Minggu, 08 Februari 2009

Harlah NU ke 83 yang Kurang Meriah


Oleh: M. Afif Hasbullah

Nahdlatul ’Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di tanah air. Di antara para pengamat ada yang memprediksikan bahwa keanggotaan NU mencapai 60 juta orang, ada pula yang menyampaikan dugaan hingga 80 juta orang. Tidak ada sensus memang, namun jumlah itu adalah merupakan taksiran ketika Partai NU menduduki kursi pemenang nomor 3 pemilu tahun 1955. Ketika itu Partai NU mendapat raihan 18 persen suara.
Organisasi besar ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 Masehi yang bertepatan 16 Rajab 1344 Hijriyah, 83 tahun yang lalu. Sebaran pengikutnya tidak hanya di Jawa saja namun seantero Nusantara. Karena tidak ada data valid yang pasti, sebagaimana data KTP, keanggotaan NU biasanya dipantau dari realitas ritual ibadah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin. Dulu, NU memang didirikan untuk membentengi aqidah Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah dari pengaruh Islam Wahabi yang melanda di Nusantara, setidaknya inilah salah satu semanagt kebangkitan ulama ketika itu.
Sebagai Ormas keagamaan yang besar, NU ternyata banyak dianggotai dari Jawa, sebagian Sulawesi, sebagian Kalimantan, dan sebagian di Sumatera. Tetapi populasi utama ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Oleh karenanya maka tidak heran, bahwa geliat kaum nahdliyin (untuk menyebut warga NU) di luar Jawa bila dibanding dengan syiar yang ada di Jawa masih cukup jauh proporsinya. Artinya bahwa NU di Jawa lebih maju dibanding NU luar Jawa.
Hal ini mungkin diakibatkan oleh kurang solidnya NU luar Jawa, atau secara organisasi, NU kurang memberikan perhatian kepada luar Jawa. Ini bisa dibuktikan dari partai-partai yang didirikan atau difasilitasi oleh orang-orang NU amat sangat kurang bersaing dengan partai Islam lain di luar Jawa.
Walaupun demikian keadaannya, tidaklah mengurangi nilai bahwa NU merupakan organisasi besar. Walau mungkin secara sistem organisasi termasuk manajemen dakwahnya belum sebesar proporsi pengikutnya.
Sebagai Ormas besar, hendaknya NU juga dapat diperingati hari lahirnya dengan cara yang besar pula. Yakni suatu kemeriahan dan rangkaian kegiatan yang pada intinya adalah untuk menumbuhkan dan mempertahankan nilai-nilai pendiriannya. Selain itu, tentu saja sebagai wahana untuk senantiasa memperbarui strategi dakwah untuk kaum muslimin umumnya, dan Nahdliyin pada khususnya.
Peringatan hari lahir biasanya di NU diperingati dengan nama Harlah NU. Harlah ini ada yang memperingati dengan hitungan hijriyah, namun ada pula yang memperingati dengan hitungan kalender masehiyah. Kalau hitungan hijriyah dipakai, maka pada tahun 2008 ini NU telah berulang tahun yang ke 86, namun bila yang digunakan adalah kalender masehiyah, maka tahun 2008 ini NU sudah berharlah yang ke 83.
Tentu dengan harlah yang ke 83 beberapa hari lalu patutlah diucapkan Selamat Harlah yang ke 83, dengan iringan ucapan semoga NU senantiasa berkhidmah untuk agama, bangsa dan negara. 
Harlah Kurang Semarak
Sebagai organisasi besar sudah sewajarnya NU memperingati hari lahirnya dengan semarak dan gegap gempita. Mungkin bisa saja dengan cara yang sederhana demi efektifitas dan efisiensi, baik dana maupun kepedulian akan kondisi krisis. Namun, yang terjadi pada tahun 2009 ini harlah NU kurang kelihatan semarak seperti tahun sebelumnya. Di tahun 2008 harlah NU cukup semarak, ketika itu dicanangkan sebagai Harlah Semesta. Baik di tingkat pusat maupun daerah kelihatan semua bergerak menunjukkan eksistensi dan kebesaran organisasi NU. Di tingkat pusat (PBNU) digelar puncak acara di Stadion Gelora Senayan, dengan dihadiri seluruh petinggi negara dan diramaikan dengan atraksi-atraksi dari beberapa daerah di Indonesia. Ketika itu, di Jawa Timur sendiri juga sangat meriah sekali, termasuk sampai ranting.
Namun pada tahun 2009 ini, nampaknya kurang ada greget untuk memperingati harlah tersebut. Dari liputan media massa juga hampir tidak kelihatan. Kami mengamati sampai di tingkat kabupaten sekalipun, kegiatan yang merangkai dalam peringatan harlah itu sendiri kurang menonjol.
Padahal sesungguhnya potensi NU yang sedemikian besar, dengan beberapa badan otonom, lembaga dan lajnah, sudah lebih dari cukup untuk memeriahkan kegiatan tersebut. Mestinya NU tidak boleh kalah semarak dengan Ormas Islam lain yang melaksanakan peringatan harlah atau miladnya.
Coba saja, setiap organ dibawah NU masing-masing mengadakan kegiatan, pasti akan sangat ramai. Belum lagi kalau tiap organ yang mengadakan itu berdasarkan tingkatan, misalnya tingkat ranting, tingkat mwc, tingkat cabang, sampai pengurus besar. Saya yakin akan lebih semarak lagi. 
Kegiatan-kegiatan harlah itu diharapkan menyentuh persoalan-persoalan mendasar di masyarakat, misalnya yang di LP. Maarif mengadakan pelatihan atau workshop untuk guru, bisa pula Maarif mengadakan klinik sekolah bermutu dan lomba sekolah. Demikian pula yang fatayat, bisa mengadakan acara bakti sosial untuk keluarga miskin. Demikian juga untuk lembaga kesehatan di NU bisa mengadakan bakti sosial berupa pengobatan gratis dan konsultasi kesehatan.
Karena yang ditunggu oleh masyarakat pada NU sesungguhnya adalah sentuhan mereka pada kebutuhan riil masyarakat. Tidak hanya aktifitas yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan maupun perekonomian semata memang, namun sisi lain dakwah seperti halnya penataran dai maupun modin juga tidak boleh ditinggalkan.
Mari kita majukan image NU sebagai ormas keagamaan yang peduli dengan soal-soal masyarakat. Janganlah sampai image itu rusak, seakan-akan NU lebih suka politik yang pada akhirnya masyarakat terlupakan. Yang menjadi kecemasan dalam diri saya, semoga harlah yang kurang semarak itu tidaklah karena ghiroh yang menurun atau alasan tidak adanya dana. Saya yakin, di belakang sana para jamaah NU rela masih senantiasa rela mengorbankan apa saja yang mereka punya. Sekarang persoalannya tinggal bagaimana elit (pengurus) NU memanage jamiyah dan menggerakkan jamaah.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar