Senin, 12 Januari 2009

Perguruan Tinggi Harus Steril dari Politik Praktis

Oleh: M. Afif Hasbullah
    Politik praktis dapat dipahami sebagai suatu kegiatan atau peril
aku yang dilakukan oleh warga negara atau kelompok masyarakat termasuk partai dalam rangka untuk melaksanakan hak-hak politiknya sebagai warga negara. Politik praktis biasa muncul dalam aktifitas pemilu, warga negara ketika itu melaksanakan hak-hak politiknya, menyuarakan pendapatnya dan juga menjadi bagian dari partai politik baik dalam bentuk keanggotaan parpol, simpatisan, atau juga pemilih parpol tersebut. Penyuaraan hak-hak politik warga negara tentu tidak hanya melalui pemilu. Warga negara bisa juga menyatakan aspirasinya dalam forum-forum lain untuk melakukan fungsinya sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
    Demikian pula golput atau mereka yang tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilu juga sedang berpolitik pada dasarnya. Sepanjang mereka yang golput itu mempunyai alasan-alasan yang rasional, misalnya diantara para caleg tidak ada yang pas untuk dipilih, diantara calon presiden tidak ada yang cocok untuk dipilih, demikian pula partai-partai yang tidak menarik bagi warga yang golput tersebut. Mereka seyogyanya sudah melakukan politik praktis dalam bentuk tidak memilih. Terkecuali, mereka tidak dapat dikatakan golput manakala atas dasar daftar pemilih yang tidak tepat, sehingga tidak mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS).
     Politik praktis berarti merupakan sikap dan pilihan sadar untuk ikut ambil bagian dalam proses dukung-mendukung dan pilih-memilih dalam ranah kekuasaan. Tidak jarang pula, dalam politik praktis disertai tawar menawar atau kontrak politik antara mereka para kontestan pemilu dengan para calon pemilih atau kelompok calon pemilih.
    Politik praktis oleh karenanya sangat rentan dengan kepentingan, apakah itu kepentingan pribadi ataupun kelompok. Apalagi ranah perebutan kekuasaan adalah bagian terpenting dari politik praktis, maka tentu sangat rentan dengan pembelahan-pembelahan aspirasi di tengah-tengah masyarakat. Karena akan sangat mustahil dalam perebutan kekuasaan – apalagi di era demokratisasi semacam ini – suara masyarakat menjadi tunggal. Pasti, dalam perebutan kekuasaan muncul faksi-faksi yang berkepentingan untuk meraih dukungan dari rakyat.
Politik dan Resiko Kepentingan di dalamnya
    Seluruh elemen masyarakat sudah seharusnya menjadi bagian dalam proses politik. Salah satunya adalah penggunaan hak politik dalam menentukan nasib bangsa melalui pemilihan eksekutif ataupun legislatif lewat sarana pemilu. Karena rakyat yang baik adalah rakyat yang ikut aktif dalam proses pengambilan keputusan penting di negaranya. Justru manakala rakyat suatu negeri tidak tertarik pada persoalan dan problem bangsanya bukanlah merupakan profil pemegang kedaulatan yang baik. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju It’s Our Country. Oleh karenanya, respon dalam turut ambil bagian dalam proses politik baik yang sifatnya positif (dukungan) maupun yang negatif (kritik) adalah merupakan sikap yang harus dihormati dalam berdemokrasi.
    Persoalannya adalah, seringkali munculnya dukungan maupun kritikan tidaklah mesti didasari oleh suatu tekad yang tulus ikhlas untuk kebaikan bersama dan kemakmuran seluruh rakyat. Kerap terjadi bentuk aktifitas politik itu dilatari oleh kepentingan kelompok, golongan, bahkan tendensi kepentingan pribadi. Dalam proses politik semua kepentingan yang tersembunyi itu kemudian dibungkus dalam wadah yang cantik dan menarik, yakni demi kepentingan rakyat. Padahal semuanya hanya bungkus alias bohong belaka.
    Sering kita jumpai adanya caleg atau cabup yang menjanjikan ini itu. Menjanjikan kemakmuran, menjanjikan kesejahteraan, menjanjikan biaya sekolah gratis, menjanjikan biaya berobat gratis, sampai janji untuk mengaspal jalan dan mengentas pengangguran. Namun apa yang terjadi kemudian ketika si calon terpilih?, acap dijumpai mereka ingkar janji terhadap materi kampanye mereka. Mereka seakan lupa atau pura-pura lupa bahwa janji itu hutang dan tanggung jawab yang harus di tunaikan.
    Di dalam posisi inilah kemudian, politik praktis seringkali tidak menampakkan kesan positif di tengah-tengah rakyat atau para pemilih. Ada gurat kekecawaan yang terpendam atau bahkan terlampiaskan manakala si calon yang sudah jadi itu ingkar janji bahkan menipu rakyat. Demontrasi, unjuk rasa dan cacian serta makian kerap muncul manakala masyarakat sudah terkecewakan. Bahkan yang lebih ironis, masyarakat akan menjadi cuek dan apatis terhadap proses politik yang sedang berjalan. Karena rakyat merasa sering ditipu atau dibohongi, maka ketika event-event pemilu atau pilkada dikemudian hari mereka menjadi malas untuk memilih. Mungkin di antara mereka akan berkata, ”kenapa saya harus ikut milih, lha wong kehidupan saya sama saja, tidak kunjung sejahtera dan harga-harga tetap semakin naik.” Mungkin juga orang yang berbeda akan bilang, ”saya tidak usah milih, lha wong dibujuki thok rakyat iki. Mendingan ke sawah dapat hasil”. Ucapan semacam ini menjadi berbahaya terhadap proses demokratisasi yang sedang berjalan. Karena dengan pola pikir apriori semacam itu, proses politik yang sedang berjalan hasilnya nanti akan kurang kredibel. Misalnya dengan golput lebih 50 persen pasti tidak salah bila ada sementara orang menganggap bahwa proses pemilu kurang baik kualitas.
Perguruan Tinggi dan Politik Praktis
    Persoalan sebagaimana tersebut di atas itulah yang kemudian menjadikan perguruan tinggi harus disterilkan dari politik praktis. Adanya
pembelahan masyarakat sesuai kepentingan yang diusung serta adanya cedera janji dan politik yang bernuansa partisan menjadikan institusi penting dalam kehidupan bangsa ini harus dilindungi.
    Perguruan tinggi dalam kedudukannya seharusnya lebih mengutamakan aktivitas tri dharmanya, yakni pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Di dalam pelaksanaan tri dharma itu perguruan tinggi harus melakukan aksi-aksi ilmiah, kerja-kerja akademik, dan juga hasil-hasil pemikiran yang dapat digunakan serta dinikmati oleh rakyat. Pandangan-pandangan moral dan arahan untuk kebaikan penyelenggaraan negara dan kesejahteraan rakyatlah yang justru ditunggu oleh mereka. Bukan aksi dukung mendukung seperti dalam politik praktis itu.
    Arahan perguruan tinggi tetap dibutuhkan. Pemikiran obyektif untuk bangsa dan proses politik yang sedang berjalan juga senantiasa ditunggu. Inilah sesungguhnya gerakan politik ala kampus. Bukan politik praktis, namun politik ilmiah dan politik moral kebangsaan.
    Perguruan tinggi saat ini masih relatif dianggap sebagai institusi dalam negara yang mempunyai kewibawaan. Masih dianggap obyektif. Kerap pula dihormati, karena di dalamnya banyak tokoh-tokoh ilmuwan yang negarawan. Wajar, bila dalam lowongan untuk jabatan-jabatan penting dalam lembaga negara, ada tempat atau porsi khusus untuk ditempati kalangan akademisi kampus.
    Sehingga apabila perguruan tinggi terlalu masuk dalam politik praktis, dikhawatirkan independensinya terganggu, kepercayaan masyarakat berkurang, serta kredibilitas perguruan tinggi akan dipertaruhkan. Apalagi bila yang didukung perguruan tinggi itu kemudian melakukan tindakan tercela, semisal korupsi, ingkar janji, dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya.
Akademisi Kampus yang Tergoda Politik Praktis
    Kampus adalah lembaga yang di dalamnya terdiri dari sivitas akademika, baik mahasiswa, maupun dosen dan karyawan. Semua insan akademik sebagai warga negara mempunyai hak politik masing-masing. Artinya semua orang kampus itu juga berhak dan noleh untuk ikut dalam proses politik praktis, karena itu haknya. Namun, manakala mereka dalam menggunakan hak-haknya itu di dalam kampus atau dengan embel-embel kampus (kampusnya di bawa-bawa) maka sama saja dengan kampusnya akan terseret dalam potret politik praktis. Termasuk mengerahkan massa untuk kampanye dikampus, penempelan poster calon di kampus, bahkan memasukkan atribut kampus dalam kegiatan partai (kampus di bawa keluar) adalah suatu aktifitas yang sudah tidak selayaknya dilakukan oleh akademisi.
    Belakangan ini memang sering dijumpai orang kampus yang tergoda masuk menjadi calon legislatif. Mereka bisa mahasiswa atau bahkan dosennya. Mereka yang dosen, ada yang dosen biasa dan ada yang merangkap pejabat. Beberapa perguruan tinggi mengambil sikap, mereka yang mencalonkan diri harus mundur dari jabatannya. Namun ada juga perguruan tinggi lain yang cukup cuti. Ini memang harus disikapi dengan arif. Tidak kemudian asal main pecat, namun harus dikomunikasikan dan diatur dengan kode etik dosen ataupun masuk ketentuan dalam statuta kampus. Yang penting, kampus harus netral dan terjaga dari kepentingan-kepentingan sesaat parpol atau caleg.
   Bagaimana dengan mereka akademisi yang ingin berpolitik praktis?, berpolitiklah, namun harus di luar kampus dan tidak mengatasnamakan kampus untuk kepentingan kampanyenya. Baik membawa jabatan maupun membawa identitas atau simbol kampus dalam kegiatan kampanye, misalnya membawa logo, jaket almamater, bahkan toga kampus.
Peran Perguruan Tinggi dalam Demokratisasi
    Walaupun kampus harus steril dari politik praktis, namun kampus tetap punya tanggungjawab juga untuk pendidikan politik rakyat (civic education). Kampus justru harus menjadi bagian terdepan dalam mendidik masyarakat melek politik, selain itu kampus juga harus menjadi pengawal jalannya demokratisasi agar supaya tidak melenceng dari tujuannya yang hakiki yang mewujudkan kedaulatan rakyat sepenuhnya untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial seluas-luasnya. Lebih daripada itu, kampus bahkan harus mengawal teknik prosedural demokratisasi ini, misalnya dengan melakukan pemantauan pemilu melalui forum rektor.
    Insan kampus sudah seharusnya menjadi teladan berdemokrasi. Insan kampus hendaknya menjadi contoh ideal bagaimana beretika dalam event politik. Demikian pula, bagi mereka akademisi yang mencalonkan diri, sejak terdaftar dalam Daftar Calon Tetap (DCT) anda sudah mulai disoroti masyarakat. Maka hati-hatilah bertindak dan bersikap, jangan bawa kampus untuk kepentingan praktis semata. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar