Oleh: M. Afif Hasbullah
Sudah lazim diceritakan, ketika kota Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Sekutu sehingga luluh lantak pada perang dunia II, yang ditanyakan pertama kali oleh Kaisar Jepang adalah, masih seberapa banyak guru yang terselamatkan?, atau ada berapa guru yang ikut gugur?. Kaisar tidak menanyakan berapa tank yang masih dapat dipakai, berapa serdadu yang masih hidup, di awal pertanyaan. Ini menunjukkan bahwa visi seorang kaisar yang jauh ke depan. Ia meletakkan masa depan bangsanya pada guru dan institusi pendidikan. Karena hilangnya sumberdaya alam dan aset-aset fisik bukanlah kehilangan yang sesungguhnya yang harus ditangisi dan diratapi sejadi-jadinya. Hanya kehilangan ilmu dan pengetahuan lah yang seyogyanya harus disesali. Melalui ilmu pengetahuan ummat manusia akan mendapatkan jalan terbaik untuk mendapatkan kemuliaan, martabat, dan kesejahteraannya.
Bukti juga telah menunjukkan bahwa negara-negara maju saat ini, di dalam sejarahnya sangat menghargai arti penting pendidikan itu. Kita dapat melihat Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Singapura dan sebagainya telah menunjukkan komitmen mereka yang tinggi di bidang pendidikan. Terkait pendanaan misalnya, beberapa negara maju menganggarkan biaya pendidikan warganya antara 25-30% dari anggaran belanja negara itu.
Demikian pula Indonesia. Kalau dilihat dari semangat kemerdekaan Republik yang diinisiasi oleh para pemuda yang terdidik dalam Budi Utomo, menunjukkan bahwa mereka memperjuangkan kesetaraan hak yang diterima oleh warga kulit putih dengan warga pribumi. Salah satu diantaranya adalah hak atas pendidikan.
Kita juga melihat. Bahwa beberapa organisasi masyarakat (ormas) era penjajahan banyak di antaranya yang memperjuangkan hak untuk mendapat pendidikan sebagai salah satu tema sentral gerakan mereka. Sebut saja Pendidikan Indonesia, Taman Siswa, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Dengan upaya masing-masing, mereka meyakini dan mengupayakan bahwa terwujudnya kemerdekaan nasional haruslah diawali oleh kebangkitan pergerakan Indonesia. Salah satu yang harus dibangkitkan pertama kali adalah pendidikan.
Kemudian telah terbukti,bahwa kemerdekaan yang diantarkan oleh founding father tidak terlepas dari orang-orang muda yang terdidik baik, mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan yang berkualitas. Walaupun pendidikan yang dienyam ala barat, namun hati dan pikiran mereka tetap nasionalis. Sehingga dapat bersinergi mewujudkan hasil pendidikan yang mengindonesia dan anti penjajahan.
***
Kini, setelah seratus tahun kebangkitan nasional dan hampir 63 Tahun usia republik. Apa yang kita capai dengan kemerdekaan itu? Sudahkah cita-cita republik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang termuat dalam pembukaan UUD 1945 itu telah dapat dinikmati oleh seluruh rakyat? Demikian pula tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum?
Di usia ini, masih banyak ditemui orang yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang baik. Gedung-gedung sekolah yang hampir ambruk. Guru yang hidupnya tidak sejahtera. Anggaran yang minim. Regulasi pendidikan yang membingungkan. Maupun Implementasi aturan yang tidak konsisten.
Masyarakat masih merasakan bahwa pendidikan mahal. Walaupun sudah diprogramkan wajib belajar 9 Tahun dengan konsekwensi bebas biaya. Namun pada kenyataannya, biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh negara melalui bos sekolah itu tidak mencukupi. Padahal kita ketahui, bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang baik itu mahal harganya. Persoalannya, apakah biaya pendidikan ini harus di bayar oleh pemerintah, rakyat atau kedua-duanya?. Tentu, karena pemerintah tidak mampu menanggung sendiri, maka di dalam klausul UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diatur sedemikian rupa, bahwa pendidikan nasional dalam penyelenggaraannya merupakan tanggungjawab negara dan masyarakat.
Hak untuk mendapatkan pendidikan pun, masih belum merata untuk semua. Para penyandang keterbatasan (disable person) masih banyak diantara mereka belum mendapat akses untuk mendapat pendidikan sesuai dengan kecacatan mereka. Bahkan kalangan elit dan politisi negeri ini masih sering menganggap orang cacat tidak layak untuk mendapatkan hak politiknya setara dengan mereka yang kondisi fisiknya sehat dan lengkap.
Banyaknya guru yang hidupnya kurang sejahtera, karena honor atau tunjangan yang tidak sepadan dengan pengabdian yang dilakukannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Rumahnya reot laksana kandang ayam. Mereka tidak saja cukup difasilitasi dengan tunjangan kesejahteraan hidupnya dan keluarganya, namun juga untuk pengembangan kualitas keprofesiannya. Mengikuti pelatihan, workshop dan melanjutkan pendidikannya merupakan upaya untuk selalu memutakhirkan profesionalisme guru dalam mencerdaskan bangsa. Ini semua tentu, sampai saat ini belumlah dapat dipenuhi oleh negara untuk para guru.
Anggaran pendidikan yang teralokasikan sebesar 20% dari APBN kita sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 31 UUD 1945 juga tidak kunjung terealisasi. Data menunjukkan yaitu UU APBN 2005 (8,1% dari APBN), UU APBN 2006 (9,1% dari APBN), UU APBN 2007 (11,8% dari APBN), dan UU APBN 2008 (12% dari APBN). Semuanya di Judicial Review dan dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai inkonstitusional karena melanggar atau tidak sesuai (unvereibaar) dengan UUD 1945.
Belum lagi, beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi RI mengabulkan permohonan seorang guru dari Sulawesi Selatan yang meminta anggaran untuk gaji guru dimasukkan sebagai anggaran pendidikan. Sehingga saat ini kalau anggaran gaji guru dimasukkan dalam anggaran pendidikan, kira-kira tinggal 2% lagi anggaran yang 20% itu terwujud.
Sebagai perbandingan, anggaran pendidikan beberapa negara lebih tinggi dari Indonesia. Malaysia 25% dari APBN, Thailand 27% dari APBN, Jepang, Korea dan Amerika lebih tinggi lagi.
Liberalisasi pengelolaan pendidikan juga persoalan yang tidak bisa dianggap enteng. Dalam liberalisasi sektor pendidikan ini yang terjadi adalah regulasi yang mengatur bahwa pengelolaan lembaga pendidikan seperti perusahaan bisnis pada umumnya. Dengan indikasi, pertama, pemerintah yang terkesan tidak konsisten menyatakan bahwa tanggung jawab pendidikan merupakan kewajiban utama negara; kedua, dibukanya kran investasi pendidikan oleh UU dan PP mengenai peneneman modal asing baik oleh pemodal dalam negeri maupun asing.
Juga, model-model pelaksanaan pembelajaran yang tidak mengikuti norma yang berlaku dalam pendidikan. Yakni asas panjangnya waktu menuntut ilmu, konsistensi, maupun biaya. Saat ini sudah membudaya prilaku dari menuntut ilmu menjadi mendapat ijasah atau gelar. Sehingga segala cara ditempuh untuk mendapatkannya. Kelas Jauh, Kuliah seminggu bahkan sebulan sekali, bayar 5 Juta langsung wisuda dan sebagainya. Sangat kontras dengan perjuangan anak-anak SMP dan SMA ketika menempuh kelulusannya dalam Ujian Nasional UNAS.
UNAS sendiri kemudian juga tidak sepi persoalan. Baik mengenai standar dan kewenangan pelulusan. Maupun akibat UNAS itu sendiri yang potensial menumbuhkan kecenderungan untuk berbohong, menipu dan curang. Bisa dilihat dari upaya seorang guru yang ingin melulusakan siswanya, sehingga malah berbuat curang dengan menunjukkan jawabannya.Ini tentu diluar tujuan pendidikan, yakni membangun kejujuran.
Belum lagi persoalan-persoalan lain yang menambah sulitnya memperoleh pendidikan yang baik. Buku yang mahal karena dipajaki dan tidak disubsidi, bantuan dan hibah untuk lembaga pendidikan yang dikenai pajak, pajak tahunan lembaga pendidikan, akses informasi internet yang masih belum terjangkau dan sebagainya.
Jadi secara umum kondisi pemajuan pendidikan di Indonesia masih perlu untuk ditingkatkan bersama-sama. Karena yang dapat membangkitkan pendidikan kita adalah kita sendiri warga negara Indonesia.
Kondisi tersebut seakan bertemu dengan situasi bangsa yang masih dirundung berbagai penyakit kronis, baik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) maupun pembalakan liar, penjualan aset negara yang cenderung tidak transparan, penjarahan hasil-hasil bumi oleh elit-elit berkuasa yang berkolaborasi dengan pengusaha yang tidak pro kesejahteraan rakyat. Berapa banyak hutan yang gundul, beberapa tahun lagi minyak kita habis, alih-alih pengusaha yang untung, namun rakyat tetap miskin dan bahkan tersiksa oleh akibat pencemaran lingkungan dan bahaya alam akibat eksplorasi yang membabi buta.
***
Tentu, bahwa dengan kondisi seperti itu ada something wrong dalam pengelolaan bangsa ini. Bagaimana mungkin, suatu negara yang gemah ripah loh jinawi, dengan dikaruniai Yang Maha Kuasa isi perut bumi yang melimpah, atas bumi yang menghampar, maupun kandungan laut yang luar biasa. Justru kita terpuruk, tidak dapat memanfaatkan, bahkan dicuri sendiri oleh oknum anak bangsa maupun pihak asing yang tidak bertanggung jawab.
Dalam kondisi ini nampaknya kita harus menyuarakan kembali mengenai jati diri bangsa ini. Yaitu pembangunan kembali karakter bangsa. Kalau meminjam istilah Bung Karno national character bulding. Membangun visi kemanusiaan sebagai bangsa Indonesia, visi keragaman yang menyatu dalam bingkai keindonesiaan, visi pemanfaatan atas sumberdaya bangsa (manusia dan alam)untuk kesejahteraan bangsa Indonesia, serta visi moral religius yang mewarnai semangat sebagai warga bangsa.
Ini semua sudah mulai terkikis oleh modernitas dan iklim globalisasi. Pancasila yang oleh founding father diharapkan sebagai guide lines mengelola negara, dilupakan. Memang Pancasila pernah dibajak oleh rezim oteriter Indonesia. Namun kita tentu harus membangun kembali pemahaman dan internalisasi kita pada Pancasila dan Konstitusi, karena keduanya adalah janji tulus kita, komitmen kita sebagai bangsa Indonesia.Dalam hal ini, pendidikan harus di bangun. Tentu tidak hanya Sistemnya, anggarannya, regulasinya, namun juga model dan tujuan pendidikan yang menjadi substansi pendidikan Indonesia harus diperhatikan. Menjadi penting disini untuk membentuk kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct) untuk dapat dibangun kembali melalui pendidikan. Untuk ini, komitmen dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah sangat dibutuhkan.