Oleh: M. Afif Hasbullah
Kemarin, Rabo 23 April 2008 saya di undang oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Unisda Lamongan dalam suatu acara Seminar Nasional mengenai kepemimpinan masa depan. Suatu tema yang menarik, apalagi akhir-akhir ini suhu politik regional semakin menghangat saja mengadapi pemilihan gubernur Jawa Timur. Saya amat-amati pula, audiens yang menghadiri seminar bertambah dan bertambah, bahkan katanya sampai cetak ulang sertifikat segala.
Ya, tema kepemimpinan akan selalu aktual dalam kehidupan. Karena kepemimpinan melekat pada konteks sosiologis dan dinamika dalam masyarakat. Binatang saja tidak hidup sendiri tanpa pemimpin, setiap koloni hewan akan senantiasa ada yang berkedudukan sebagai ratu, raja atau kepala kawanan. Apalagi manusia, dalam setiap jenjangnya pasti ada yang berposisi sebagai pemimpin, di tingkat keluarga ada kepala keluarga, di tingkat beberapa kepala rumah tangga ada ketua RT, di tingkatan beberapa rukun tetangga dan rukun warga ada kepala desa, kumpulan beberapa desa ada kepala kecamatan, dan seterusnya sampai himpunan yang lebih besar lagi, misalnya negara dan himpunan negara-negara.
Di atas baru kepemimpinan formal, ada beberapa macam kepemimpinan yang informal, misalnya tokoh masyarakat, kyai, pendeta, pemimpin organisasi kemasyarakatan (ormas) dan sebagainya. Mengingat kepemimpinan senantiasa melekat dalam konteks sosial, maka di mana ada masyarakat di sana ada kepemimpinan. Dalam kaidah kepemimpinan berbahasa arab dinyatakan, la dina illa bi jama’atin, wa la jama’ata illa bi imamatin, wa la imamata illa bi imamin, yang berarti tiada agama tanpa masyarakat, dan tiada masyarakat tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa pemimpin.
Mencermati keharusan keberadaan pemimpin di tengah-tengah masyarakat, maka patut dipahami pula bahwa sesungguhnya ada suatu tugas kepemimpinan yang harus diemban oleh seorang pemimpin terhadap masyarakat yang dipimpinnya itu. Tidak ada seorang pemimpin yang diberi kekuasaan oleh rakyat atau masyarakatnya tanpa ada suatu tanggung jawab yang harus diemban. Semua kepemimpinan mesti mempunyai tugas kekhalifahan yang melekat dan harus dipertanggungjawabkan, baik kepada rakyat maupun kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kekuasaan seorang pemimpin diperoleh dari mandat yang memberi kuasa, kepala desa diberi mandat oleh warga desa pemilihnya, demikian pula presiden diberikan mandat oleh para pemilihnya, baik oleh parlemen yang memilih ataupun rakyat secara langsung. Begitu pula, para raja dan para amir mendapat kuasa menjalankan tugas kepemimpinannya dari pendahulunya yang menunjuk untuk melanjutkan kepemimpinan raja atau amir yang sudah meninggal atau berhalangan tetap. Para Nabi pun mendapat kuasa langsung dari Tuhan untuk menyebarkan risalah Tuhan kepada seluruh ummat manusia.
Konsekwensi dari mandat yang dipunyai oleh seorang pemimpin kemudian berimplikasi pada kewenangan atau otoritas untuk mengatur rakyatnya menuju kepada kebahagiaan dan kesejahteraan bersama. Atas otoritas yang dipunyai seorang pemimpin ini menjadikan rakyat harus tunduk pada tata aturan yang dibuat oleh pemimpin. Dengan alasan bahwa, masyarakat atau rakyat yang telah sepakat untuk mengangkat pemimpin maka harus melepaskan sebagian haknya yang diserahkan kepada pemimpin atau penguasa. Karena bila tanpa penyerahan sebagian haknya kepada pemimpin maka tiada pernah ada pemimpin, bagaimana bias seorang pemimpin bergerak membuat aturan, menata masyarakat, menegakkan aturan yang dilanggar tanpa suatu otoritas yang berisi hak-hak yang diserahkan itu.
Oleh karena itu sesungguhnya tugas kepemimpinan adalah dalam rangka menjamin tata kelola dalam masyarakat untuk kedamaian, keadilan dan kesejahteraan. Dalam logika sederhana, tidaklah diperlukan pemimpin manakala seseorang hidup sendirian di tengah pulau, begitu bertambah jadi dua, tiga dan seterusnya pasti harus ada yang dituakan, yakni ketua suku misalnya.
Dalam konsep kepemimpinan Islam terdapat kaidah yang berbunyi Tasharruf ul imam ala rro’iyyah manutun bil maslahah, yang bermakna orientasi tugas kepemimpinan, baik tindakan maupun kebijakannya harus senantiasa seiring sejalan dengan upaya untuk kesejahteraan rakyatnya. Masyarakat yang sejahtera dalam hal ini, tentu bukan hanya sejahtera dalam table-tabel statistic sebagaimana halnya dengan data yang diungkap oleh Biro Pusat Statistik, misalnya kemiskinan menurun, tapi kenyataannya pengguran meningkat dan rakyat sulit mendapatkan bahan pokok untuk menjamin kelangsungan hidupnya .
Kesejahteraan itu sendiri mestinya bukanlah angka-angka semata, melainkan bukti yang ditunjukkan dari akses masyarakat untuk dapat terpenuhinya hajat-hajat mereka yang mendasar yakni akses untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat menopang hidupnya, harga bahan pokok yang murah, akses pendidikan yang murah, serta biaya pendidikan yang terjangkau.Sehingga untuk menentukan kesejahteraan seseorang atau masyarakat, mestinya tidak menjadi klaim dari penguasa saja, namun rakyat perlu didengar dengan persis apakah mereka sudah sejahtera atau belum. Dengan demikian, tugas kepemimpinan yang semacam itu mestinya dapat lebih dipahami oleh seluruh komponen masyarakat dari pada urusan bentuk-bentuk formal kepemimpinan yang diperdebatkan terus menerus tanpa ujung pangkal. Memperdebatkan sistem demokrasi dengan kekhalifahan misalnya, atau memperdebatkan pula apakah memakai sistem negara agama atau negara sekuler. Nampaknya bukanlah solusi yang segera dapat mengakhiri keinginan masyarakat untuk terbebas dari kemiskinan. Karena setahu penulis Islam sendiri tidak mengharuskan pembentukan sistem kepeimpinan hanya dalam model tertentu, tetapi tugas atau orientasi kepemimpinan itulah yang ditekankan dalam Islam, yaitu kesejahteraan atau maslahah amah. Wallahu A’lam.
Kemarin, Rabo 23 April 2008 saya di undang oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Unisda Lamongan dalam suatu acara Seminar Nasional mengenai kepemimpinan masa depan. Suatu tema yang menarik, apalagi akhir-akhir ini suhu politik regional semakin menghangat saja mengadapi pemilihan gubernur Jawa Timur. Saya amat-amati pula, audiens yang menghadiri seminar bertambah dan bertambah, bahkan katanya sampai cetak ulang sertifikat segala.
Ya, tema kepemimpinan akan selalu aktual dalam kehidupan. Karena kepemimpinan melekat pada konteks sosiologis dan dinamika dalam masyarakat. Binatang saja tidak hidup sendiri tanpa pemimpin, setiap koloni hewan akan senantiasa ada yang berkedudukan sebagai ratu, raja atau kepala kawanan. Apalagi manusia, dalam setiap jenjangnya pasti ada yang berposisi sebagai pemimpin, di tingkat keluarga ada kepala keluarga, di tingkat beberapa kepala rumah tangga ada ketua RT, di tingkatan beberapa rukun tetangga dan rukun warga ada kepala desa, kumpulan beberapa desa ada kepala kecamatan, dan seterusnya sampai himpunan yang lebih besar lagi, misalnya negara dan himpunan negara-negara.
Di atas baru kepemimpinan formal, ada beberapa macam kepemimpinan yang informal, misalnya tokoh masyarakat, kyai, pendeta, pemimpin organisasi kemasyarakatan (ormas) dan sebagainya. Mengingat kepemimpinan senantiasa melekat dalam konteks sosial, maka di mana ada masyarakat di sana ada kepemimpinan. Dalam kaidah kepemimpinan berbahasa arab dinyatakan, la dina illa bi jama’atin, wa la jama’ata illa bi imamatin, wa la imamata illa bi imamin, yang berarti tiada agama tanpa masyarakat, dan tiada masyarakat tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa pemimpin.
Mencermati keharusan keberadaan pemimpin di tengah-tengah masyarakat, maka patut dipahami pula bahwa sesungguhnya ada suatu tugas kepemimpinan yang harus diemban oleh seorang pemimpin terhadap masyarakat yang dipimpinnya itu. Tidak ada seorang pemimpin yang diberi kekuasaan oleh rakyat atau masyarakatnya tanpa ada suatu tanggung jawab yang harus diemban. Semua kepemimpinan mesti mempunyai tugas kekhalifahan yang melekat dan harus dipertanggungjawabkan, baik kepada rakyat maupun kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kekuasaan seorang pemimpin diperoleh dari mandat yang memberi kuasa, kepala desa diberi mandat oleh warga desa pemilihnya, demikian pula presiden diberikan mandat oleh para pemilihnya, baik oleh parlemen yang memilih ataupun rakyat secara langsung. Begitu pula, para raja dan para amir mendapat kuasa menjalankan tugas kepemimpinannya dari pendahulunya yang menunjuk untuk melanjutkan kepemimpinan raja atau amir yang sudah meninggal atau berhalangan tetap. Para Nabi pun mendapat kuasa langsung dari Tuhan untuk menyebarkan risalah Tuhan kepada seluruh ummat manusia.
Konsekwensi dari mandat yang dipunyai oleh seorang pemimpin kemudian berimplikasi pada kewenangan atau otoritas untuk mengatur rakyatnya menuju kepada kebahagiaan dan kesejahteraan bersama. Atas otoritas yang dipunyai seorang pemimpin ini menjadikan rakyat harus tunduk pada tata aturan yang dibuat oleh pemimpin. Dengan alasan bahwa, masyarakat atau rakyat yang telah sepakat untuk mengangkat pemimpin maka harus melepaskan sebagian haknya yang diserahkan kepada pemimpin atau penguasa. Karena bila tanpa penyerahan sebagian haknya kepada pemimpin maka tiada pernah ada pemimpin, bagaimana bias seorang pemimpin bergerak membuat aturan, menata masyarakat, menegakkan aturan yang dilanggar tanpa suatu otoritas yang berisi hak-hak yang diserahkan itu.
Oleh karena itu sesungguhnya tugas kepemimpinan adalah dalam rangka menjamin tata kelola dalam masyarakat untuk kedamaian, keadilan dan kesejahteraan. Dalam logika sederhana, tidaklah diperlukan pemimpin manakala seseorang hidup sendirian di tengah pulau, begitu bertambah jadi dua, tiga dan seterusnya pasti harus ada yang dituakan, yakni ketua suku misalnya.
Dalam konsep kepemimpinan Islam terdapat kaidah yang berbunyi Tasharruf ul imam ala rro’iyyah manutun bil maslahah, yang bermakna orientasi tugas kepemimpinan, baik tindakan maupun kebijakannya harus senantiasa seiring sejalan dengan upaya untuk kesejahteraan rakyatnya. Masyarakat yang sejahtera dalam hal ini, tentu bukan hanya sejahtera dalam table-tabel statistic sebagaimana halnya dengan data yang diungkap oleh Biro Pusat Statistik, misalnya kemiskinan menurun, tapi kenyataannya pengguran meningkat dan rakyat sulit mendapatkan bahan pokok untuk menjamin kelangsungan hidupnya .
Kesejahteraan itu sendiri mestinya bukanlah angka-angka semata, melainkan bukti yang ditunjukkan dari akses masyarakat untuk dapat terpenuhinya hajat-hajat mereka yang mendasar yakni akses untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat menopang hidupnya, harga bahan pokok yang murah, akses pendidikan yang murah, serta biaya pendidikan yang terjangkau.Sehingga untuk menentukan kesejahteraan seseorang atau masyarakat, mestinya tidak menjadi klaim dari penguasa saja, namun rakyat perlu didengar dengan persis apakah mereka sudah sejahtera atau belum. Dengan demikian, tugas kepemimpinan yang semacam itu mestinya dapat lebih dipahami oleh seluruh komponen masyarakat dari pada urusan bentuk-bentuk formal kepemimpinan yang diperdebatkan terus menerus tanpa ujung pangkal. Memperdebatkan sistem demokrasi dengan kekhalifahan misalnya, atau memperdebatkan pula apakah memakai sistem negara agama atau negara sekuler. Nampaknya bukanlah solusi yang segera dapat mengakhiri keinginan masyarakat untuk terbebas dari kemiskinan. Karena setahu penulis Islam sendiri tidak mengharuskan pembentukan sistem kepeimpinan hanya dalam model tertentu, tetapi tugas atau orientasi kepemimpinan itulah yang ditekankan dalam Islam, yaitu kesejahteraan atau maslahah amah. Wallahu A’lam.