Sabtu, 02 Mei 2009

Potret Urusan Pendidikan di Era Otonomi Daerah

(Refleksi Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2009) 
Oleh: M. Afif Hasbullah


    Ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Sekutu ketika Perang Dunia II, maka seketika luluh lantaklah dua kota di Jepang itu. Di antara terpuruknya Jepang akibat kekalahan perang, maka yang ditanyakan pertama kali oleh Kaisar bukanlah berapa banyak serdadu Jepang yang masih tersisa, bukan pula berapa logistik militer yang terselamatkan, juga bukan pula berapa pengusaha yang tersisa. Namun Kaisar mendahulukan pertanyaan, seberapa banyak guru yang terselamatkan. Ini menunjukkan bahwa pendidikan menjadi sector utama kesuksesan masa depan bangsa. Hari ini terbukti, bahwa dengan komitmen yang besar dari Jepang dan negara maju lainnya, pendidikan di negara mereka menghasilkan karya untuk kesejahteraan bangsanya bahkan dunia.
    Era global menjadikan kompetisi antar bangsa semakin tajam, hal tersebut ditunjukkan dari adanya persaingan kualitas manusia antar bangsa. Sebagai contoh, Human Development Index (HDI) mencatat bahwa bangsa Indonesia masih menduduki peringkat 111 dari 175 negara, jauh di bawah Singapura dan Malaysia. Demikian pula, menurut catatan World Competitiveness Yearbook 2002, tingkat daya saing manusia Indonesia pada bidang sains, skor tertinggi diraih Taiwan (569), lalu Singapura (568), Jepang (550), Korea Selatan (549), dan kemudian Hongkong (530). Malaysia (492), Thailand (482), Indonesia (435), dan Philipina (345). Walaupun tidak kita pungkiri, beberapa anak bangsa kita mampu mengukir prestasi di bidang yang lainnya seperti pada International Physic Olympiade beberapa waktu yang lalu. Berbicara sarana dan prasarana apalagi, banyak sekolah yang kondisinya memprihatinkan, ambruk, dan roboh.
    Para pendiri negara ini bukannya tidak menyadari bahwa pendidikan merupakan elan vital bagi kemajuan suatu bangsa, hal ini terbukti dari cita bangsa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Namun, pengalaman masa lalu pada bangsa ini menunjukkan bahwa sektor pendidikan belum menjadi perhatian utama dalam pembangunan nasional. Pendidikan masih dijadikan subsistem yang kalah penting dibanding sektor perdagangan, industri, maupun infrastruktur. Akibatnya banyak aspek pendidikan tidak dapat dikelola dengan baik dan profesional, yang pada gilirannya kualitas SDM nya juga kalah dengan negara tetangga sekalipun.
    Atas ketidakadilan dalam memperlakukan sektor pendidikan tersebut, maka melalui momentum reformasi 1998, mulailah ditata setahap demi setahap perbaikan sistem pendidikan nasional kita. Di awali referendum terhadap hukum tertinggi, konstitusi UUD 1945, yang menegaskan kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendidikan nasional dan membiayai pendidikan dasar (Pasal 31:1,2). Demikian pula, agar supaya ada jaminan konstitusional yang pasti terhadap penyelenggaraan tanggungjawab negara tersebut, maka konstitusi menentukan bahwa negara wajib mengalokasikan anggaran belanja negara dan daerah minimal 20% dari total anggaran (Pasal 31:4).
    Kejelasan penganggaran dalam konstitusi belumlah cukup. Era Reformasi yang membawa ide demokratisasi dan desentralisasi pada kelanjutannya juga menyentuh urusan pendidikan. Sektor pendidikan yang pada era sebelumnya dikelola oleh pusat, ketika reformasi diserahkan pengurusannya pada daerah, kecuali pendidikan tinggi. Hal ini dimaksudkan, selain untuk memenuhi tujuan desentralisasi dan demokratisasi, juga untuk mengoptimalkan pencapaian mutu pendidikan anak bangsa.
    Perpindahan urusan pendidikan dari pusat ke daerah tersebut, juga berimplikasi pada penganggaran pendidikan di daerah. Anggaran yang sebelumnya banyak tersentralisasi di pemerintah pusat, saat ini telah terbagi juga untuk membiayai belanja daerah. Hal ini sebagai konsekwensi penyerahan urusan.
Namun demikian, amat disayangkan, walaupun telah tercantum jelas anggaran minimal 20% dari APBN maupun APBD untuk sektor pendidikan (UUD 1945 jo. UU No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional), realisasi dari penganggaran itu tidak seindah konsepnya. Potret ketidaktegasan dan pelanggaran terhadap UUD 1945 oleh UU APBN nyata-nyata ditunjukkan oleh para penyelenggara negara. Tidak kurang empat kali Pasal 31:1 UUD 1945 dilanggar oleh DPR dan Presiden. Presiden berdalih bahwa UU APBN telah disetujui oleh DPR, sehingga Presiden tidak mau dipersalahkan atas pelanggaran tersebut.
    Setelah empat kali memumutuskan UU APBN melanggar UUD 1945, pada tahun 2008 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa anggaran pendidikan telah memenuhi ketentuan konstitusi. Hal ini dimungkinkan karena anggaran 20% tersebut termasuk anggaran untuk honor guru dan dosen. Ketika itu MK mengabulkan gugatan dari seorang guru SD di Makassar yang menginginkan gaji guru dimasukkan anggaran 20%.
    Pada akhirnya yang terjadi adalah, walaupun anggaran pendidikan tercatat dalam APBN dan banyak APBD telah mencapai 20%, ternyata banyak di antaranya adalah untuk belanja honor guru di daerah.
Anggaran dan Potret Infrastruktur Pendidikan
Secara umum infrastruktur sekolah saat ini sudah melampaui minimal. Namun ternyata, masih kerap dijumpai adanya sekolah atau madrasah yang kondisi fisik bangunannya tidak memadai. Atap bocor, lantai mengelupas, dinding retak, pintu tak berdaun, bangku yang sudah tambal sulam, bahkan masih juga kita jumpai di media massa tentang ambruknya kap atau dinding sekolah. Ini tentu sangat memprihatinkan. Dalam kaitan ini, tentu kita masih ingat pemberitaan di radar bojonegoro mengenai sekolah ambruk di Tuban beberapa waktu yang lalu.
    Adanya program bantuan untuk rehab sekolah, baik itu perawatan maupun pengadaan ruang kelas baru, secara nominal sebenarnya sudah cukup lumayan. Namun yang kerap terjadi adalah, proses pembangunan yang tidak cukup baik menjadikan kualitas bangunan tidak bertahan lama. Oleh karenanya, proses tender atau lelang proyek mestinya harus lebih diawasi, bilamana perlu ada evaluasi proyek-proyek infrastruktur pendidikan terkait dengan kualitas dari tahun ke tahun. Sehingga, bilamana terdapat rekanan yang tidak jujur maka tentu tidak perlu dipercaya untuk realisasi proyek tahun berikutnya.
    Hal tersebut baru merupakan sarana infrastruktur minimal saja, karena kalau kita mencermati terhadap sarana penunjang lainnya, justru akan semakin panjang kekurangan infrastruktur pendidikan kita. Berapa sekolah yang mempunyai sarana laboratorium yang memadai, berapa jumlah sekolah yang mempunyai sarana kegiatan siswa (olahraga maupun seni) yang memenuhi satandar minimal, dan termasuk pula berapa sekolah yang mempunyai perpustakaan yang representatif. 
Pengalaman penulis selama melihat-lihat infrastruktur sekolah dan madrasah di pelosok Lamongan, Bojonegoro dan Tuban, nampaknya memang masih banyak yang harus dibenahi. 
Realisasi Anggaran APBN/APBD Sektor Pendidikan
     Tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dasar masih sangat besar, lebih dari 90% sekolah dasar (SD) saja berstatus milik pemerintah. Sementara itu tekad untuk memperbaiki layanan pendidikan masih dihadapkan pada tidak meratanya kesempatan, rendahnya kualitas, serta lemahnya manajemen lembaga pendidikan. Oleh karenanya, pemerintah diminta oleh konstitusi untuk memprioritaskan anggaran 20% dari APBD/APBN. Ada kendala dalam hal ini.
    Di samping realisasi 20% anggaran pendidikan itu pun telah mengalami tarik menarik di tingkat elit pemerintahan. Secara umum daerah saat ini telah mengalokasikan dana cukup besar di bidang pendidikan. Bahkan, Dinas pendidikan merupakan SKPD (satuan kerja perangkat daerah) yang mengelola anggaran terbesar. Namun, realisasi anggaran itu pun juga ternyata masih terkonsentrasi untuk belanja pegawai (honor). Hal ini wajar terjadi karena pengawai negeri di daerah mayoritas terdiri dari para guru. 
    Padahal sebagaimana diketahui bahwa persoalan pendidikan bukan hanya pada masalah kesejahteraan guru dan dosen yang minim, namun juga banyak hal lainnya. Misalnya, infrastruktur, beasiswa guru dan murid, pengadaan buku-buku, dan lain sebagainya.
    Secara agregat, jumlah dana yang dikelola pemda provinsi dan kabupaten/kota setelah era Otonomi Daerah meningkat cukup tajam. Dana dari pusat nampak mendominasi sumber penerimaan daerah. Di level Propinsi, kontribusi PAD (pendapatan asli daerah) terhadap penerimaan propinsi berkisar sepertiga dari total penerimaan, sedangkan pada tingkat kabupaten/kota antara 10-15%. Banyak daerah mendapatkan penerimaan dari DAU sampai 70%, walaupun ada juga yang kisaran 50%.
Pengalokasian dana penerimaan daerah menjadi menjadi anggaran pendidikan tentu harus sesuai ketentuan Undang-undang, namun juga sangat terkait dengan kewenangan pemda. Terutama pengalokasian plot anggaran. Oleh karenanya antar daerah biasanya jumlahnya bervariasi.
Anggaran Pendidikan dari Masyarakat
    Walaupun pendidikan dasar sudah seharusnya bebas biaya atau gratis, namun mengingat tuntutan kebutuhan penyelenggaraan pendidikan yang tinggi, sedangkan disisi lain juga pemerintah masih mempunyai keterbatasan anggaran, maka banyak sekolah yang mendayagunakan masyarakat dan wali murid untuk ikut membiayai operasional sekolah. Baik melalui lembaga komite sekolah atau rapat-rapat wali murid. Bentuk infaq, shadaqah dan dana sosial lainnya biasanya kerap dipakai untuk menarik dana masyarakat. Seringkali dijumpai, bahwa dana masyarakat ini tak kalah besar dibanding dana pemerintah yang diberikan ke sekolah.
Dilema Anggaran
    Pendidikan di Indonesia menghadapi dilema terbatasnya anggara di satu pihak, dan tuntutan peningkatan mutu di pihak lain. Anggaran memang penting, tetapi yang l;ebih diperlukan adalah kesepakatan nasional tentang kebijakan pembangunan pendidikan yang didukung oleh kebersamaan tekad untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mempraktikkan asas keterbukaan dan efisiensi anggaran. Harus ada upaya simultan untuk mengendalikan kebocoran anggaran. Pemerintah pusat pun mestinya sudah tidak berpatokan lagi pada angka 20% sebagai standar minimal, karena saat ini 20% itu sudah termasuk anggaran honor guru. Negara lain, Malaysia maupun Singapura sudah di atas 20%. Hal ini dimaksudkan agar semakin kecil kesenjangan antara sekolah di kota dan desa, juga sekolah di Jawa dengan Luar Jawa.
Policy Pemerintah dan Parlemen
    Apabila hendak mengacu pada produk pemerintah mulai konstitusi dan UU Sisdiknas, maka sesungguhnya track pemerintah sudah baik. Hanya saja, seringkali di Indonesia ini aturan yang baik tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Seperti telah penulis uraikan di atas.
    Setiap pemerintah daerah sudah membuat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), kemudian dirinci dalam RPJMD dan Renstra tiap SKPD. Mengingat urusan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib, maka mulai RPJPD sampai RPJMD pasti sudah mengatur pembangunan di bidang pendidikan. Persoalannya sekarang adalah tinggal sejauh mana pemerintah dan parlemennya membuat kebijakan tentang pendidikan itu. 
    Peluang untuk meningkatkan kualitas pendidikan di era Otoda sungguh sangat besar. Semua tentu bergantung pada Bupati, hal ini bisa terjadi karena kepala daerah mempunyai kewenangan penuh dalam menghandel kualitas pendidikan di daerahnya. Bagiamana suatu daerah membuat suatu sistem rekruitmen guru, rekruitmen siswa, rekruitmen kepala sekolah, peningkatan profesionalisme guru, termasuk juga kewenangan menentukan sistem evaluasi.
    Jadi, di dalam era Otoda ini, bila ingin bicara tentang kualitas pendidikan dasar dan menengah maka tinggal bagaimana maunya daerah. Di dalam posisi ini, kemudian cukup relevan untuk memasukkan local content daerah masing-masing ke dalam materi pendidikan di sekolah di daerahnya.
Local Content sebagai Muatan Lokal Ku
rikulum
    Dalam pada itu, untuk mendukung visi misi daerah pula, maka sudah seharusnya ada materi muatan lokal pada masing-masing daerah. Misalnya, sekolah-sekolah di Pantura Lamongan dan Tuban sudah sewajarnya ada mata pelajaran sesuai kompetensi geografis di mana mereka berada, materi kelautan, cinta bahari, wawasan wisata, menjadi penting untuk di berikan. Hal ini mungkin berbeda dengan sekolah yang ada di wilayah Bojonegoro, barangkali di sana yang lebih sesuai adalah tentang materi pendayagunaan sumberdaya alam, minyak, gas dan seterusnya. Jadi local content sebagai life skill menjadi sangat penting, karena kalau pendidikan itu tidak ada muatan lokal maka jadinya hasil pendidikan itu seragam se Indonesia. Tradisi, budaya, karakter dan etos kerja perlu senantiasa di lanjutkan oleh anak-anak daerah. 
    Di Lamongan bahkan untuk anak SMP diharuskan sudah bisa membaca al Qur’an. Ini sangat bagus sekali, sebagaimana diketahui bahwa Lamongan adalah merupakan daerah santri. Jadi anak Lamongan mestinya harus menampakkan kualitas pengamalan agamanya.
    Mengenai kurikulum muatan lokal secara umum, semua sekolah yang mengakreditasikan diri biasanya telah mencantumkan local content dalam kurikulumnya. Namun persoalannya adalah, apakah materi local content ini sudah diterapkan sehari-hari, dan apakah telah ada rule model untuk evaluasinya. Ini nampaknya yang harus dijadikan perhatian pemegang policy pendidikan.
Kolom serupa dapat dilihat dalam Laporan Khusus Hadiknas di Radar Bojonegoro 2 Mei 2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar