, upaya pengembangan penjaminan mutu di Unisda.
Yang menarik dari acara hari ini adalah semakin nyata adanya kecenderungan dari banyak perguruan tinggi untuk saling berjejaring (network) dalam mengembangkan perguruan tinggi untuk sama-sama maju melalui bench marking ke peer university (universitas sejawat). Saling mengunjungi dengan agenda belajar satu sama lain akan lebih mempercepat pengembangan perguruan tinggi.
Hal ini dilatar belakangi oleh beberapa hal: pertama, perkembangan dunia global dengan persaingan perguruan tinggi saat ini mutlak harus dihadapi dengan sungguh-sungguh meningkatkan kualitas. Saingan perguruan tinggi nasional di era global bukanlah hanya sesesama perguruan tinggi nasional, namun persaingan perguruan tinggi Indonesia adalah dengan perguruan tinggi asing. Beberapa perguruan tinggi asing bahkan telah membuka atau bekerjasama dengan model dual degree dengan perguruan tinggi nasional.
Kedua, perguruan tinggi di era global ini menuntut adanya kesiapan modal akademik yang diberikan pada mahasiswa, baik berupa hard skill maupun soft skill. Apa artinya, fasilitas sumberdaya harus memenuhi kualifikasi untuk dapat menghasilkan lulusan yang siap kerja dan trampil. Dengan modal kurikulum yang baik dan kegiatan akademik serta kemahasiswaan yang mengasah, saya yakin lulusan akan lebih baik lagi untuk berkompetisi di dunia global dan lapangan kerja.
Ketiga, Potret masyarakat yang sudah lebih dewasa dalam memandang suatu lembaga pendidikan juga akan berpengaruh terhadap pilihan masyarakat terhadap suatu perguruan tinggi. Saat ini, kalau mengelola perguruan tinggi hanya dengan modal asal dijual murah tapi tanpa kualitas, hampir pasti masyarakat akan meninggalkannya. Bahkan seringkali ditemukan masyarakat siap ”membeli” suatu pendidikan bila fasilitas dan mutunya sebading dengan harga yang ditentukan.
Keempat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) membuat suatu program kemandirian perguruan tinggi sebagaimana tercantum dalam salah satu butir HELTS 2003-2010 yakni Authonomi dan Organizational Health. Dua unsur ini sangat penting sekali, karena sangat tidak mungkin suatu lembaga akan dapat berkembang dengan baik tanpa Otonomi (kemandirian) dan organisasi yang sehat. Oleh karenanya, dalam mewujudkan kemandirian perguruan tinggi tentu yang diperlukan adalah kebiasaan (culture) berkompetisi baik kompetisi itu di tingkatan internal (antar unit dalam perguruan tinggi) maupun eksternal (antar perguruan tinggi).  
Hal menarik lainnya dari agenda studi banding ini adalah adanya kecenderungan untuk semakin kuatnya semangat sivitas Unisda dalam rangka membangun perguruan tinggi. Ada suatu kenyataan yang berwujud sikap bangga terhadap hasil kerja yang kemudian terapresiasi dalam kunjungan kerja dari sejawat perguruan tinggi lain.
Demikian pula dari Unigoro, ada suatu keyakinan kuat bahwa ia akan dapat terus maju lebih cepat lagi ketika melihat sejawat Unisda sudah mencapai suatu prestasi tertentu. Memang, dalam hidup ini semua harus saling belajar dan berbagi. Bahwa suatu kelebihan pada pihak lain mungkin adalah kekurangan pada pihak kita dan sebaliknya.
Satu hal yang kemudian saya garis bawahi dari pidato Bapak Rektor Unigoro adalah kalau Unisda yang berdiri tahun 1986 sudah mempunyai kemajuan seperti ini, sedangkan Unigoro yang didirikan pada tahun 1981 belum ”sepesat” Unisda. Maka beliau mengumpamakan Unisda = Malaysia dan Unigoro = Indonesia. Beliau mengumpamakan itu dalam konteks percepatan pengembangan.
Bolehlah sivitas akademika Unisda bersyukur dengan hasil yang dicapai. Namun sesungguhnya masih banyak hal yang harus kita perbaiki untuk institusi kita. Karena tanpa perbaikan dan perubahan yang terus menerus pada Unisda, justru akan menjerumuskan Unisda tidak hanya dalam posisi mandek (statis) bahkan juga dalam keterpurukan (burried).



Jumat, 20 Februari 2009

Merokok: Halal atau Haram Tidak Penting, yang Penting Berhenti!


Oleh: M. Afif Hasbullah

Beberapa waktu lalu sempat heboh mengenai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang keharaman merokok. Pro kontra terjadi, bagi kalangan perokok (ahli hisap) tentu tidak mau kebiasaan merokoknya dikatakan haram. Namun juga sebaliknya, bagi mereka yang tidak merokok, termasuk perempuan cenderung setuju dengan ketegasan hukum haram bagi perilaku merokok itu.

Nampaknya apa yang diputuskan oleh MUI itu mendapat reaksi beragam dari kalangan masyarakat. Bahkan ada yang memandang bahwa tidak perlu MUI bikin-bikin fatwa tentang keharaman merokok, karena menurut mereka akan lebih baik MUI memutuskan saja hukum-hukum fikih untuk persoalan bangsa yang cukup komplek ini. Itulah pandangan masyarakat.
Jangankan sebagian ummat yang tidak sepakat dengan penentuan hukum tersebut, para kyai saja banyak yang menolak atau minimal tidak ngreken dengan apa yang diputuskan MUI. Mereka berpendapat bahwa merokok dari dulu makruh. Atau setidaknya ada banyak hukum yang bisa dipakai tergantung dari penyebab apa seseorang diperbolehkan atau dilarang merokok.
Menurut hemat saya, perdebatan halal dan haramnya itu kurang penting. Setidaknya dalam pembicaraan fikih tidak akan mungkin terwujud satu pendapat yang sama. Madzhab saja boleh memilih, apalagi hanya madzhab kehalalan atau keharaman rokok.
Lalu yang penting apa?, menurut hemat saya yang penting itu berhenti merokok. Kenapa?, karena merokok sesungguhnya ada efek negatifnya. Tidak perlulah seorang manusia melakukan suatu perbuatan yang tidak berguna atau melakukan suatu hal yang ada unsur negatifnya. Berhenti merokok adalah suatu hal yang harus diperhatikan daripada bicara halal atau haram.
Efek Medis
Sudah banyak hasil penelitian yang mengatakan bahwa di dalam rokok terdapat kurang lebih 4000 elemen, yang 250 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida. Dari racun tersebut dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. Misalnya, tar yang merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket akan menempel pada paru-paru. Demikian pula nikotin akan mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat aditif ini juga bersifat karsinogen, yang dapat memicu Kanker Paru yang mematikan. 
Lain lagi dengan karbon monoksida. Karbon menoksida akan mengikat hemoglobin dalam darah, berpotensi membuat darah tidak mampu mengikat oksigen. 
Efek Sosial
Banyak sekali orang yang akan terganggu dengan bau rokok, apalagi asap rokok. Mereka orang-orang yang tidak merokok pasti akan sangat terganggu dengan bau asap yang mengepul itu. Apalagi para ahli hisap itu seringkali tidak mau tahu terhadap lingkungan yang sudah dicemarinya itu. Saya sering melihat para ahli hisap tidak tahu diri itu dalam kasus-kasus seperti merokok diruang ber ac, merokok dikendaraan umum, merokok difasilitas public dan sebagainya. Mestinya mereka berusaha menyadari bahwa efek perokok pasif (orang yang tidak perokok tapi senantiasa menghisap asap perokok) akan jauh lebih berat daripada perokok aktif (perokok).
Efek Budaya
Saya sering menjumpai anak-anak usia sekolah sudah merokok, bahkan masih berpakaian sekolah juga tampil dengan gaya merokok. Merokok seringkali dicitrakan sebagai dewasa, gentel, kuat dan gengsi lainnya. Ini tentu tidak benar. Namun demikian, kebiasaan merokok bagi anak-anak seringkali dicontohkan melalui orang tua yang merokok di rumah atau didepan anaknya, melalui pak guru yang merokok di lingkungan sekolah, maupun juga pengaruh dari teman dan iklan di media massa.
Efek Ekonomi
Bagi mereka para perokok tentu ada akibat tertentu dari kebiasaannya, termasuk dana khusus untuk beli rokok. Banyak di antara perokok sesungguhnya bukan dalam kalangan orang yang berkelebihan secara ekonomi. Seringkali mereka bahkan memilih untuk merokok saja dari pada makan, tentu ini bila kadar keuangan pas-pasan. Apalagi untuk anak-anak mereka pasti belum isa cari uang, sehingga uang saku dari orang tualah yang dipakai beli rokok.
Kiat Berhenti Merokok
Saya tidak mungkin dapat mengeksplorasi bahaya merokok satu persatu. Namun yang jelas adalah bahwa merokok itu adalah kebiasaan negative, karena didalam merokok ada beberapa sisi negatifnya. Bahwa orang yang mengatakan merokok itu ada manfaatnya, itu tidak dapat dipakai sebagai alasan mainsteam. Saya yakin, bila mereka para ahli hisap itu berhenti pun, saya yakin produktifitasnya akan meningkat, badan terasa sehat dan manfaat yang lain.
Di sini, saya perlu berbagi mengenai pengalaman saya berhenti merokok. Karena menurut saya tidak penting bicara halal haram. Saya berhenti merokok sudah sejak tujuh tahun yang lalu. Sebelumnya saya adalah seorang perokok. Dulu, saya sehari maksimal menghabiskan 1 bungkus rokok. Saya berpengalaman merokok sejak di Madrasah Tsanawiyah, awalnya coba-coba, termasuk mencoba sisa rokok tamu di asbak. Selama saya merokok itu saya telah pernah mencoba banyak produk rokok, dari rokok kretek, rokok filter, sampai rokok putih. Di antara macam rokok itu, yang paling sering saya hisap adalah rokok gudang garam surya.
Di masa kuliah, timbul kesadaran saya untuk berhenti merokok. Namun ternyata upaya menstop rokok itu teramat sulit. Saya pernah tiga kali berhenti merokok, namun ternyata berhentinya tidak lama, alias gagal. Usaha pertama, saya sempat berhenti selama 3 bulan, setelah itu saya kembali lagi merokok. Usaha kedua, saya sampai bertahan selama 4 bulan. Sedangkan yang ketiga, alhamdulillah saya mencapai prestasi berhenti selama 8 bulan. Pertanyaannya, kenapa saya selalu gagal?. Kegagalan yang saya alami adalah semata-mata karena coba-coba, istilahnya mentang-mentang sudah berhenti 8 bulan lalu kalau hanya coba sebatang bareng teman tidak akan berpengaruh terhadap niat berhenti.
Ternyata, teman-teman perokok juga juga punya pengaruh besar buat kembalinya kebiasaan buruk merokok. Ya, bisa saja tidak terpengaruh, semua tentu tergantung pada seberapa besar niatan untuk tidak sekali kali mencoba merokok.
Saya baru berhasil berhenti sampai saat ini ketika didukung oleh istri. Saya melihat bahwa istri saya tidak suka bau rokok maka saya merasa ada amunisi baru untuk mengingatkan saya mengenai kebiasaan buruk itu.
Lalu apa rahasia untuk bisa berhenti merokok?. Sepanjang pengalaman saya, saya melakukan beberapa hal sebagai berikut:
1. Penyadaran akan sisi negatif rokok
Kalau kita hendak memulai sesuatu, termasuk ingin berhenti merokok, tentu sayang harus dilakukan adalah penyadaran dalam hati bahwa merokok itu tidak bermanfaat dan banyak unsur negatifnya. Sadar sepenuhnya dalam hati, kuatkan tekad dan berusahalah membuat motifasi diri untuk berhenti. Oleh karenanya, banyaklah membaca informasi mengenai bahaya merokok, berkumpul dan diskusikanlah tentang efek merokok dengan orang yang tidak merokok. Karena kalau bicara dengan perokok, pasti yang dikatakan adalah bahwa merokok itu tidak beresiko.
2. Buanglah rokok anda
Ketika sudah ada niatan kuat untuk stop merokok, maka buanglah rokok yang anda beli dengan sekuat tenaga dan emosi. Nyatakan sambil membuang rokok, bahwa ada kebencian yang kuat padanya. Betapapun rokok satu bungkus itu baru terhisap satu, buanglah. Namun, kalau masih sayang membuang rokok, berarti kita belum siap berhenti merokok. Yah, bolehlah kalau mau dikasihkan teman yang masih perokok, bila dianggap membuang rokok itu mubazir. Namun yang penting adalah, nyatakan kebencian itu.
3. Buat pengumuman
Kalau sudah selesai membuang rokok, maka buatlah pengumuman kepada sebanyak-banyaknya teman anda bahwa saya berhenti merokok. Tidak perlu malu. Ini bermanfaat untuk kita, ketika kita ketahuan merokok akan diingatkan atau kita akan digojlok oleh teman. Bahkan diantara teman itu pasti akan ada yang menguji kita, termasuk mengecilkan atau meremehkan usaha kita. Namun tetaplah pada niat, jangan terpengaruh.
4. Banyak minum air putih
Air putih akan mentralisir rasa asam dan berbagai rasa lain yang cenderung mendorong untuk merokok. Oleh karenanya jagalah mulut agar tetap stabil dalam rasa. Hentikan kopi, hentikan menyisakan rasa dalam mulut setelah makan atau minum. Resep mengunyah permen ketika ingin berhenti, menurut saya tidak tepat. Karena dengan rasa permen itu kita akan ingin merokok.
5. Berusahalah membenci bau rokok
Bencilah bau rokok. Ketika anda sudah berusaha berhenti anda lambat laun akan merasakan bagaimana tidak enaknya bau rokok. Bayangkan suatu asap yang keluar dari mulut seseorang yang mungkin mulut itu bau kemudian terhisap oleh kita. Sungguh jijik.
6. Berhenti sekarang juga
Tips berhenti merokok dengan mengurangi batangan yang dihisap menurut saya kurang tepat. Karena potensi gagalnya tinggi. Sudah wajar bahwa namanya nafsu merokok akan senantiasa ada, yang itu dikendalikan oleh nurani. Bisa saja yang sebelumnya sehari satu bungkus besok hari dikurangi setengah bungkus perhari dan seterusnya. Namun seringkali ini terlalu lama dan kita menggantungkan nafsu pada suatu keadaan yang tidak tegas.
7. Bersabar
Merupakan suatu tantangan tersendiri ketika harus berhenti merokok. Seolah hari terasa panjang karena tidak merokok. Namun lakukanlah dengan sabar, karena sekali mencoba hisap lagi akan berpotensi berlanjut dan gagal. Nafsu atau kecanduan itu akan hilang seiring hilangnya nikotin-nikotin yang melekat dalam tubuh dan darah.
Pesan saya, kalau sudah ada niat, lakukan, sekarang juga!


Minggu, 08 Februari 2009

Harlah NU ke 83 yang Kurang Meriah


Oleh: M. Afif Hasbullah

Nahdlatul ’Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di tanah air. Di antara para pengamat ada yang memprediksikan bahwa keanggotaan NU mencapai 60 juta orang, ada pula yang menyampaikan dugaan hingga 80 juta orang. Tidak ada sensus memang, namun jumlah itu adalah merupakan taksiran ketika Partai NU menduduki kursi pemenang nomor 3 pemilu tahun 1955. Ketika itu Partai NU mendapat raihan 18 persen suara.
Organisasi besar ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 Masehi yang bertepatan 16 Rajab 1344 Hijriyah, 83 tahun yang lalu. Sebaran pengikutnya tidak hanya di Jawa saja namun seantero Nusantara. Karena tidak ada data valid yang pasti, sebagaimana data KTP, keanggotaan NU biasanya dipantau dari realitas ritual ibadah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin. Dulu, NU memang didirikan untuk membentengi aqidah Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah dari pengaruh Islam Wahabi yang melanda di Nusantara, setidaknya inilah salah satu semanagt kebangkitan ulama ketika itu.
Sebagai Ormas keagamaan yang besar, NU ternyata banyak dianggotai dari Jawa, sebagian Sulawesi, sebagian Kalimantan, dan sebagian di Sumatera. Tetapi populasi utama ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Oleh karenanya maka tidak heran, bahwa geliat kaum nahdliyin (untuk menyebut warga NU) di luar Jawa bila dibanding dengan syiar yang ada di Jawa masih cukup jauh proporsinya. Artinya bahwa NU di Jawa lebih maju dibanding NU luar Jawa.
Hal ini mungkin diakibatkan oleh kurang solidnya NU luar Jawa, atau secara organisasi, NU kurang memberikan perhatian kepada luar Jawa. Ini bisa dibuktikan dari partai-partai yang didirikan atau difasilitasi oleh orang-orang NU amat sangat kurang bersaing dengan partai Islam lain di luar Jawa.
Walaupun demikian keadaannya, tidaklah mengurangi nilai bahwa NU merupakan organisasi besar. Walau mungkin secara sistem organisasi termasuk manajemen dakwahnya belum sebesar proporsi pengikutnya.
Sebagai Ormas besar, hendaknya NU juga dapat diperingati hari lahirnya dengan cara yang besar pula. Yakni suatu kemeriahan dan rangkaian kegiatan yang pada intinya adalah untuk menumbuhkan dan mempertahankan nilai-nilai pendiriannya. Selain itu, tentu saja sebagai wahana untuk senantiasa memperbarui strategi dakwah untuk kaum muslimin umumnya, dan Nahdliyin pada khususnya.
Peringatan hari lahir biasanya di NU diperingati dengan nama Harlah NU. Harlah ini ada yang memperingati dengan hitungan hijriyah, namun ada pula yang memperingati dengan hitungan kalender masehiyah. Kalau hitungan hijriyah dipakai, maka pada tahun 2008 ini NU telah berulang tahun yang ke 86, namun bila yang digunakan adalah kalender masehiyah, maka tahun 2008 ini NU sudah berharlah yang ke 83.
Tentu dengan harlah yang ke 83 beberapa hari lalu patutlah diucapkan Selamat Harlah yang ke 83, dengan iringan ucapan semoga NU senantiasa berkhidmah untuk agama, bangsa dan negara. 
Harlah Kurang Semarak
Sebagai organisasi besar sudah sewajarnya NU memperingati hari lahirnya dengan semarak dan gegap gempita. Mungkin bisa saja dengan cara yang sederhana demi efektifitas dan efisiensi, baik dana maupun kepedulian akan kondisi krisis. Namun, yang terjadi pada tahun 2009 ini harlah NU kurang kelihatan semarak seperti tahun sebelumnya. Di tahun 2008 harlah NU cukup semarak, ketika itu dicanangkan sebagai Harlah Semesta. Baik di tingkat pusat maupun daerah kelihatan semua bergerak menunjukkan eksistensi dan kebesaran organisasi NU. Di tingkat pusat (PBNU) digelar puncak acara di Stadion Gelora Senayan, dengan dihadiri seluruh petinggi negara dan diramaikan dengan atraksi-atraksi dari beberapa daerah di Indonesia. Ketika itu, di Jawa Timur sendiri juga sangat meriah sekali, termasuk sampai ranting.
Namun pada tahun 2009 ini, nampaknya kurang ada greget untuk memperingati harlah tersebut. Dari liputan media massa juga hampir tidak kelihatan. Kami mengamati sampai di tingkat kabupaten sekalipun, kegiatan yang merangkai dalam peringatan harlah itu sendiri kurang menonjol.
Padahal sesungguhnya potensi NU yang sedemikian besar, dengan beberapa badan otonom, lembaga dan lajnah, sudah lebih dari cukup untuk memeriahkan kegiatan tersebut. Mestinya NU tidak boleh kalah semarak dengan Ormas Islam lain yang melaksanakan peringatan harlah atau miladnya.
Coba saja, setiap organ dibawah NU masing-masing mengadakan kegiatan, pasti akan sangat ramai. Belum lagi kalau tiap organ yang mengadakan itu berdasarkan tingkatan, misalnya tingkat ranting, tingkat mwc, tingkat cabang, sampai pengurus besar. Saya yakin akan lebih semarak lagi. 
Kegiatan-kegiatan harlah itu diharapkan menyentuh persoalan-persoalan mendasar di masyarakat, misalnya yang di LP. Maarif mengadakan pelatihan atau workshop untuk guru, bisa pula Maarif mengadakan klinik sekolah bermutu dan lomba sekolah. Demikian pula yang fatayat, bisa mengadakan acara bakti sosial untuk keluarga miskin. Demikian juga untuk lembaga kesehatan di NU bisa mengadakan bakti sosial berupa pengobatan gratis dan konsultasi kesehatan.
Karena yang ditunggu oleh masyarakat pada NU sesungguhnya adalah sentuhan mereka pada kebutuhan riil masyarakat. Tidak hanya aktifitas yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan maupun perekonomian semata memang, namun sisi lain dakwah seperti halnya penataran dai maupun modin juga tidak boleh ditinggalkan.
Mari kita majukan image NU sebagai ormas keagamaan yang peduli dengan soal-soal masyarakat. Janganlah sampai image itu rusak, seakan-akan NU lebih suka politik yang pada akhirnya masyarakat terlupakan. Yang menjadi kecemasan dalam diri saya, semoga harlah yang kurang semarak itu tidaklah karena ghiroh yang menurun atau alasan tidak adanya dana. Saya yakin, di belakang sana para jamaah NU rela masih senantiasa rela mengorbankan apa saja yang mereka punya. Sekarang persoalannya tinggal bagaimana elit (pengurus) NU memanage jamiyah dan menggerakkan jamaah.




