Senin, 16 Juni 2008

Di antara Bentuk-Bentuk Mahasiswa Kita

Oleh: M. Afif Hasbullah

Mahasiswa merupakan individu terdidik yang diharapkan dengan pendidikan yang dikuasainya dapat menyumbangkan sesuatu nilai positif bagi perkembangan masyarakat dan kesejahteraannya. Karena itu sudah selayaknya tanggungjawab dan moralitas disandangkan pada para mahasiswa yang dianggap masih ”putih” atau mengabdi pada kebenaran dan kejujuran ilmiah.
Kata maha yang disandangkan pada kata siswa sebagai pembeda bahwa mereka adalah kaum terpelajar tingkat tinggi sudah seharusnya dipegang teguh oleh mereka para penyandang sebutan itu. Ini tentu berbeda, apabila dibandingkan dengan mereka yang masih menempuh pendidikan pada tingkatan dasar dan menengah.
Konsekwensi seorang mahasiswa dengan demikian berkorelasi pada seluruh tingkah, laku, ucapan maupun sikapnya yang menunjukkan kapasistasnya sebagai maha. Dalam hal ini, mengharuskan semua penyandang sebutan itu untuk senantiasa ada dalam rel dan norma ilmiah.
Dalam tataran ideal, mungkin apa yang teruraikan di atas lebih merupakan suatu target idealis. Apa yang sebaiknya. Karena didalam tataran lain, ada bentuk ”apa yang terjadi”. Dalam dunia faktuil dapat kita temui bentuk-bentuk mahasiswa yang beraneka ragam coraknya.[1] Masing-masing di antara mereka juga dengan bangganya menyebut masing-masing sebagai mahasiswa.
Bentuk pertama, mahasiswa kutu buku. Mahasiswa ini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kuliah, memperhatikan tugas-tugas dosennya dengan baik, cukup intens mengunjungi perpustakaan. Corak demikian tentu merupakan mahasiswa yang baik, karena ia disiplin, serius dalam belajar dan memperhatikan norma-norma yang berlaku dalam pendidikan. Pada akhirnya, mahasiswa ini akan memeperoleh nilai sangat memuaskan atau cumlaude.
Bentuk kedua, mahasiswa aktivis murni. Mahasiswa ini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan-kegiatan keorganisasian di dalam maupun di luar kampus. Sayangnya, cukup kerap ditemui diantara mereka malas untuk kuliah dan mengikuti kegiatan akademik di kampus. Walaupun tentu, kerap pula ditemui diantara mereka berhasil mengelola organisasinya dan menjalankan kegiatan oerganisasi dengan kualitas yang memuaskan. Belum lagi modal jaringan yang mereka dapatkan di luar kampus, sudah cukup menjadi modal manakala mereka akan terjun di masyarakat nantinya.
Bentuk ketiga, mahasiswa entertain. Mahasiswa macam ini kerap tidak mempunyai orientasi yang jelas ketika masuk di dalam suatu lembaga pendidikan tinggi. Mereka ketika ditanya, ”kenapa masuk fakultas ekonomi?”. Tidak dapat menjawab dengan logis dan ilmiah sebagaimana layaknya jawaban seorang intelektual yang seharusnya menjawab dengan ”saya masuk fakultas ekonomi, karena saya ingin mempelajari sistem ekonomi kita. Karena saya khawatir ada yang salah dalam sistem ekonomi kita, sehingga saya perlu untuk ambil bagian memperbaiki”. Atau dengan jawaban ” saya ingin menjadi seorang praktisi ekonomi, mengingat di fakultas ini mempunyai keunggulan sarana untuk mewujudkan cita-cita saya”. Tentu, mahasiswa entertain yang umumnya adalah menjawab dengan ”saya masuk fakultas ekonomi, karena banyak temannya”, atau ”karena di situ cowoknya ganteng-ganteng” atau ”cantik-cantik”.
Mahasiswa bentuk ketiga ini hampir susah sekali diajak berpikir yang berat-berat. Mereka maunya yang standar-standar. Juga tidak ada patokan prestasi. Karena bagi mereka kuliah adalah tempat dimana mereka bisa mengahbiskan waktunya demi untuk menyandang mahasiswa.
Bentuk keempat, mahasiswa show. Mahasiswa ini di dalam kuliahnya tiada yang dipikirkan selain: nanti pakai baju apa, lipstik warna apa, handphone harus up to date, sepeda motor harus yang baru. Dengan kata lain, status mahasiswa merupakan sarana mereka untuk mejeng dan tebar-tebar pesona (ttp).
Bentuk kelima, mahasiswa aktivis kutu buku. Mahasiswa corak ini menampilkan keseimbangan antara seorang akademisi yang menjunjung tinggi sikap dan kebenaran ilmiah dengan semangat dan kecenderungannya untuk ikut sebagai bagian dari insan perubahan. Ia sadar, bahwa tugas kemahasiswaan bukan hanya merupakan tugas akademis yang terkungkung oleh tembok kampus, kebenaran referensi satu dua buku, atau bahkan ilmuwan kaca mata kuda. Namun sepenuhnya ia menyepakati bahwa tugas kemahasiswaan juga harus peduli dan reaktif terhadap soal-soal pada lingkungan masyarakatnya yang harus diberdayakan, dibebaskan, dan diantarkan menuju gerbang kesejahteraan.
Mencermati dan mendiskusikan bentuk-bentuk mahasiswa di atas, sudah seharusnya kita dapat mengambil kesimpulan yang bebas. Mau memilih yang mana dari lima bentuk itu. Tentu ketepatan memilih salah satu bentuk mahasiswa di atas juga mau tidak mau pada akhirnyamenunjukkan kapasitas kita sebagai mahasiswa yang sesunggungnya ideal. Selamat memilih.
[1] Mahasiswa dalam tulisan ini tidak membatasi lokalitas daerah atau perguruan tinggi tertentu, namun secara umum yang ada dan diamati penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar