Oleh: M. Afif Hasbullah[1]
Perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia berjumlah 2780 (tahun 2007), di Jawa Timur 300 perguruan tinggi (tahun 2007), dan di wilayah Lamongan, Bojonegoro dan Tuban terdapat sekira 15 perguruan tinggi di lingkungan kopertis VII, jumlah ini belum termasuk perguruan tinggi di lingkungan Kopertais IV. Suatu potensi yang sangat besar untuk dapat bahu membahu membawa kehidupan masyarakat secara lebih baik, suatu tugas yang ”mulia” namun mempunyai konsekwensi yang tidak ringan sebagai tanggung jawab mempersiapkan asset bangsa.
Ya, mahasiswa adalah asset masa depan bangsa, baik secara individual maupun kolektif. Mahasiswa juga asset bagi keluarganya, orang tuanya, saudaranya dan masyarakat lingkungannya. Sebagai asset, tentu keberadaan dan kedudukan mahasiswa sangat diperhitungkan. Dalam koridor keluarga tradisional,sangat mungkin seorang mahasiswa dianggap mengetahui akan sesuatu. Sedangkan dalam konteks kemasyarakatan, mahasiswa seringkali dimunculkan sebagai kelompok yang dapat menggerakkan perubahan atau pengembangan masyarakat. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, bahkan lebih hebat lagi, mahasiswa acapkali selalu dimajukan sebagai ”enlighter group” dan ”pusher group”, karena mahasiswa hampir tidak pernah tertinggal dari issue-issue yang mengabdi pada kesejahteraan dan keadilan untuk rakyat. Ingat, berdirinya negara republik Indonesia yang diinisiasi dengan gerakan-gerakan strategis yang dapat membuat pemerintahan kolonial Belanda sangat direpotkan. Ingat pula, penumbangan rezim Orde Lama yang juga dimotori oleh para mahasiswa, berikutnya disusul dengan beberapa aksi mahasiswa baik berupa konsepsi pemikiran, aksi face to face sebagai advokasi mengingatkan kebijakan pemerintah Orde Baru, sampai pada penggulingan kekuasaan Orde Baru yang amat bersejarah tersebut. Semuanya menunjukkan bahwa mahasiswa sangat berperan, tidak saja sampai konteks argumentasi, tetapi sampai kepada nyawa yang dipertaruhkan. Misalnya, Arif Rahman Hakim yang terbunuh ketika gerakan tritura pada ujung Orde Lama, juga beberapa aktifis yang kehilangan nyawa ketika terjadi peristiwa semanggi I dan II pada tahun 1998.
Diantara para alumni gerakan mahasiswa, yang biasa disebut aktivis tersebut, banyak yang eksis dan memberikan kontribusi yang baik bagi proses membangun negara tercinta ini, walaupun tidak semua alumni aktivis ketika menduduki jabatan dalam elit lokal maupun negara kemudian mampu menunjukkan kapasitasnya seperti gerakan-gerakan moral yang telah didengung-dengungkanketika masih menjadi mahasiswa yangsangat idealis. Dalam konteks demikian, posisi agent of change yang pada waktu-waktu lalu sangat intens untuk merubah sesuatu yang dianggap salah menjadi sesuatu yang lebih baik, menjadi bertolak belakang. Artinya ketika sudah dihadapkan dan masuk dalam struktur yang hendak diubah tadi ternyata malah ”diubah” oleh struktur yang sudah membudaya.
Dalam kondisi yang demikian, muncul pertanyaan tentang integritas moral dan karakter moral anak bangsa. Persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini, misalnya konflik pilkades, konflik pilkada, konflik pemilu, bahkan konflik-konflik di level ormas, orpol dan institusi seringkali ditimbulkan oleh arogansi berpikir dan bertindak. Seringkali apa yang menjadi persoalan kemasyarakatan kita ditimbulkan oleh sikap mengabdi pada ”kebenaran” menurut masing-masing orang dan kelompok, tanpa sekalipun mengimbangi apa yang dianggap benar tersebut dengan cara dan metode yang tepat di dalam kondisi aktual masyarakat. Akhirnya yang terjadi adalah, kesan --atau bahkan kenyataan—perebutan akses sumberdaya, yang meliputi kekuasaan, jabatan, kekayaan yang ironisnya sumberdaya tersebut tidak membawa manfaat terhadap penyelesaian derita rakyat.
Perguruan tinggi sebagai motor atau lokomotif agen perubahan, pada saat ini diharapkan dapat memberikan bekal untuk terwujudnya karakter manusia masa depan yang lebih baik, religius dan nasionalis. Kampus adalah kancah candradimuka untuk mencetak calon pemimpin dan penerus bangsa, karena itu Perguruan Tinggi selayaknya mengembangkan sistem pembinaan mahasiswa sesuai dengan karakteristik Perguruan Tinggi masing-masing dengan bercermin kepada jumlah teori dan praksis yang lazim dirujuk di Perguruan Tinggi yang sudah mantap. Dalam pendampingan mahasiswa harus muncul sikap legawa dan bersikap going low profile untuk sama-sama bermain lumpur atau memanjat pohon tanpa alas kaki apalagi dasi. Inilah setidaknya tangga awal upaya untuk membangun soft skill mahasiswa.
Terdapat beberapa poin yang dapat dijadikan pegangan dalam melakukan pendampingan kemahasiswaan atau yang lebih dikenal dengan Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa), yakni: pertama, Ormawa mesti membangun kompentensi intelektual kemampuan berpikir kritis melalui pendalaman bidang studi, diskusi, seminar, lokakarya, seni, olahraga dan kemampuan interpersonal lewat komunikasi kepemimpinan organisasi kemahasiswaan; kedua, Ormawa mesti melatih mahasiswa menguasai dan mengendalikan emosi diri, cara mengungkapkan dan menguasainya mesti dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Oleh karenanya, diperlukan interaksi antara mahasiswa senior dan junior dalam berbagai kegiatan dalam suasana saling berbagi.
Ketiga, Ormawa seyogianya menanamkan kemandirian dan kemampuan menyelesaikan masalah, sedangkan Perguruan Tinggi harus mempersiapkan lulusan yang secara soft skill siap pacu dalam lapangan kerja. Keempat, Ormawa seyogianya menghangatkan hubungan interpersonal, hal inimengingat intensitas kegiatan kemahasiswaan menumbuhkan teloransi. Kelima, Ormawa hendaknya dapat menumbuhkan identitas diri yang diinginkan mahasiswa. Keterlibatan Ormawa pada berbagai kegiatan kampus adalah indikasi pengakuan terhadap keberadaan Ormawa itu dan secara sosial mendudukannya dalam wacana kesetaraan komunitas.
Keenam, Ormawa mesti membantu mengembangkan hubungan okupasional, melalui kegiatan yang beraneka ragam, mahasiswa secara perlahan-lahan membangun komitmen terhadap minat dan kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya. Dalam kontek inilah organisasi alumni menjadi penting sebagai media untuk membangun jaringan dan karier. Ikatan alumni membangun kebanggaan, kebersamaan dan komitmen bersama alumni. Alumni tumbuh besar karena dilepas (agar dewasa) dari kampus dan seyogianya memberikan masukan kepada almamaternya kerena tahu kelemahan dan kelebihan almamaternya. Ketujuh, Ormawa seyogianya membangun integritas mahasiswa sebagai manusia dewasa dan terdidik. Integritas inilah yang membangun manusia seutuhnya, sehingga mampu menjaga keseimbangan antara nilai-nilai moral yang sejak lama diyakininya dengan nilai-nilai moral yang universal yang bermunculan di kampus. Integritas ini juga mengajari mahasiswa agar tahu diri mana hak dan tanggung jawabnya di kampus. Mahasiswa senantiasa diingatkan terhadap visi dan idealisme masa depannya, semuanya perlu pembiasaan, membudayakan suatu pola pikir dan pola tindakan menjadi suatu habits memang membutuhkan tetesan keringat semua pengelola perguruan tinggi untuk keberhasilan tujuan menciptakan manusia seutuhnya. Ketahuilah, yang paling lama dikenang dan sengat memengaruhi alumni adalah: Ormawa tempat mereka berkelompok dan berkreasi, Dosen (bukan mata kuliah yang diajarkannya), Teman mereka yang temui, Persahabatan yang di bina selama di kampus.
[1] Rektor Univ. Islam Darul ‘Ulum (Unisda) Lamongan.
Perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia berjumlah 2780 (tahun 2007), di Jawa Timur 300 perguruan tinggi (tahun 2007), dan di wilayah Lamongan, Bojonegoro dan Tuban terdapat sekira 15 perguruan tinggi di lingkungan kopertis VII, jumlah ini belum termasuk perguruan tinggi di lingkungan Kopertais IV. Suatu potensi yang sangat besar untuk dapat bahu membahu membawa kehidupan masyarakat secara lebih baik, suatu tugas yang ”mulia” namun mempunyai konsekwensi yang tidak ringan sebagai tanggung jawab mempersiapkan asset bangsa.
Ya, mahasiswa adalah asset masa depan bangsa, baik secara individual maupun kolektif. Mahasiswa juga asset bagi keluarganya, orang tuanya, saudaranya dan masyarakat lingkungannya. Sebagai asset, tentu keberadaan dan kedudukan mahasiswa sangat diperhitungkan. Dalam koridor keluarga tradisional,sangat mungkin seorang mahasiswa dianggap mengetahui akan sesuatu. Sedangkan dalam konteks kemasyarakatan, mahasiswa seringkali dimunculkan sebagai kelompok yang dapat menggerakkan perubahan atau pengembangan masyarakat. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, bahkan lebih hebat lagi, mahasiswa acapkali selalu dimajukan sebagai ”enlighter group” dan ”pusher group”, karena mahasiswa hampir tidak pernah tertinggal dari issue-issue yang mengabdi pada kesejahteraan dan keadilan untuk rakyat. Ingat, berdirinya negara republik Indonesia yang diinisiasi dengan gerakan-gerakan strategis yang dapat membuat pemerintahan kolonial Belanda sangat direpotkan. Ingat pula, penumbangan rezim Orde Lama yang juga dimotori oleh para mahasiswa, berikutnya disusul dengan beberapa aksi mahasiswa baik berupa konsepsi pemikiran, aksi face to face sebagai advokasi mengingatkan kebijakan pemerintah Orde Baru, sampai pada penggulingan kekuasaan Orde Baru yang amat bersejarah tersebut. Semuanya menunjukkan bahwa mahasiswa sangat berperan, tidak saja sampai konteks argumentasi, tetapi sampai kepada nyawa yang dipertaruhkan. Misalnya, Arif Rahman Hakim yang terbunuh ketika gerakan tritura pada ujung Orde Lama, juga beberapa aktifis yang kehilangan nyawa ketika terjadi peristiwa semanggi I dan II pada tahun 1998.
Diantara para alumni gerakan mahasiswa, yang biasa disebut aktivis tersebut, banyak yang eksis dan memberikan kontribusi yang baik bagi proses membangun negara tercinta ini, walaupun tidak semua alumni aktivis ketika menduduki jabatan dalam elit lokal maupun negara kemudian mampu menunjukkan kapasitasnya seperti gerakan-gerakan moral yang telah didengung-dengungkanketika masih menjadi mahasiswa yangsangat idealis. Dalam konteks demikian, posisi agent of change yang pada waktu-waktu lalu sangat intens untuk merubah sesuatu yang dianggap salah menjadi sesuatu yang lebih baik, menjadi bertolak belakang. Artinya ketika sudah dihadapkan dan masuk dalam struktur yang hendak diubah tadi ternyata malah ”diubah” oleh struktur yang sudah membudaya.
Dalam kondisi yang demikian, muncul pertanyaan tentang integritas moral dan karakter moral anak bangsa. Persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini, misalnya konflik pilkades, konflik pilkada, konflik pemilu, bahkan konflik-konflik di level ormas, orpol dan institusi seringkali ditimbulkan oleh arogansi berpikir dan bertindak. Seringkali apa yang menjadi persoalan kemasyarakatan kita ditimbulkan oleh sikap mengabdi pada ”kebenaran” menurut masing-masing orang dan kelompok, tanpa sekalipun mengimbangi apa yang dianggap benar tersebut dengan cara dan metode yang tepat di dalam kondisi aktual masyarakat. Akhirnya yang terjadi adalah, kesan --atau bahkan kenyataan—perebutan akses sumberdaya, yang meliputi kekuasaan, jabatan, kekayaan yang ironisnya sumberdaya tersebut tidak membawa manfaat terhadap penyelesaian derita rakyat.
Perguruan tinggi sebagai motor atau lokomotif agen perubahan, pada saat ini diharapkan dapat memberikan bekal untuk terwujudnya karakter manusia masa depan yang lebih baik, religius dan nasionalis. Kampus adalah kancah candradimuka untuk mencetak calon pemimpin dan penerus bangsa, karena itu Perguruan Tinggi selayaknya mengembangkan sistem pembinaan mahasiswa sesuai dengan karakteristik Perguruan Tinggi masing-masing dengan bercermin kepada jumlah teori dan praksis yang lazim dirujuk di Perguruan Tinggi yang sudah mantap. Dalam pendampingan mahasiswa harus muncul sikap legawa dan bersikap going low profile untuk sama-sama bermain lumpur atau memanjat pohon tanpa alas kaki apalagi dasi. Inilah setidaknya tangga awal upaya untuk membangun soft skill mahasiswa.
Terdapat beberapa poin yang dapat dijadikan pegangan dalam melakukan pendampingan kemahasiswaan atau yang lebih dikenal dengan Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa), yakni: pertama, Ormawa mesti membangun kompentensi intelektual kemampuan berpikir kritis melalui pendalaman bidang studi, diskusi, seminar, lokakarya, seni, olahraga dan kemampuan interpersonal lewat komunikasi kepemimpinan organisasi kemahasiswaan; kedua, Ormawa mesti melatih mahasiswa menguasai dan mengendalikan emosi diri, cara mengungkapkan dan menguasainya mesti dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Oleh karenanya, diperlukan interaksi antara mahasiswa senior dan junior dalam berbagai kegiatan dalam suasana saling berbagi.
Ketiga, Ormawa seyogianya menanamkan kemandirian dan kemampuan menyelesaikan masalah, sedangkan Perguruan Tinggi harus mempersiapkan lulusan yang secara soft skill siap pacu dalam lapangan kerja. Keempat, Ormawa seyogianya menghangatkan hubungan interpersonal, hal inimengingat intensitas kegiatan kemahasiswaan menumbuhkan teloransi. Kelima, Ormawa hendaknya dapat menumbuhkan identitas diri yang diinginkan mahasiswa. Keterlibatan Ormawa pada berbagai kegiatan kampus adalah indikasi pengakuan terhadap keberadaan Ormawa itu dan secara sosial mendudukannya dalam wacana kesetaraan komunitas.
Keenam, Ormawa mesti membantu mengembangkan hubungan okupasional, melalui kegiatan yang beraneka ragam, mahasiswa secara perlahan-lahan membangun komitmen terhadap minat dan kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya. Dalam kontek inilah organisasi alumni menjadi penting sebagai media untuk membangun jaringan dan karier. Ikatan alumni membangun kebanggaan, kebersamaan dan komitmen bersama alumni. Alumni tumbuh besar karena dilepas (agar dewasa) dari kampus dan seyogianya memberikan masukan kepada almamaternya kerena tahu kelemahan dan kelebihan almamaternya. Ketujuh, Ormawa seyogianya membangun integritas mahasiswa sebagai manusia dewasa dan terdidik. Integritas inilah yang membangun manusia seutuhnya, sehingga mampu menjaga keseimbangan antara nilai-nilai moral yang sejak lama diyakininya dengan nilai-nilai moral yang universal yang bermunculan di kampus. Integritas ini juga mengajari mahasiswa agar tahu diri mana hak dan tanggung jawabnya di kampus. Mahasiswa senantiasa diingatkan terhadap visi dan idealisme masa depannya, semuanya perlu pembiasaan, membudayakan suatu pola pikir dan pola tindakan menjadi suatu habits memang membutuhkan tetesan keringat semua pengelola perguruan tinggi untuk keberhasilan tujuan menciptakan manusia seutuhnya. Ketahuilah, yang paling lama dikenang dan sengat memengaruhi alumni adalah: Ormawa tempat mereka berkelompok dan berkreasi, Dosen (bukan mata kuliah yang diajarkannya), Teman mereka yang temui, Persahabatan yang di bina selama di kampus.
[1] Rektor Univ. Islam Darul ‘Ulum (Unisda) Lamongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar