Kamis, 15 Mei 2008

Menimbang Kontrak Politik NU dengan Cagub

Oleh: M. Afif Hasbullah

Sebentar lagi Jawa Timur akan melaksanakan agenda politik berupa pemilihan gubernur dan wakil gubernur (pilgub). Agenda penting ini akan dilaksanakan mulai tahapan pendaftaran calon pada tanggal 1 sampai 5 Mei 2008, penentuan dan penetapan nomor urut tanggal 18 Juni 2008, kampanye pada 7 sampai 19 Juni 2008, dan pemilihan pada 23 Juli 2008.
Tentu, agenda politik ini diharapkan dapat disukseskan bersama seluruh masyarakat Jawa Timur. Ini mengingat bahwa dengan suasana yang kondusif dalam pelaksanaan agenda politik itu, diharapkan suasana Jawa Timur yang kondusif dapat dipertahankan. Demikian pula konstelasi sosial, ekonomi dapat terjaga stabilitasnya.
Juga tidak kalah pentingnya, adalah peran semua pihak untuk wellcome pada pilgub. Suatu sikap yang apriori dan masa bodoh pada agenda pilgub sama juga dengan membiarkan nasib Jawa Timur pada kondisi yang tidak dikendalikan oleh masyarakatnya, liar. Nah, sebagai masyarakat Jawa Timur tentu lebih baik untuk dapat ikut serta mengantarkan dan memilih calon. Calon kita yang terpilih, setidaknya ke depan pada diri kita yang memilihnya ada secercah tanggung jawab untuk mensukseskan program-programnya. Namun bagi yang calonnya tidak terpilih, diharapkan dapat kritis dalam mengawal program gubernur terpilih.
Walaupun demikian, dalam politik yang sudah dewasa, sikap tidak memilih alias golput (golongan putih), tidaklah merupakan sikap yang negatif dan merusak demokrasi. Karena memilih adalah hak, maka terserah pada pemilih hak itu, apakah hendak menggunakan haknya atau tidak. Dalam masyarakat yang well educated secara politik, maka sikap golput merupakan sikap yang pantas untuk dihormati. Justru dalam masyarakat yang masih feodal, mobilisasi yang menjadi kebiasaan dalam pelaksanaan pemilu patut diragukan kesahihannya. Lihat saja masa Orde Baru yang memobilisasi massa untuk aktif dalam pemilu, tapi hasil pemilunya diragukan keabsahannya. Hal demikian tidak terjadi pada negara-negara demokrasi yang maju. Mereka tingkat goputnya tinggi, namun kualitas demokrasinya cukup baik. Artinya baik mereka yang memilih, yang menang, yang kalah, dan yang tidak memilih sekalipun dapat berdampingan menerima hasil-hasil pemilu. Tidak seperti yang banyak terjadi di Indonesia, yang kalah ngamuk.
Pilgub penting dan menentukan masa depan Jawa Timur, setidaknya lima tahun ke depan. Nah, pada posisi ini peran masyarakat yang mutlak diperlukan itu tidak hanya untuk memilih. Namun lebih urgen dari itu adalah untuk menitipkan program-program yang harus diusung oleh masing-masing cagub dalam kepeimpinannya ke depan.
Nahdlatul Ulama (NU) dalam konteks ini harus memainkan peran pentingnya dalam pilgub ini. NU dapat melakukan kesepakatan-kesepakatan dengan cagub yang ada mengenai program yang harus dilakukan oleh masing-masing cagub jika berhasil memenangkan pemilihan.
Peran NU semacam itu jelas bukan dalam ranah politik praktis murahan, manakala apa yang diusung NU dengan titipan program itu tidak semata-mata hanya untuk memenangkan calon tertentu tanpa syarat. NU jelas harus bermain. Namun permainan NU tidak hanya dalam bentuk mobilisasi massa untuk mendukung calon tertentu dengan kompensasi jangka pendek seperti bantuan, sumbangan dan lain sebagainya. Karena ini sama saja dengan politik dagang sapi.
Jamaah NU sebagai penghuni terbesar Jawa Timur tidak boleh ambil diam. Walaupun secara organisatoris ia tidak boleh terlibat dalam politik praktis apapun. Namun NU harus menunjukkan kualitasnya melalui pressure atau penekanan pada konstelasi politik yang sedang berjalan. Tentu, sebagai ormas terbesar di Jawa Timur masa depan NU sedikit banyak terkait erat dengan siapa yang akan memimpin Jawa Timur lima tahun ke depan.
Dalam rangka itu, NU berencana membuat program kerja yang harus dialksanakan oleh cagub ketika jadi pemimpin nantinya. Program kerja yang disusun sedemikian rupa dengan melibatkan para ahli itu akan di sampaikan pada masing-masing kontestan pilgub. Apakah mereka mau menerima atau tidak. Kalau mereka mau menerima program itu untuk dilaksanakan, berarti ia mendukung program NU. Tapi kalau tidak, tentu cagub semacam ini mestinya tidak perlu direkomendasikan pada ummat untuk dapat dipilih.
Tiap calon yang sepakat harus membuat pernyataan tertulis yang mempunyai kekuatan hukum. Bila tidak, dikhawatirkan program yang disodorkan tadi akan menjadi jilidan kertas yang tidak diperhatikan dikemudian hari. Ini tentu tidak kita kehendaki. Di dalam politik, janji-janji itu biasa, namun pembohongan atas janji itu juga merupakan suatu kebiasaan-kebiasaan yang membudaya. Tentu, NU tidak mau dipakai sebagai pendorong mobil mogok, kalau mobilnya sudah jalan, maka pendorongnya ditinggal.
Pengalaman pemilu-pemilu masa lalu harus dijadikan pelajaran berharga buat warga NU. Ia hanya dimanfaatkan dukungannya pada agenda politik, namun ketika agenda pembangunan dilaksanakan NU kurang mendapat sentuhan. Di sini, diharapkan adanya sinergi antara sukses agenda politik dan sukses agenda pembangunan.
***
Orang-orang NU hampir tidak ada yang ketinggalan dalam event politik. Tapi yang kebanyakan, mengesankan bahwa ada pemanfaatan NU untuk kemenangan politiknya. Akibatnya kalau menang atau untung hanya dinikmati oleh orang NU dimaksud, disisi lain ummat dan organisasi tetap saja tidak ada kemajuan.
Dalam pemilu, apakah itu pilleg, pilpres, pilgub, dan pilbup atau pilwal. Politik praktis dalam NU harus tunduk pada khitthah NU 1926 yang dirumuskan pada Muktamar 1984 di Situbondo. Disadari bahwa peran politik masing-masing pengurus NU diindikasi cukup besar. Pada konsekwensinya, disatu sisi NU dimanfaatkan tapi tidak mendapat kompensasi yang layak, dan di sisi lain sangat rentan mengakibatkan perpecahan dikalangan ummat. Perpecahan itu tidak hanya antara warga NU dengan ummat lain, juga yang lebih mengenaskan keterbelahan pilihan politik warga NU justru disinyalir menumbuhkan bibit perpecahan itu sendiri. Susahnya lagi, seringkali dijumpai bahwa perpecahan itu tidak selesai-selesai.
Kalau melihat kondisi demikian, ditambah secara organisatoris NU tidak cukup membunyai kekuasaan untuk mencegah pengurusnya berpolitik praktis. Nampaknya NU harus memikirkan dan segera membuat solusi baru. Agar NU tetap untung dan berwibawa dengan agenda pilgub. Walaupun beberapa calon yang nota bene dari pengurus NU ikut menjadi kontestan.
Sudah saatnya NU berani berpolitik secara lebih dewasa dan bermartabat. Dukunglah calon yang mendukung program NU. Berilah rekomendasi ummat untuk memilih mereka yang komit pada NU. Jangan bikin rekomendasi yang hanya menggantungkan kepentingan atau keuntungan sesaat. Insyaallah dengan bentuk tawaran dan konsesi-konsesi jangka panjang semacam ini, NU secara organisasi tidak akan menjadi permainan politik murahan di kemudian hari.
Walaupun tentu saja, model ini masih uji coba, sejauh mana keampuhannya. Kita tunggu bersama.

2 komentar:

  1. pak tanya nikah itu lebih baikmeriah pa gak sih cz seorang temenq tanya

    BalasHapus
  2. yang perlu dipahami, menikah itu harus diumumkan. sehingga orang lain tidak perlu curiga kalau kita sedang berkhalwat ketika berduaan dengan perempuan. juga menghindari fitnah yang tidak perlu. oleh karenanya kemeriahan dalam pesta pernikahan bila diartikan sebatas untuk memberitahu dan membagi rasaya syukur dan kebahagiaan pasangan pengantin dengan kerabat dan tetangga, itu pasti lebih baik. namun sebaliknya, kalau pesta yang meriah itu lebih untuk pamer dan gagah-gagahan itu tentu mendekati isrof atau berlebih-lebihan. Nah niatan yang terakhir itu tolong untuk dihindari.

    BalasHapus