Jumat, 14 November 2008

Ada Apa dengan Komersialisasi Pendidikan

Oleh: M. Afif Hasbullah

Komersialisasi berasal dari bahasa Inggris commercialization yang artinya sifat mencari keuntungan, kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia komersialisasi. Istilah ini wajar digunakan dalam bidang perdagangan dan perniagaan, namun apakah juga wajar manakala istilah tersebut digabungkan dengan kata pendidikan? Sebagaimana halnya istilah komersialisasi pendidikan.
Tentu saya tidak bermaksud untuk mengkaji frasa komersialisasi pendidikan itu dari sudut kebahasaan, yakni bahasa Indonesia maupun Inggris. Namun saya hendak mengulas kewajaran atau ketidakwajaran munculnya komersialisasi pendidikan yang dewasa ini sedang dibicarakan banyak kalangan, baik pendidik, peserta didik, maupun masyarakat.
Komersialisasi pendidikan yang sedang hangat diperbincangkan, sesungguhnya sebuah wacana, stigma atau bahkan fakta? Hal ini sampai sekarang menimbulkan ketidakjelasan, karena suatu hal tidak adanya parameter untuk mengukur apakah suatu pelaksanaan pendidikan itu ada unsur komersil atau tidak.
Problem yang banyak dibincangkan mengenai komersialisasi pendidikan itu umumnya dimulai dari suatu dugaan bahwa suatu proses pendidikan dilakukan dengan niatan atau tujuan semata-mata mencari keuntungan. Keuntungan tersebut hanya dinikmati oleh sekelompok orang pemegang modal maupun untuk kepentingan-kepentingan lain di luar kepentingan penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Sehingga dengan keadaan yang demikian, masyarakat dan peserta pendidikan merasa dirugikan karena biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh peserta didik dan orang tua digunakan untuk keperluan lain diluar kepentingan penyelenggaraan pendidikan peserta didik.
Kasus semacam itu kerap terjadi karena tidak adanya proses akuntabilitas dan transparansi yang dibangun oleh penyelenggara pendidikan. Sehingga yang ada adalah penyangkaan akan penyelewengan dana dalam bentuk komersialisasi tadi. Padahal, penyangkaan itu bisa salah, walaupun juga kemungkinan betul adanya. Oleh karena itu komersialisasi pendidikan macam demikian mestinya harus ditangani dengan manajemen administrasi yang akuntabel.
Kedua, komersialisasi pendidikan juga dapat terjadi ketika biaya pendidikan jauh lebih tinggi daripada fasilitas dan kelayakan fasilitas maupun sarana pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta didik. Dalam kasus demikian, suatu satuan pendidikan yang tidak lengkap atau di bawah standar dalam hal fasilitasnya, namun dari sudut pembiayaan jauh melampaui fasilitas yang disediakan satuan pendidikan. Bahkan di beberapa kasus suatu satuan pendidikan yang tidak mempunyai fasilitas apapun, namun pembiayaannya sama atau sebanding dengan satuan pendidikan yang telah standar.
Dalam bentuk semacam ini, yang harus dilakukan adalah peningkatan standar mutu dan fasilitas pembelajaran. Dengan demikian diharapkan dugaan komersialisasi tersebut tidak terjadi. Hendaknya pula, para pengelola pendidikan memperhatikan dan mencermati dengan seksama keseimbangan antara biaya yang dikeluarkan peserta didik dengan fasilitas yang telah dipenuhi penyelenggara pendidikan.
Ketiga, dapat pula terjadi komersialisasi pendidikan yang mewujud pada penyelenggaraan proses pendidikan yang di bawah standar. Dalam hal ini biasa terjadi dalam suatu kasus ketika ada suatu perguruan tinggi yang membuka kelas jauh atau kelas paralel. Kelas jauh ini biasa diselenggarakan dengan model ala kadarnya, tempat pun sekenanya, bisa di suatu sekolah dasar, rumah penduduk, maupun di ruko-ruko. Belum lagi kelas kuliah model seperti ini dilakukan dengan tatap muka yang juga ala kadarnya. Kalau misalnya satu mata kuliah 2 sks menurut aturan normal harus ditempuh 14 kali tatap muka, dalam kuliah model begini mungkin seorang peserta didik (mahasiswa) hanya menempuh 1-2 kali tatap muka.
Wajar, kemudian kalau dihitung-hitung, dengan pembiayaan yang sama dengan kelas regular yang 14 kali tatap muka atau sedikit lebih rendah, maka betapa banyak keuntungan yang diperoleh oleh penyelenggara kelas jauh semacam ini. Kasus yang model demikian harus diawasi oleh pemerintah, ditindak dan ditegur, bila mana perlu diberikan sanksi maksimal sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. Masyarakat pun harus waspada dan mengerti, bahwa proses pendidikan awu-awu macam ini harus diberantas karena illegal.
Keempat, ada lagi modus komersialisasi pendidikan yang melakukan aksinya dengan cara jual beli ijazah. Lho kok? Ya, ijazah ternyata dalam praktiknya telah diperjual belikan. Ada oknum-oknum pebisnis ijazah yang suka menjual belikan ijazah. Baik di tingkat dasar, menengah maupun ijazah perguruan tinggi. Lihat saja, beberapa kasus pejabat public atau tokoh masyarakat yang terkena kasus hukum gara-gara membeli ijazah palsu.
Biasanya, mereka memang spesialis memalsu, yang ini dapat dilakukan tidak hanya oleh orang yang mempunyai akses dalam lembaga pendidikan, namun juga oleh orang yang tidak punya akses dalam lembaga pendidikan, karena memang ia pintar memalsu. Kerap pula terjadi dalam kasus seperti ini dilakukan oleh oknum lembaga pendidikan nakal, yang modusnya seolah-olah peserta didik mengikuti proses pendidikan sewajarnya, padahal hanya akal-akalan.
Beberapa hal di atas adalah sebagian contoh kecil komersialisasi pendidikan yang membahayakan potret sumberdaya manusia Indonesia jangka panjang. Dua fakta terakhir yang saya tulis di atas, tidak hanya merupakan komersialaisasi pendidikan semata, tapi juga merupakan pelanggaran hukum pendidikan kita.
***
Namun, apakah juga merupakan komersialisasi apabila pembiayaan dalam pendidikan itu digunakan semaksimal mungkin untuk peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Baik itu terkait dengan mutu akademik, sumberdaya manusia, sarana pendidikan maupun layanan pendidikan lainnya yang dibutuhkan oleh mahasiswa atau siswa.
Juga, apakah merupakan suatu komersialisasi manakala suatu lembaga pendidikan mendapatkan surplus atau laba dari penyelenggaraan pendidikannya. Asal keuntungan tersebut dipakai untuk peningkatan kualitas maupun pengembangan kelembagaan, menurut hemat saya hal itu no problem.
Dalam pembiayaan pendidikan ini, sangat erat kaitannya dengan biaya operasional dan pengembangan suatu lembaga. Sebagai contoh, beberapa waktu belakangan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan kebijakan untuk pengetatan pendirian perguruan tinggi baru atau pembukaan program studi baru. Pengetatan itu dalam bentuk suatu pernyataan bank yang harus disertakan dalam proposal pendirian yang isi penyataan bank itu adalah bahwa yayasan atau perguruan tinggi pengusul sanggup menyediakan dana operasional setidaknya untuk 3 tahun ke depan. Biaya yang harus dipunyai oleh perguruan tinggi pengusul itu bisa merupakan uang sendiri maupun uang yang diperoleh dari bank melalui mekanisme bank garansi.
Dari sini, Dikti menganggap bahwa harus ada jaminan faktual dalam bentuk dana operasional untuk menjamin tetap terselenggaranya penyelenggaraan pendidikan setidaknya dalam kurun tertentu. Karena jangan sampai suatu ijin atau SK penyelenggaraan program studi telah dikeluarkan, namun ternyata sepi peminat sehingga mahasiswa terlantar.
Jumlah jaminan itu pun, tidak sedikit. Apalagi untuk tataran pengelola pendidikan. Kira-kira antara 1 milyar per tahun kali 3 tahun penyelenggaraan. Dari ketentuan Dikti itu setidaknya dapat diambil suatu garis bawah, bahwa standar kesehatan suatu lembaga pendidikan setidaknya harus mempunyai back up dana yang cukup dan pantas untuk menjamin tetap terselenggaranya pendidikan.
Saat ini muncul pula model-model perguruan tinggi yang mencoba membranding dirinya sebagaimana perguruan tinggi asing atau internasional. Mereka memang tidak membidik konsumen calon mahasiswa dari kalangan kelas menengah ke bawah, karena biaya pendidikan yang mahal, maka perguruan tinggi tersebut cenderung diikuti oleh kalangan yang mapan secara finansial. Karena standar yang dipakai cukup mewah, misalkan dosennya digaji pakai dolar, sistem pendidikan harus membeli mahal dengan royalti pada asing maupun layanan lainnya sebagaimana hotel berbintang.Tentu dari ini semua, publik harus faham dan mengerti posisi komersialisasi atau non komersialisasi dalam dunia pendidikan kita. Tentu publik lah yang kemudian paling berhak menilai mana yang komersil dan tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar