Jum’at lalu (23 Januari 2009), pagi-pagi sekali sekira pukul 03.15 segera saya bergegas untuk mandi dan berkemas untuk menuju bandara Juanda. Pagi buta itu, saya berangkat menuju Jakarta dengan pesawat Mandala paling pagi, yakni pukul 06.00 persis. Kalau maskapai lain, biasanya suka telat-telat. Oleh karena itulah saya pilih Mandala, biasanya tepat waktu. Selain itu dengan pengalaman terbang sebelum-sebelumnya, apalagi dengan perbaikan manajemen di Mandala, cukup dapat dirasakan pelayanan penumpang dapat ditingkatkan. Termasuk dengan armadanya yang masih tergolong baru dan nyaman yakni Airbus A320.
Sepagi itu saya berangkatdengan tujuan agar beberapa pekerjaan selama di Jakarta bisa selesai dalam waktu sehari. Apalagi hari jum’at, kata orang hari pendek (padahal semua hari sama, 24 jam), maka saya berupaya untuk menyelesaikan semua tugas pada hari itu, tidak usah menginap. Tiket Pulang Pergi pun sudah saya pegang. Takut kehabisan tiket kalau belinya di Jakarta. Apalagi dengan kemungkinan macet dan hujan deras di Jakarta, saya memang jadi tidak ada pilihan untuk tidak berangkat pagi-pagi. Bahkan pulangnya pun saya ambil pesawat yang agak malam yakni pukul 20.20. Maksud saya biar tidak terburu waktu.
Perjalanan kali ini, saya hendak menuju ke beberapa tempat, yakni Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual(HAKI) di Jalan Daan Mogot KM 24, setelah itu saya baru ke Dikti di dekat Gelora Bung Karno Senayan. Sebelum beli tiket sebetulnya ada rencana ketiga, yakni menuju Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk mendaftarkan ISSN buat jurnalnya Fakultas Ekonomi Unisda. Namun karena pengurusan ISSN itu sudah saya daftarkan melalui internet dua hari sebelumnya, jadi saya tidak perlu lagi ke kantor LIPI di Gatot Subroto itu.
Setiba di Bandara Soetta Cengkareng,sekira pukul 07.15, saya bergegas sarapan lebih dahulu di salah satu restoran di lingkungan bandara. Maklum, dari rumah hanya minum teh hangat saja,perut sudah keroncong.
Setelah makan, saya cari taksi saja menuju Daan Mogot untuk mengambil sertifikat merek atas nama Unisda. Syukur alhamdulillah perjalanan lancar, sehingga sampai di Daan Mogot kira-kira baru pukul 09.00 pagi. Proses pengambilan sertifikat merek itu pun juga tidak makan waktu lama, hanya 10 menitan.
Segera setelah dapat sertifikat saya cari angkot ke jurusan Terminal Kalideres. Cukup tiga ribu sudah sampai di terminal itu. Langsung ganti angkutan menuju Senayan. Saya pilih naik busway saja, selain cepat juga murah. Cepat, karena busway punya jalan sendiri. Murah, karena tarip dari kalideres sampai Halte Gelora Bung Karno Senayan, dekat dikti itu, hanya Rp. 3500. Bayangkan kalau naik taksi udah habis berapa itu.
Perjalanan dari Daan Mogot hanya perlu waktu kira-kira 40 menit. Turun busway saya jalan sedikit ke Gedung dikti yang persis bersebelahan dengan Hotel Atlet Century. Di sana saya segera menuju lantai 6 tempat Direktorat Kelembagaan berkantor. Ternyata, Pak Darsono yang ingin saya temui belum datang. Beliau baru datang sekira pukul 11.30.
Setelah ketemu dengan Pak Dar, saya menuju masjid Depdiknas untuk menunaikan sholat Jum’at.Khotib Jum’at itu berkhotbah mengenai penyerbuan Israel ke Palaestina. Kata Khotib, Israel memang bangsa yang selama sejarah dunia senantiasa membuat onar. ”Banyak nabi diturunkan ke bangsa Israel, namun bangsa Israel tetap kembali membangkang dengan syari’at Allah”, demikian khotib tegas menyampaikan.
Jum’at itu di Masjid Depdiknas, infaq masjid akan disumbangkan ke warga muslim Palestina. Saya melihat kotak amal banyak ditambah dibandingbeberapa Jum’at lainnya yang saya sempat Jum’atan di sana.
Sekira pukul 13.00 siang, saya menuju Senayan City. Saya ingin menghabiskan waktu dengan kegiatan yang tidak membosankan. Waktu saya di Jakarta masih beberapa jam lagi. Kalau harus bengong, sungguh membosankan. Pada sisi lain, kalau mau bertemu beberapa kolega saya belum ada janji. Mau ketemu tokoh-tokoh, juga belum ada janji ketemu. Jadi saya putuskan saja ke Mall yang ada di sekitar senayan itu.
Di senayan City itu ada beberapa tujuan saya untuk ”membunuh waktu”. Tujuan pertama makan siang di Restoran Sunda, kemudian ke Toko Growing Fun untuk membelikan anak-anak alat peraga pembelajaran matematika. Habis itu baru cari acara santai, yakni nonton film Burn After Read, yang dimulai persis ketika saya berada depan loket Bioskop XXI itu. Waktu masih juga terasa panjang ketika film sudah selesai, akhirnya saya ke toko buku Gunung Agung. Saya membeli beberapa buku untuk istri dan anak-anak. Selain itu saya beli CD mengenai ESQ. Saya memang tidak pernah melewatkan untuk melihat-lihat buku baru di toko buku di kota yang saya kunjungi.
Kira-kira pukul 16.30 Sore, saya bergegas menuju Plaza Senayan City, cari taksi yang membawa saya menuju ke Stasiun Gambir. Dari Gambir itulah saya biasa naik bus Damri menuju bandara Cengkareng.
Sehabis buka pintu taksi, sopir menyapa, ”mau diantar ke mana pak?”, ”ke Gambir”, jawab saya. ”Bapak sedang tugas di Jakarta?”, tanya Pak sopir kembali. ”Ya”, saya menjawab singkat. Namun sejurus kemudian saya berusaha memberi informasi tambahan mengenai keberadaan saya, karena saya sendiri merasa aneh, lagi kerja kok di Mall. Saya membatin demikian. ”Saya tadi ”membunuh waktu” Pak Sopir”. Pak Sopir langsung menjawab, ”Pak, waktu kok dibunuh toh?, eman pak, saya saja kalau bisa waktu itu ditambah, biar saya lebih punya kesempatan untuk bekerja menambah penghasilan.” Ia pun melanjutkan,”Pak kalau bisa waktu dimanfaatkan sebaik-baiknya, jangan disia-siakan”.
Saya tertegun saja mendengar Sopir taksi berkata seperti itu. Saya jelaskan bahwa keberadaan saya di Mall bukan semata-mata hura-hura atau bersenang-senang. Karena toh, dari pada saya bengong menunggu pesawat saya. Mending cari kegiatan yang bermanfaat, ke toko buku dan cari alat belajar untuk anak-anak saya. Begitu saya sampaikan pada pak sopir.
Justru saya berangkat pagi-pagi dan langsung pulang sore untuk efisiensi waktu. Saya memang tidak pernah lama-lama kalau bepergian. Pada dasarnya saya orangnya selalu kangen rumah. Jadi kalau urusan beres pasti langsung pulang saja.
Diawali oleh kata membunuh waktu tadi, PakSopir menceritakan betapa beban berat hidupnya. Rumah masih ngontrak, bahkan katanya pada pagi hari itu mereka diancam oleh pemilik kontrakan untuk segera mengosongkan rumahnya. Untuk jaminan pengosongan, tabung gas untuk masyarakat miskin yang menjadi hak bapak sopir taksi tadi pun diambil (disita) pemilik rumah. Belum lagi, katanya ia habis sakit sehingga kulkas dan televisi pun terjual untuk biaya pengobatan. Dengan menghiba, dalam curhatnya bapak itu menceritakan bahwa pagi itu ia tidak tahu apakah di rumah anak istrinya sudah makan apa belum. Karena tabung gasnya disita.
Dari dialog dengan Pak Sopir itu mengenai waktu. Saya kemudian membayangkan bahwa betapa berharganya waktu bagi manusia.
Pentingnya Waktu
Betapa berharganya waktu, sampai-sampai waktu diibaratkan bagai pedang yang menghunus. Siapa yang memanfaatkan waktu dengan baik maka akan mendapat keuntungan dari waktu itu sendiri. Barangsiapa yang melenakannya, maka bersiaplah untuk kehilangan segalanya, karena waktu akan melibas kita.
Siapapun kita, apapun latar belakang kita. Semua butuh waktu. Untuk mempersiapkan keinginannya, untuk mencapai tujuannya, semua orang butuh waktu. Waktu menjadi terasa panjang dalam menunggu, waktu terasa membosankan dalam menanti janji yang tak ditepati, waktu terasa hilang terlewati begitu saja ketika seorang bengong tak karuan. Demikian pula, waktu dapat terasa cepat bagi sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Waktu bisa terasa menegangkan ketika akan menghadapi ujian dan pertanggungjawaban.
Jadi, rasa dalam sebuah waktu akan mengikuti perasaan kita dalam memperlakukannya. Waktu dengan demikian sangat berguna dan berharga. Oleh karenaya, manusia musti memanfaatkan waktu yang berjalan untuk mencapai cita-cita dan keinginannya. Memanaj waktu menjadi penting. Berjalannya usia, dari detik sampai tahun adalah aset yang diberikan oleh Tuhan pada setiap manusia, manfaatkanlah itu, pergunakan sebaik-baiknya untuk mencapai hidup dalam kesejahteraan, ketentraman dalam bingkai ketakwaan.
Bertambahnya usia,bukanlah merupakan bentuk deretan panjang umur yang dengan pongah dibanggakan. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya usia, hendaklah introspeksi. Muhasabah atas seberapa banyak kebaikan yang kita lakukan dan prestasi yang kita raih. Bukannya melupakan diri atas kesalahan dan kehilafan yang telah diperbuat selama ini.
Waktu kosong dan waktu yang belum terjadwal, hendaklah dimanfaatkan dengan baik. Mencari kegiatan positif adalah bentuk utama dari solusi atas tiadanya produktifitas pada suatu waktu yang kita punyai. Dari produktifitas waktu itulah,betapapun sedikitnya waktu, kalau seorang anak manusia memanfaatkan dengan optimal, di kemudian hari, pasti hasil nyata akan dicapai.
Apa yang saya lakukan dalam cerita perjalanan ke Jakarta tersebut di atas adalah upaya saya untuk memanfaatkan waktu. Bukan sama sekali untuk menghamburkan waktu. Menonton film tentu adalah merupakan bagian dari belajar kehidupan. Demikian pula membeli buku, bukanlah suatu aktifitas yang percuma. Itulah sedikit upaya saya yang dengan maksimal dapat berusaha memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, setidak-tidaknya menurut saya pribadi.
Istilah ”membunuh waktu”, bukan sama sekali kata yang harus dimaknai dengan membuang waktu. Tapi itu semata-mata adalah istilah saya dalam memanfaatkan waktu yang ada di depan saya namun belum ada kegiatan pasti. Saya berusaha memanfaatkannya, mengisinya dan mendayagunakannya untuk kepentingan saya dan keluarga. Setidaknya itulah salah satu timing di mana saya memanfaatkan waktu.
Sebagai penghargaan atas pertanyaan menyentil Pak Sopir tadi, saya hadiahkan untuknya ongkos argo taksi 3 kali lipat lebih banyak dari tarif yang ada. Hitung-hitung shodaqoh untuk faqir miskin. Bagaimana dengan anda? Saya yakin anda lebih baik lagi dalam ”membunuh waktu” yang ada!.