Setelah melalui sejarah penyusunan yang panjang dan berliku RUU BHP akhirnya disahkan juga. Sejarah panjangnya dapat ditarik dari pengesahan UU Sisdiknas, medio 2003 lalu. Sampai saat ini berarti sudah makan waktu 5 tahunan. Cukup lama juga, bila ditinjau dari perintah pengundangannya dalam UU Sisdiknas, bahwa penyelenggara satuan pendidikan harus berbentuk badan hukum pendidikan.
Dari sudut lika-liku perumusannya melibatkan diskusi panjang, tarik menarik konsep badan hukum pendidikan, termasuk aplikasinya banyak melibatkan energi dan pemikiran birokrat, politisi dan akademisi. Naskah akademik penyusunan RUU ini khabarnya mencapai hamper 40 naskah. Semunya berasal dari berbagai latar belakang konseptor, ada yang dari pemerintah, belum lagi dari kalangan DPR di Senayan, juga yang cukup mewarnai adalah dari kalangan kampus maupun asosiasi-asosiasi lembaga pendidikan dan profesi pendidikan.
Mereka semua dengan segala konsepnya diadu dalam forum pengambilan keputusan di tingkat parlemen Senayan. Mana yang lebih realistis, lebih menampakkan konsep visi misi pendidikan nasional, dan yang lebih murah namun ideal dalam pelaksanaannya. Belum lagi banyaknya seminar-seminar yang diselenggarakan oleh banyak pihak telah mewarnai perumusan dan penggodokan RUU ini. Yang jelas, bahwa RUU BHP ini termasuk salah satu RUU mahal, biaya maupun tenaga dan waktu banyak habis untuk pengesahannya.
Permasalahan yang sering diperdebatkan adalah mengenai konsep-konsep utama sebagai mana tercantum dalam landasan moral penyelenggaraan pendidikan nasional. Yakni, beberapa hal yang menyangkut visi misi pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional, dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Negara dan masyarakat dalam pendidikan nasional. Misalnya, persoalan apakah suatu lembaga pendidikan harus berbadan hukum atau tidak, kalau berbadan hukum apa alasannya, demikian pula urgensi lembaga pendidikan harus berbadan hukum. Dari persoalan itu muncul lagi pertanyaan lanjutan, ketika berbadan hukum maka dapat diperbolehkan membuat suatu tindakan hukum tersendiri dengan pihak lain, karena otonom maka berarti dapat dimaknai pemutusan pengelolaan yang awalnya diurus dan atau dimiliki negara menjadi privatisasi. Akibatnya kalau sudah privatisasi Negara atau pemerintah tidak perlu tanggung jawab lagi pada urusan pemajuan pendidikan. Demikian pula, kekhawatiran biaya pendidikan (SPP) yang harus ditanggung sang murid dan orang tua jadi lebih mahal. Belum lagi, bahwa dengan status badan hukum itu kemudian dapat diperkenankan untuk membuat kerjasama-kerjasama dengan fihak lain semacam investasi pendidikan. Ini semua seringkali menjadi bahan demonstrasi dan penolakan pada pengesahan RUU ini.
Demikian pula, yang cenderung menolak juga dengan suatu alasan kenapa satuan pendidikan payung badan hukumnya harus disamakan. Menurut di antara penolak adalah, RUU ini tidak demokratis. Yang demokratis misalnya suatu system pendidikan nasional hendaknya dapat memberikan kebebasan tiap satuan pendidikan untuk memilih berbadan hukum mana, atau berbadan hukum dan tidak. Era reformasi, seyogyanya tidak melakukan pengaturan yang bersifat membatasi kebebasan.
Lain yang menolak, lain pula yang mendukung. Mereka yang mendukung biasanya dilandasi oleh alasan untuk perbaikan sistem dan manajemen pendidikan nasional. Sebagaimana banyak dilihat, manajemen pengelolaan pendidikan di
Terlepas dari pro kontra yang ada. Bahwa siapapun pasti sepakat dengan upaya perbaikan tata kelola pendidikan di
Bagi stake holder dan masyarakat pendidikan tinggal bagaimana melakukan advokasi maupun perjuangan dari ide-idenya untuk diusulkan pengaturannya. Bagaimanapun, hukum adalah produk konstelasi sosial politik dalam masyarakat. Demikian juga, masyarakat merupakan pemilik Negara, ia dapat menguji atau mengevaluasi dukungan politik yang diberikan pada suatu pemerintahan eksekutif dan legislative.
wah kayaknya saya kurang tertarik. mohon maaf ya.
BalasHapus