Selasa, 22 April 2008

Ambiguitas TPI dalam Unas



Oleh: M. Afif Hasbullah[1]

Pemerintah telah membuat keputusan penting dalam penyelenggaraan Ujian Nasional (Unas), melalui Peraturan Mendiknas No. 34 Tahun 2007 tentang Prosedur Operasional Standar (POS) Ujian Nasional 2008 telah diatur mengenai keharusan keberadaan Tim Pemantau Independen (TPI) dalam Unas. Tujuan dari dibentuknya TPI ini adalah untuk meningkatkan kualitas Unas, termasuk kejujurannya, ketertibannya dan kelancarannya.
Tujuan dari standarisasi pendidikan nasional yakni untuk membuat proses dan hasil dari pelaksanaan pendidikan harus dapat dilakukan secara terukur, baik aturannya, sistemnya, serta pengawasannya. Diharapkan maksud dari menstandarkan pendidikan di Indonesia itu dapat terwujud.
Dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) Unas, telah dinyatakan bahwa pemantau terdiri dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ditunjuk, namun bila tidak ada ditunjuklah Perguruan Tinggi Swasta (PTS), namun bila juga tidak ada di suatu daerah, maka ditunjuk perguruan tinggi (PT) terdekat. Kehendak pembuat aturan yang menyerahkan pengkoordinasian dan pelaksanaan pada PT ini tentunya dilandasi oleh pola pikir, bahwa PT masih dapat jujur, adil, tidak memihak dan penuh integritas. Institusi akademis diharapkan terbebas dari pengaruh-pengaruh pihak yang berkepentingan untuk jalannya proses Unas, tentunya melalui cara-cara yang negative.
Belum lagi TPI yang dianggotai tidak saja oleh para dosen, widyaiswara, anggota organisasi profesi pendidikan non guru, dan para mahasiswa tingkat akhir itu diharapkan dapat betul-betul sebagai pemantau yang taat dan patuh pada aturan yang berlaku maupun SOP yang ada.
Kalau melihat SOP Unas, maka beberapa aturan yang sama dari tahun ke tahun semakin dilengkapi, diharapkan peluang untuk terjadinya kecurangan dapat diminimalisir kembali. Tahun 2008 ini saja ada beberapa macam pengetatan: misalnya, pertama, pemantau boleh menegur kepada pelaku dan disampaikan pada kepala penyelenggara (kepala sekolah); kedua, TPI di tingkat sekolah/madrasah ikut menandatangani berita acara serah terima bahan ujian dan atau Lembar Jawaban Komputer (LJK); ketiga, penandatanganan berita acara LJK oleh TPI dilakukan ketika lembar jawaban telah dimasukkan dalam amplop yang telah terlak (segel) dari pengawas ruang.
Keberdaan TPI saja sudah membuat gusar atau minimal berpengaruh pada suasana ketegangan ujian, belum lagi kalau tata aturan sebagaimana dalam SOP itu dilaksanakan 100%, apa tidak semakin tegang suasana ujiannya. Inilah yang kemudian menjadi bahan perbincangan dan harapan-harapan yang disandarkan pada TPI. Satu sisi tentunya pihak sekolah tidak menginginkan sekolahnya diawasi atau dipantau terlampau ketat, di sisi lain TPI harus menjalankan aturan sebagaimana dalam POS.
Pihak sekolah tentu ingin anak didiknya lulus semua, pelaksanaan dan hasilnya memuaskan. Bayangkan, kalau suatu sekolah ada yang tidak lulus (cukup ada, bukan banyak) maka reputasi sekolah tersebut pasti jatuh, tidak dipercaya lagi oleh para orang tua. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan Unas pihak sekolah mau tidak mau harus membuat suatu grand design untuk kesuksesan ujian anak didiknya. Ya, biasa saja grand design for success itu melelui jalur positif, misalnya dengan menambah jam belajar, membuat les-les, sering mengadakan try out, maupun upaya spiritual dengan mengadakan sholat hajat atau doa-doa agar menambah semangat dan ketenangan semua pihak di sekolah. Karena ada pula yang membuat model-model design negative untuk suksesnya Unas di sekolahnya, misalnya dengan berkolusi atau bermufakat untuk curang. Mungkin saja permufakatan itu terjadi antar pengawas, tapi TPI dan polisi yang mengawasi diam saja. Tentu hal ini, mungkin saja terjadi, walaupun tidak dapat diketahui.
Pada posisi lain, PT juga akan kehilangan banyak serapan ketika Unas tidak berhasil dengan baik, khususnya banyak peserta Unas yang tidak lolos. Kursi PT jelas akan berkurang. Di samping itu, citra PT dihadapan sekolah juga mesti harus terkesan baik, artinya dapat mengemban keinginan para siswa maupun pengelola sekolah walaupun harus tetap bersandarkan SOP dalam menjalankan tugasnya.
Secara umum sekalipun, model Unas yang sudah berjalan beberapa tahun ini juga masih menimbulkan pro dan kontra, ada yang setuju dan masih banyak pula yang menolak. Belum lagi standar penilaian kelulusan selalu naik, dan juga penambahan mata uji yang diumumkan sangat mendadak sekali. Ini semua kemudian menyumbang keprihatinan, baik bagi siswa, guru, maupun orang tua. Bahkan siapa pun saja secara umum akan tidak tega bila melihat anak-anak yang tidak lulus.
Problem psikologis seperti itu, mau tidak mau ada dalam benak setiap orang. Kadang-kadang sudah berusaha menetralisir, tapi kadang-kadang juga masih suka muncul. Hal ini menjadikan munculnya ambiguitas dalam pelaksanaan Unas, apakah dari pihak penyelenggara, TPI, maupun kepolisian. Secara sederhana kadang-kadang mereka juga berpikir, “wah anak saya juga peserta ujian, kalau terlalu tegang, lulus gak ya anak saya”. Demikian pula ada teman yang berseloroh, “untuk mendapat gelar sarjana saja mudah, gak pakai unas-unasan, apalagi dua tahun dapat ijasah seperti kelas-kelas jauh itu. Lha ini, anak-anak sekolah untuk lulus aja harus berjuang hidup mati”, demikian kata seorang teman di Dinas Pendidikan Lamongan.Untuk itu, apa yang harus dilakukan oleh koordinator TPI yakni PT setempat?, mau tidak mau harus memahami, mengayomi, dan bertindak secara arif, tegas namun bijaksana. Maka, komunikasi antara TPI dengan penyelenggara mestinya dapat dilakukan seintensif mungkin untuk sama-sama mempersiapkan agar pelaksanaan unas dapat berjalan sukses. Baik sukses dalam pelaksanaan maupun hasil.
Suatu tindakan negative atau pun juga yang terlalu over tidak lah layak untuk ditampakkan. Misalnya, pihak sekolah sudah tahu bahwa kecurangan itu dilarang, kenapa juga masih memaksakan untuk berupaya meluluskan anaknya dengan cara yang sesungguhnya meruntuhkan moral seorang guru yang sedari awal mengajari jujur dalam ujian. Kemudian, pihak TPI juga mestinya tidak terlalu over acting, sampai masuk kelas segala, menegur dengan kasar, atau tidak mau menandatangani berita acara dengan alasan kecurangan atau tidak sesuai POS. Padahal tugas TPI itu hanya tiga M, yakni Melihat, Mencatat, dan Melaporkan. Walaupun saat ini ada satu M lagi yakni Menegur, tapi semestinya penerapan M yang terakhir harus dengan cara yang arif. Wallahu A’lam.
[1] Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar