Selasa, 13 Mei 2008

Badan Hukum Pendidikan, Apa Kabarmu?

Oleh: M. Afif Hasbullah


Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan produk hukum baru yang akan lahir di tengah kancah pengelolaan pendidikan di Indonesia. Sampai saat ini pengelolaan pendidikan dilakukan oleh badan hukum yang tidak secara khusus menangani pendidikan, yakni perkumpulan, yayasan, badan wakaf, koperasi, maupun departemen (dikelola negara). Ke depan segera akan di terapkan badan hukum yang secara khusus menangani pendidikan, yakni BHP.
BHP dalam proses kelahirannya memakan waktu panjang, Rancangan Undang-Undang (RUU) nya saja sampai 32 kali berganti-ganti. Bisa diusulkan Museum Rekor Indonesia (MURI), mungkin. Banyaknya pergantian RUU disebabkan banyak materi dalam BHP yang menimbulkan kontroversi yang panjang di kalangan pengelola pendidikan. Beberapa hal yang kontroversial itu misalnya:


  1. ketentuan tentang semua badan hukum yang lama harus berbentuk BHP ketika UU BHP sudah disahkan.
  2. ketentuan tentang bentuk BHP ditingkat satuan pendidikan.
  3. ketentuan tentang dimungkinkannya bentuk BHP di tingkat pengelola (badan hukum lama) dan di tingkat satuan pendidikan (double BHP).
  4. ketentuan tentang boleh masuknya modal asing dalam dunia pendidikan.
  5. ketentuan tentang semua bentuk satuan pendidikan (khususnya dikdasmen) masuk dalam aturan BHP.

Dan beberapa kontroversi lainnya. Ini menyebabkan persoalan menjadi lebih rumit manakala kontroversi yang ada tidak dapat diselesaikan. Yakni munculnya dugaan bahwa ada something wrong dalam latar belakang RUU BHP itu. Beberapa pandangan yang mengkaitkan dengan kontroversi itu antara lain adalah:

  1. RUU BHP dianggap sebagai penyeragaman bentuk badan hukum. Ini tidak sesuai dengan visi bangunan kenegaraan Indonesia yang menghargai pluralitas.
  2. RUU BHP dianggap berpotensi munculnya persaingan yang tajam antara pihak badan hukum lama dengan satuan pendidikan, karena dimungkinkan salah satu atau kedua-duanya akan cenderung muncul persaingan pengelolaaan dan power.
  3. RUU BHP dianggap tidak menghargai badan hukum lama yang telah berusaha berjuang membangun pendidikan sejak lama.
  4. RUU BHP dianggap memfasilitasi bisnis pendidikan dan agen kapitalis asing.
  5. RUU BHP dianggap tidak rasional dan terlalu memaksa semua bentuk pendidikan untuk mengikuti aturan UU itu. Karena tidak mungkin pengelolaan dikdasmen disamakan dengan cara mengelola suatu perguruan tinggi.

Semua inventarisasi masalah ini tidak cepat selesai. Sehingga yang terjadi adalah saling memperjuangkan konsepnya masing-masing antara yang mendukung dan yang menolak. Sikap pemerintah justru mendukung dengan argumentasinya yang juga didukung oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), dan yang menolak juga dengan segudang argument yang didukung pula oleh beberapa elemen masyarakat, misalnya Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta (ABPPTSI).
Namun, tarik menerik dalam perumusan RUU itu akhirnya menimbulkan kompromi. Paling tidak konsep bulan Maret 2008 sudah ada beberapa kemajuan, misalnya:

  1. Yang menyesuaikan diri dengan BHP hanya badan hukum yang lama saja. Satuan pendidikannya tidak perlu.
  2. badan hukum lama tidak harus berubah menjadi BHP, walaupun AD/ART nya harus menyesuaikan dengan UU BHP.
  3. Adanya ketentuan tentang biaya sosial yang harus ditanggung oleh negara dan swasta pengelola pendidikan untuk mereka yang tidak mampu dan berprestasi.
  4. Diupayakannya keringanan pengenaan pajak.
  5. Adanya ketentuan yang mengatur tentang BHP Dikdasmen yang tidak mengikuti BHP perguruan tinggi, karena akan diatur sendiri dalam PP.

Beberapa hal ini, menurut hemat penulis sudah merupakan kemajuan dalam perumusan RUU itu. Karena beberapa kompromi yang ada sebenarnya adalah persoalan-persoalan fundamental yang menjadi titik fokus persoalan.
Kemudian di samping itu, ada beberapa catatan lain yang dapat penulis berikan pada RUU BHP versi bulan Maret itu. Antara lain, orientasi nirlaba BHP menjadikan perlunya RUU BHP mengatur tentang pembebasan pajak bagi lembaga pendidikan, ketentuan limitatif yang mewajibkan negara untuk tidak lepas tangan pada dunia pendidikan dengan membuat aturan prosentase tertentu yang digunakan untuk anggaran pendidikan, ketentuan yang mengatur tentang pendidikan-pendidikan yang tumbuh dalam bingkai budaya Indonesia, termasuk pesantren. Karena pesantren kedudukan kyai lebih dari sekedar pengelola sebagaimana dalam pendidikan formal yang bias daganti-ganti, kyai adalah symbol dan ruh dari lembaga pendidikan ala pesantren itu. Ini tentu harus diatur pula.
Menilik beberapa perkembangan yang ada, tentu sebagai insan pendidikan yang baik. Harus dapat memberikan kontribusi bagi persoalan aktual yang belum tercover atau bahkan kebablasan diatur dalam RUU itu. Suatu sikap yang apriori dan menolak tanpa memberikan solusi atau bahkan sikap tidak mau tahu, justru akan melemahkan dan merugikan diri sendiri dan insane pendidikan lainnya.
Selanjutnya, marilah kita tunggu perkembangan RUU ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar