Oleh: M. Afif Hasbullah
Pada tanggal 16-18 Oktober lalu, di Unisda Lamongan diselenggarakan kegiatan temu Badan Eksekuif Mahasiswa (BEM) se Jawa Bali. Para mahasiswa itu mengusung tema Seabad Kebangkitan Nasional. Tema utama itu kemudian di pecah ke dalam sub-sub tema, yakni Kebijakan sector pertanian dan peningkatan ekonomi petani, Menghindari kutukan sumber daya Alam, Seabad kebangkitan Nasional; dari dari Nasionalisme Boedi Oetomo sampai Susilo Bambang Yudoyono, serta Peran Politik Mahasiwa dalam Kontestasi Politik kekinian.
Menariknya, pertemuan yang bertemakan nasional itu ternyata juga tidak luput dari diskusi yang mengkaitkan dengan konteks local sebuah gerakan kemajhasiswaan. Masalah-masalah yang diangkat oleh peserta pun sedapat mungkin mencermati terhadap persoalan-persoalan yang terjadi pada ranah local masing-masing.
Makna Sumpah Pemuda 1928 (SP) yang berisikan tiga hal penting yakni satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa tidak hanya penting sebagai pendobrak menuju terwujudnya negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) semata, namun juga senantiasa relevan terhadap perjalanan cita-cita NKRI di era global. Sehingga gelar peringatan SP setiap tahun tidaklah sekedar seremonial untuk pengenangan sejarah para pemuda jaman dahulu yang sedemikian heroic dan patriotic untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
Sejarah memang mutlak harus diingat. Ada ungkapan Bung Karno Jas Merah atau jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bung Karno mengatakan demikian tentu dengan maksud bahwa semangat perjuangan masa lalu (zetgeist) harus senantiasa dilestarikan, walaupun tentu antara masa lalu dan sekarang ragam persoalan akan cukup berbeda, baik terkait bentuk, karakter, dan variabel masalah serta solusinya.
Dalam era kekinian, tantangan perjuangan tidak semata untuk mengusir penjajahan fisik. Bangsa ini sekarang ada dalam tuntutan untuk terbebas dari kemiskinan, kebodohan, maupun keterjajahan secara poltiis dari bangsa lain. Misi ini, tentu secara berkelanjutan harus dilanjutkan oleh para pemuda, baik mereka yang ada di dalam kampus melalui Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa) mapaun mereka yang ada diluar kampus yang erat dengan gerakan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Karena bagaimanapun mahasiswa merupakan komunitas terdidik.
Dalam kaitan dengan gerakan mahasiswa itu, selama ini mahasiswa telah memerankan aksinya dalam beberapa ranah, yakni: ranah sosial, ranah moral, ranah intelektual dan ranah politis. Majhasiswa menyadari betul bahwa eksistensinya tidak dapat dipiosahkan dari lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, mahasiswa sudah seyogyanya menjadi bagian masyarakat dengan beragam problematikanya. Mahasiswa bukan menara gading yang terpisah dari lingkungan sosialnya.
Namun demikian, 10 tahun setelah gerakan reformasi 1998 yang dimotpri mahasiswa. Ada kesan bahwa gerakan kemahasiswaan mengalami situasi lemah dan kurang solid sehingga menyebabkan gerakan yang dilakukan kurang efektif. Bahkan peran gerakan itu banyak dihandel oleh aktivis pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Mahasiswa harus menjadi bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa mestinya tidak terjebak dalam tema-tema nasional semata. Persoalan-persoalan lokal yang perlu dikritisi dan ditangani ternyata tidak kurang banyaknya. Kemiskinan, ketidakadilan, kurangnya perhatian pemerintah dan sebagainya.
Penulis cukup kecewa, manakala melihat ada anak-anak muda dari daerah kemudian kuliah di tempat jauh, namun pada saat lulus tidak mau kembali mengabdi untuk daerahnya. Padahal yang bersangkutan telah selesai menempuh S2 bahkan S3. Pembangunan daerah dalam banyak hal lebih membutuhkan sentuhan orang pintar atau kalangan terpelajar, karena kalau bukan anak daerah sendiri siapa lagi yang akan berupaya membangun daerah tersebut.
Gerakan kemahasiswaan pun juga harus dilakukan dengan cara yang sistematis-ilmiah. Karena sebagai kalangan terdidik, sudah seharusnya argumentasi yang diaplikasikan dalam kritik terbangun dalam metodologi pemikiran yang tepat. Artinya, demo mungkin tetap diperlukan sebagai sarana penyampaian pendapat. Namun demo atau unjuk rasa itu harus merupakan upaya puncak untuk menghentikan berbagai macam ketidak adilan dan kesewenang-wenangan.
Belum lagi, berbagai model unjuk rasa yang anarkis juga merupakan contoh yang kurang baik bagi proses demokratisasi di daerah. Mengingat kekisruhan yang mungkin timbul dari unjuk rasa model anarkis itu justru dikhawatirkan membuat citra gerakan mahasiswa dan demokratisasi yang sedang berlangsung di negeri ini menjadi kurang baik. Pada akhirnya, akan muncul mimpi-mimpi ketenangan dan ketentraman di pikiran masyarakat kita. Bahwa di era lalu lebih tenang, lebih tertib, dan lebih damai dari pada era sekarang. Karena mereka menganggap bahwa era sekarang banyak muncul gangguan-gangguan terhadap hak masyarakat yang dilakukan oleh sekelompok unsur yang menyatakan bahwa tindakannya adalah konsekwensi dari demokrasi.
Pada akhirnya, peran mahasiswa dalam konteks lokal seharusnya dapat diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang menyentuh langsung jantung persoalan yang dialami masyarakat. Kegiatan itu harus terkonsep, ilmiah, membumi, manusiawi, dan dilakukan dengan cara yang santun dan bermartabat.
Pada tanggal 16-18 Oktober lalu, di Unisda Lamongan diselenggarakan kegiatan temu Badan Eksekuif Mahasiswa (BEM) se Jawa Bali. Para mahasiswa itu mengusung tema Seabad Kebangkitan Nasional. Tema utama itu kemudian di pecah ke dalam sub-sub tema, yakni Kebijakan sector pertanian dan peningkatan ekonomi petani, Menghindari kutukan sumber daya Alam, Seabad kebangkitan Nasional; dari dari Nasionalisme Boedi Oetomo sampai Susilo Bambang Yudoyono, serta Peran Politik Mahasiwa dalam Kontestasi Politik kekinian.
Menariknya, pertemuan yang bertemakan nasional itu ternyata juga tidak luput dari diskusi yang mengkaitkan dengan konteks local sebuah gerakan kemajhasiswaan. Masalah-masalah yang diangkat oleh peserta pun sedapat mungkin mencermati terhadap persoalan-persoalan yang terjadi pada ranah local masing-masing.
Makna Sumpah Pemuda 1928 (SP) yang berisikan tiga hal penting yakni satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa tidak hanya penting sebagai pendobrak menuju terwujudnya negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) semata, namun juga senantiasa relevan terhadap perjalanan cita-cita NKRI di era global. Sehingga gelar peringatan SP setiap tahun tidaklah sekedar seremonial untuk pengenangan sejarah para pemuda jaman dahulu yang sedemikian heroic dan patriotic untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
Sejarah memang mutlak harus diingat. Ada ungkapan Bung Karno Jas Merah atau jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bung Karno mengatakan demikian tentu dengan maksud bahwa semangat perjuangan masa lalu (zetgeist) harus senantiasa dilestarikan, walaupun tentu antara masa lalu dan sekarang ragam persoalan akan cukup berbeda, baik terkait bentuk, karakter, dan variabel masalah serta solusinya.
Dalam era kekinian, tantangan perjuangan tidak semata untuk mengusir penjajahan fisik. Bangsa ini sekarang ada dalam tuntutan untuk terbebas dari kemiskinan, kebodohan, maupun keterjajahan secara poltiis dari bangsa lain. Misi ini, tentu secara berkelanjutan harus dilanjutkan oleh para pemuda, baik mereka yang ada di dalam kampus melalui Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa) mapaun mereka yang ada diluar kampus yang erat dengan gerakan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Karena bagaimanapun mahasiswa merupakan komunitas terdidik.
Dalam kaitan dengan gerakan mahasiswa itu, selama ini mahasiswa telah memerankan aksinya dalam beberapa ranah, yakni: ranah sosial, ranah moral, ranah intelektual dan ranah politis. Majhasiswa menyadari betul bahwa eksistensinya tidak dapat dipiosahkan dari lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, mahasiswa sudah seyogyanya menjadi bagian masyarakat dengan beragam problematikanya. Mahasiswa bukan menara gading yang terpisah dari lingkungan sosialnya.
Namun demikian, 10 tahun setelah gerakan reformasi 1998 yang dimotpri mahasiswa. Ada kesan bahwa gerakan kemahasiswaan mengalami situasi lemah dan kurang solid sehingga menyebabkan gerakan yang dilakukan kurang efektif. Bahkan peran gerakan itu banyak dihandel oleh aktivis pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Mahasiswa harus menjadi bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa mestinya tidak terjebak dalam tema-tema nasional semata. Persoalan-persoalan lokal yang perlu dikritisi dan ditangani ternyata tidak kurang banyaknya. Kemiskinan, ketidakadilan, kurangnya perhatian pemerintah dan sebagainya.
Penulis cukup kecewa, manakala melihat ada anak-anak muda dari daerah kemudian kuliah di tempat jauh, namun pada saat lulus tidak mau kembali mengabdi untuk daerahnya. Padahal yang bersangkutan telah selesai menempuh S2 bahkan S3. Pembangunan daerah dalam banyak hal lebih membutuhkan sentuhan orang pintar atau kalangan terpelajar, karena kalau bukan anak daerah sendiri siapa lagi yang akan berupaya membangun daerah tersebut.
Gerakan kemahasiswaan pun juga harus dilakukan dengan cara yang sistematis-ilmiah. Karena sebagai kalangan terdidik, sudah seharusnya argumentasi yang diaplikasikan dalam kritik terbangun dalam metodologi pemikiran yang tepat. Artinya, demo mungkin tetap diperlukan sebagai sarana penyampaian pendapat. Namun demo atau unjuk rasa itu harus merupakan upaya puncak untuk menghentikan berbagai macam ketidak adilan dan kesewenang-wenangan.
Belum lagi, berbagai model unjuk rasa yang anarkis juga merupakan contoh yang kurang baik bagi proses demokratisasi di daerah. Mengingat kekisruhan yang mungkin timbul dari unjuk rasa model anarkis itu justru dikhawatirkan membuat citra gerakan mahasiswa dan demokratisasi yang sedang berlangsung di negeri ini menjadi kurang baik. Pada akhirnya, akan muncul mimpi-mimpi ketenangan dan ketentraman di pikiran masyarakat kita. Bahwa di era lalu lebih tenang, lebih tertib, dan lebih damai dari pada era sekarang. Karena mereka menganggap bahwa era sekarang banyak muncul gangguan-gangguan terhadap hak masyarakat yang dilakukan oleh sekelompok unsur yang menyatakan bahwa tindakannya adalah konsekwensi dari demokrasi.
Pada akhirnya, peran mahasiswa dalam konteks lokal seharusnya dapat diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang menyentuh langsung jantung persoalan yang dialami masyarakat. Kegiatan itu harus terkonsep, ilmiah, membumi, manusiawi, dan dilakukan dengan cara yang santun dan bermartabat.