Kamis, 05 Februari 2009

Wajah-wajah Demokrasi


Oleh: M. Afif Hasbullah

Demokrasi adalah merupakan sistem penyelenggaraan negara yang paling banyak digunakan sebagai model tata pemerintahan dewasa ini. Demokrasi merupakan salah satu sarana untuk pencapaian tujuan rakyat dalam suatu negara. Oleh karenanya demokrasi sesungguhnya hanyalah merupakan suatu alat dalam praktik untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, kedamaian, keamanan, dan tentu keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Sebagai suatu alat, demokrasi juga berdampingan dengan model sistem penyelenggaraan negara yang lainnya, baik monarki, totaliter, revolusioner dan lain-lain. Sebagai suatu alat, maka rakyat suatu negara atas dasar konteks historis dan geografis serta politisnya adalah yang paling absah untuk menentukan atau menyukai suatu bentuk sistem politik.
Ada suatu bangsa yang merasa pas kalau sistemnya revolusioner, ada yang lebih sepakat dengan demokrasi, atau bahkan tidak jarang yang merasa puas dengan sistem monarki. Puas atau tidaknya rakyat suatu bangsa sangat tergantung dari kesejahteraan dan keadilan yang dinikmati oleh mereka. Oleh karenanya, tidak heran dalam upaya pencapaian suatu kondisi yang layak dan memuaskan, sejarah suatu bangsa akan melalui proses panjang untuk pencarian jatidirinya. Ideologi apa yang di pakai, sistem ekonomi seperti apa yang hendak dianut, bahkan juga model tata pemerintahan bagaimana yang hendak diaplikasikan.
Amerika Serikat dalam keadaannya saat ini telah menempuh perjalanan panjang demokrasi, mungkin hingga 200 tahunan. Ada juga suatu negara yang dapat mendampingkan demokrasi dengan monarki yang masih dipegang kuat, misalnya Inggris dan Australia. Ada juga suatu negara di Afrika yang asalnya sistem monarki kemudian ada kudeta yang ingin mendudukkan pemerintahan demokratis, namun beberapa tahun kemudian kembali sebagai monarki. Semua itu tidak lain adalah kehendak rakyat yang menginginkan sistem dan pola apa yang akan dipakai.
Namun demikian, hingga kini memang sistem demokrasilah yang paling banyak diminati. Karena demokrasi lebih banyak memberikan peluang besar untuk tiap warga negara ikut bersuara dan berserikat. Termasuk pula membuka ruang luas kepada siapapun warganya untuk ikut ambil bagian dalam proses penyelenggaraan negara, memilih dan dipilih.
Walaupun sistem demokrasi telah menjadi yang paling banyak dipakai di dunia, namun ternyata aplikasi dari demokrasi sendiri sangat variatif. Varian aplikasi demokrasi itu tidak lain juga merupakan upaya untuk mengkontekskan demokrasi dengan keadaan yang ada di masing-masing negara. Kontrak sosial di antara warga, termasuk pula negosiasi politik sebagai suatu bentuk kesepakatan, baik itu antar elit-elit, maupun elit dengan warga akan menjadi pertimbangan utama dalam rangka perumusan konsep demokrasi di masing-masing negara.
Demokrasi di Amerika tentu berbeda dengan demokrasi di Korea Utara. Demokrasi di Jerman Timur tentu berbeda dengan yang berlaku di India. Inilah nampaknya, demokrasi sering dijadikan jargon dalam rangka untuk mengukuhkan suatu pemaknaan demokrasi yang idealitasnya adalah suara rakyat dan keinginan rakyat.
Tidak hanya di negara-negara asing tersebut, di Indonesia pemaknaan demokrasi ternyata juga sangat bervarian. Era kemerdekaan, hingga tahun 1959 Indonesia memakai sistem demokrasi liberal. Ketika itu partai-partai dengan sedemikian banyaknya. Saking bebasnya berpolitik ketika itu, partai-partai saling bersaing dengan idenya dan saling kritik satu sama lain. Walaupun mereka menginginkan kebaikan untuk negara baru Indonesia, namun sebagai akibat dari sistem yang belum tertata dengan baik, kabinet parlementer saat itu sangat sering berganti-ganti. Sehingga mengakibatkan, kondisi negara tidak kunjung stabil, karena energi banyak tercurah ke soal-soal politik.
Demikian pula, ketika era Orde Lama di mana kebebasan terpasung, hak-hak berpolitik dari rakyat dibatasi, termasuk pula banyaknya pembubaran partai politik yang mana mengakibatkan pola kekuasaan tersentralisasi ke struktur presiden. Era ini pun menurut penggagasnya yakni Presiden Soekarno juga disebut dengan demokrasi, yakni demokrasi terpimpin. Soekarno ingin rakyat solid dulu di bawah kepemimpinannya, mengkonsolidasikan kekuatan untuk beberapa agenda perjuangan yang harus diatasi. Misalnya penguatan ekonomi, pemertahanan NKRI dan termasuk pula sebagai suatu strategi konsolidasi antar kekuatan-kekuatan bangsa dalam menghadapi ancaman luar. Bahkan kata Soekarno ketika itu, buat apa berdemokrasi, atau berperilaku liberal kalau rakyat kelaparan.
Ketika era Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, demokrasi lagi-lagi masih merupakan pilihan sistem penyelenggaraan negara Indonesia. Dengan suatu upaya untuk mengawinkan dan membuat sinergis antara demokrasi dengan konteks ke indonesiaan, ketika itu diaplikasikan yang namanya Demokrasi Pancasila. Namun, dalam perjalanannya yang terjadi adalah demokrasi semu yang formalistis. Yakni prosedur-prosedur demokrasi dipenuhi dan diberikan landasan hukum. Walaupun prosedur-prosedur itu telah diatur sedemikian rupa dengan suatu hegemoni kekuasaan dari sekelompok pihak yang berkuasa ketika itu. Partai diadakan, namun disederhanakan menjadi tiga. Pemilu diselenggarakan rutin, namun penuh kecurangan dan rekayasa. Struktur pemerintahan sebagai suatu unsur pembagian kekuasaan ada, namun semuanya secara hegemonik tunduk pada kuasa presiden. Tiada check and balancies dalam penyelenggaraan negara. DPR, MPR, BPK, dan MA semua seolah manut pada Presiden.
Di era reformasi ini, yang juga dikatakan era demokrasi. Nampak sekali tidak sama penerapannya dengan penyebutan demokrasi pada era-era sebelumnya. Di era ini, kita tidak pernah lagi menyebut demokrasi Pancasila, sebutan demokrasi liberal pun tidak pernah terdengar. Nampaknya, di era sekarang sudah tidak diperlukan lagi kata sifat yang mungkin justru membingungkan.
Sekarang kebebasan dalam politik luar biasa sekali. Check and Balancies sudah mulai diterapkan dengan baik dalam lembaga-lembaga negara. Parpol bebas berdiri, suara rakyatpun dihargai one man one vote. Caleg sudah tidak memakai nomor urut. Otonomi daerah sudah lebih luas diberikan. Ada pembagian dana yang jelas antara pusat dan daerah dan sebagainya.
Semangat ini harus diapresiasi sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan demokrasi di Indonesia yang paling dirasa pas dan memenuhi harapan orang banyak. Suatu dinamika ide yang senantiasa memperbarui yang lama yang kurang baik dan mencari sesuatu yang baru yang lebih menjanjikan. Walaupun tetap harus senantiasa berakar pada jati diri bangsa. Sejarah telah membuktikan itu semua, oleh karenanya demokrasi Indonesia sudah seharusnyalah dibangun oleh orang Indonesia sendiri dan tidak menjiplak negara lain. Untuk itu mari kita iringi mau kemana demokrasi kita ini. 




Senin, 02 Februari 2009

Dari Kesadaran Merek sampai Kritik Pengurusan Merek


Oleh: M. Afif Hasbullah

Merek merupakan suatu penamaan atau identitas suatu produk, baik berupa kata-kata, angka, gambar, warna-warna, maupun perpaduan kombinasi yang meliputi kata, angka, maupun gambar. Fungsinya untuk membedakan suatu produk tertentu dengan produk lainnya, agar tidak mempunyai kesamaan yang mengakibatkan sulitnya membedakan antara produk milik kita dengan produk orang lain.
Dalam kaitannya dengan pentingnya merek ini, saya pernah mempunyai pengalaman mengenai betapa strategisnya merek ini dalam kaitannya dengan pemasaran atas produk yang telah kita hasilkan. Suatu ketika, kira-kira awal tahun 2006, saya diberikan informasi oleh seorang dokter yang juga teman saya. Ia bercerita bahwa di salah satu pondok pesantren di Jawa Timur akan mendirikan suatu perguruan tinggi dengan nama Universitas Islam Darussalam yang disingkat UNISDA. Universitas ini didirikan sebagai pengembangan atas perguruan tinggi yang sebelumnya sudah ada, yakni sebuah institut agama Islam. Mendengar informasi semacam itu, saya mengucapkan terimakasih pada pak dokter yang sudi memberikan kabar pada saya. Pada satu hal saya memberikan apresiasi dan kebanggaan atas terus berkembangnya perguruan tinggi Islam, sebagaimana saya cukup apresiatif atas kemajuan dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam bentuk penambahan jenis sekolah maupun peningkatan kualitas. Namun yang lebih menjadi perhatian saya atas khabar tersebut adalah nama Universitas yang didirikan sama persis dengan universitas yang saat ini saya kelola, ya UNISDA. Kesamaan nama ini memang bukan dalam kepanjangannya, namun bagaimanapun nama singkatan juga merupakan nama yang juga mempunyai image tersendiri. Justru dengan nama singkatan itulah suatu perguruan tinggi seringkali disebut. Nama singkatan juga melalui sebuah penciptaan, perenungan dan prediksi agar supaya mudah diucapkan, mudah diingat, dan tentu berbeda dari nama singkatan lain. Itulah kira-kira yang dibayangkan oleh seorang pemberi nama.
Dalam cerita lain. Setelah saya mendapat informasi akan berdirinya suatu perguruan tinggi dengan nama yang sama dengan yang saat ini saya kelola, saya akhirnya mencoba untuk mendapatkan informasi lanjutan dari media internet. Betul saja, ternyata juga saya temukan nama singkatan yang sama dengan perguruan tinggi saya. Di perguruan tinggi luar pulau itu, ada suatu sekolah tinggi yang berencana mengembangkan menjadi universitas dengan singkatan UNISDA pula. Hal ini kemudian semakin membuat keyakinan diri saya untuk membuat suatu langkah menyelamatkan suatu identitas khas yang telah kami miliki hampir sejak dua puluh tahun yang lalu.
Saya jug tidak habis pikir, kenapa ada suatu perguruan tinggi yang membuat nama yang sama dengan UNISDA Lamongan. Apakah nama UNISDA itu dianggap cukup memenuhi syarat pembuatan suatu nama sebagaimana keterangan saya di atas. Saya sama sekali tidak akan membuat prasangka bahwa mereka membuat kesengajaan. Saya hanya cukup menduga bahwa ketika mereka mereka-reka untuk membuat singkatan, yang paling mudah dan enak diucapkan adalah UNISDA. Saya juga menduga, mereka tidak berusaha melihat daftar perguruan tinggi di buku direktori perguruan tinggi, kalau saja nama yang mereka bikin sudah ada yang memakai.
Pentingnya Merek
Dari pengalaman tersebut, saya kemudian berusaha untuk segera mendaftarkan nama Universitas Islam Darul ’Ulum (Unisda) berikut logonya ke Direktorat Hak Atas Kekayaan Intelektual. Melalui Yayasan selaku badan penyelenggara diusulkanlah pendaftaran Hak Merek yang kami ciptakan. Badan penyelenggara UNISDA mempunyai maksud, tentu saja untuk melindungi nama perguruan tinggi kami dari suatu kesamaan dengan nama perguruan tinggi lain.
Merek adalah salah satu hak intelektual yang dilindungi oleh undang-undang, selain hak cipta dan hak paten. Sebagai suatu kekayaan intelektual maka hak atas merek mempunyai nilai yang dapat dihitung sebagai suatu asset. Ia dapat dinilai dengan uang, ataupun juga bahkan tidak dapat dinilai dengan suatu jumlah nominal uang tertentu. Tapi yang pasti hak atas merek bukan sama sekali tidak ada harganya, yang dapat dipakai orang di sana maupun di sini tanpa ada ijin dari pemegang haknya yang sah.
Betapa kasihannya seorang penemu desain batik, ia seorang pengrajin Usaha Kecil Menengah (UKM), yang desain batiknya kemudian dengan mudah diproduksi oleh pihak lain (termasuk orang asing), hanya gara-gara ia tidak tahu atau tidak menyadari bahwa suatu ciptaan harus didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) agar ciptaannya dilindungi. Seringkali hasil ciptaan pengrajin UKM semacam itu dibajak oleh orang lain, yang tentu pembajak tersebut tidak memberikan suatu royalti atas barang bajakannya. Di sisi lain, pembajak-pembajak semacam itu pabriknya lebih canggih dan distribusi jualnya lebih luas. Sementara UKM hanya mengandalkan produksi manual dan market yang terbatas.
Demikian pula, betapa ruginya seorang pengusaha garmen (pakaian jadi) yang mereknya dibajak oleh pengusaha lain. Tidak hanya mereknya yang dijiplak, desainnya sekalipun juga ikut di tiru. Persis memang. Padahal, apabila si pembajak mengeluarkan produk yang kualitasnya lebih jelek dari yang dimiliki oleh yang dibajak, maka hal ini akan berkonsekwensi buruk pada kepercayaan konsumen terhadap produk-produk pemilik merek yang sah. Karena produk pembajak dianggap oleh konsumen sebagai produk sah pemilik merek.
Oleh karena itulah, maka merek menjadi penting. Di samping itu, dengan suatu pendaftaran hak atas kekayaan intelektual yang kita miliki, maka produk intelektual kita, apapun bentuknya, akan dilindungi oleh undang-undang. Hanya pemegang hak lah yang berhak untuk memakai nama itu, kecuali pemegang hak memberikan kewenangan orang lain untuk turut mengambil hak atas merek maupun ciptaan kita.
Pendaftaran Merek yang Lama
Suatu karya intelektual seyogyanya segera di daftarkan agar sebagai pemegang hak kita dilindungi. Oleh karena itu, apapun karya kita baik itu pemikiran ilmiah, penemuan ilmiah, ciptaan seni, aransemen lagu, karya sastra, merek dagang, maupun penemuan atas suatu teknologi dan rekayasa, semua sudah selayaknya didaftarkan.
Banyak sekali kasus-kasus HAKI di Indonesia, di mana hasil karya budaya anak bangsa didaftarkan oleh pihak-pihak asing di luar negeri. Baik lagu, desain batik, desain ukiran, makanan, alat seni tradisional, maupun tari-tarian, yang semuanya adalah kekayaan milik bangsa Indonesia. Kita seringkali terkaget-kaget dan emosional ketika suatu karya intelektual anak bangsa kemudian dipertontonkan, bahkan diperjual belikan oleh bangsa asing untuk mendapatkan keuntungan.  
Namun pada sisi lain, seringkali kita tidak menyadari pentingnya pendaftaran hak intelektual yang kita punyai. Kita kurang protektif, dan kita menganggap bahwa semua aset seni budaya, termasuk karya ciptaan kita tidak perlu dilindungi sedemikian rupa. Padahal bangsa asing, sudah banyak sekali melihat potensi-potensi kekayaan intelektual dirinya untuk didaftarkan.
Inilah nampaknya yang harus kita tiru dari bangsa asing. Menjadi sadar akan kekayaan intelektual yang dikaruniakan Tuhan kepada kita untuk dihargai dan dilindungi, kekayaan intelektual itu bahkan tidak kalah dengan kekayaan yang bersifat fisikal semata, seperti tanah, mobil, emas dan sebagainya. Intelektual manusia, disitulah letak kekayaan yang sesungguhnya. Mulai dari ide, gagasan, pemikiran lah semua kemajuan dapat dicapai. Tanpa berfikir, tanpa berusaha selalu menemukan ide dan gagasan, mustahil dinamika kehidupan akan tercipta. Semua orang yang sukses pasti meletakkan ide dan gagasannya dalam posisi yang amat penting. Gagasan itu tentu harus diupayakan pelaksanaannya, agar mewujud dalam kenyataan.
Berkaitan dengan hal itu, sosialisasi dan diseminasi tentang pentingnya perlindungan HAKI telah dilakukan oleh pemerintah yang berwenang, disamping itu di beberapa perguruan tinggi juga telah dibuka pusat-pusat HAKI, bahkan di fakultas hukum mata kuliah HAKI saat ini sudah menjadi mata kuliah penting. Pada bagian lain, konsultan HAKI sudah mulai didayagunakan sebagai sentra konsultasi dan pengurusan hal-hal yang berhubungan dengan perlindungan HAKI.
Namun, ternyata pengurusan HAKI (termasuk merek) memakan waktu yang amat lama. Kalau menurut undang-undang untuk merek saja hanya memakan waktu 14 bulan. Tetapi dalam kenyataan, sebagaimana pengalaman saya, pengurusan ini memakan waktu 2,5 tahun.
Di samping itu, untuk pembiayaan barangkali akan terasa mahal bagi mereka para pengusahan kecil. Di mana untuk pengurusan hak cipta dikenai biaya Rp. 200,000, jika pengusaha kecil itu adalah pengusaha batik yang sering membuat desain batik, maka tinggal mengalikan saja dengan jumlah desain yang dihasilkan.
Hal lainnya yang juga membuat kesulitan dalam pengurusan HAKI ini adalah kurang optimalnya penggunaan Teknologi Informasi untuk pengurusan dan pemantauan kemajuan suatu aplikasi pendaftaran. Seyogyanya teknologi informasi dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya, apalagi di era saat ini dipastikan sangat mudah untuk mengakses internet. Diharapkan dengan penggunakan suatu sistem informasi yang baik akan dapat menghubungkan aplikan (pemohon hak) dengan ditjen HAKI dengan lebih lancar.
Perbaikan Layanan
 Dari pengalaman saya mengajukan pendaftaran merek, saya merasa bahwa pelayanan dari Ditjen HAKI perlu diperbaiki. Poin-poin penting yang sebaiknya mendapat perhatian adalah: pertama, mengenai waktu penyelesaian, tentunya semua pemohon berharap agar prosedur operasional standar pelayanan sebagaimana tersebut dalam UU HAKI dapat dilaksanakan. Karena akan sangat tidak baik sebuah departemen hukum tapi selalu tidak patuh pada hukum. Kedua, pemakaian IT sebagai sistem pendaftaran agar diterapkan, karena dengan sistem komunikasi semacam ini diharapkan proses dapat dipantau oleh pemohon dan publik itu sendiri, khususnya untuk hak-hak intelektual yang telah mendapat perlindungan. Ketiga, untuk pembiayaan bagi UKM hendaknya ada perlakuan khusus, misalnya penerapan discount dan insentif tertentu.