Oleh: M. Afif Hasbullah
Kata demos dan kratos atau kratein menyusun suatu bentuk kata demokrasi yang kemudian terdefinisikan dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government from the people, by the people dan for the people). Di dalam praktik politik dan ketatanegaraan, Indonesia selalu mengusung label demokrasi dalam sistem penyelenggaraan Negara. Pada awal kemerdekaan mengusung demokrasi liberal, masa Orde Lama ada demokrasi terpimpin, pada Orde Baru ada demokrasi Pancasila dan pada era reformasi diusung demokrasi semata, tanpa kata sifat.
Namun sesungguhnya apa yang hendak dicari dengan berbagai macam demokrasi itu?, ada baiknya lebih dahulu kita meninjau unsur-unsur pembentuk demokrasi itu, sekedar contoh menurut International Commision of Jurist dalam sidangnya di Bangkok pada tahun 1969 dinyatakan bahwa unsur pembangun demokrasi adalah: keberadaan perlindungan konstitusionil yang memungkinkan rakyat mendapatkan hak-haknya dan prosedur mendapatkan haknya; kedua, lembaga peradilan yang bebas, independen dan tidak memihak; keempat, pemilihan umum yang bebas; kelima, kebebasan dalam mengeluarkan pendapat; keenam, kebebasan untuk berserikat dan berkumpul; dan ketujuh, adanya pendidikan mengenai civic education.
Kalau beberapa unsur di atas dapat dilaksanakan, maka diharapkan melalui demokrasi penyelenggaraan Negara akan dapat dilaksanakan dengan damai dan aman. Dalam arti, demokrasi hendaknya dapat menjamin suatu model suksesi kepemimpinan yang damai, dapat dinikmatinya suatu solusi permasalahan yang berkeadilan, dihargainya suatu kondisi pluralisme, berkembangnya toleransi dalam hidup bernegara dan bermasyarakat, serta diakomodasinya suara rakyat dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Dengan demikian, mestinya demokrasi adalah ketersatu-paduan antara rakyat dengan pemerintahnya, warga dengan pemimpinnya. Karena sesungguhnya antara rakyat dengan pemimpin bukanlah terpisah, namun integral dalam satu kesatuan warga bangsa itu sendiri.
Inilah kemudian, di masa lalu yang senantiasa menjadi perdebatan mengenai apakah pemimpin itu harus terpisah dengan rakyat atau satu kesatuan. Dalam sejarah tata Negara Indonesia, terdapat the founding father yang menginginkan hak asasi manusia (HAM) tidak dimasukkan secara eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), misalnya Soekarno dan Soepomo. Mereka berdua berargumentasi, bahwa dengan Negara Indonesia yang integralistik ini tidak diperlukan pemasukan HAM dalam UUD 1945 secara vulgar. Karena tidak ada pemisahan antara pemimpin dengan rakyat, selain itu pemimpin dalam Negara integralistik tidak mungkin mengkhianati rakyatnya.
Pandangan tersebut, agak berbeda dengan Hatta dan Yamin yang lebih bersikap hati-hati dalam memberikan batasan dan kekuasaan pada seorang pemimpin. Menurut mereka berdua, pemimpin harus jelas mana hak dan kewajibannya, demikian pula hak rakyat itu apa saja. Sehingga di kemudian hari diharapkan dapat diminimalisir suatu penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pimpinan Negara.
Apa yang terjadi di atas, kemudian membuat dinamika warna demokrasi yang berbeda-beda. Taruhlah demokrasi terpimpin pada masa Orde Lama, walaupun demokrasi itu dilakukan oleh presiden sebagai pemimpin pengambil kebijakan, nampaknya juga dilator belakangi oleh maksud untuk melindungi dan memakmurkan rakyat. Walaupun kemudian, menjadi suatu ekses-ekses pada pihak-pihak tertentu, bahwa ini tidak demokratis.
Lantas kemudian, demokrasi yang pada masa lalu banyak melalui sistem perwakilan, artinya rakyat hanya memilih perwakilan di DPR maupun DPRD dirasakan tidak memuaskan. Di antaranya juga karena yang menentukan eksekutif yang terpilih adalah perwakilan yang di DPR dan DPRD itu. Rakyat ingin memilih sendiri pemimpin mereka.
Reformasi yang datang sebagai upaya untuk merubah kepada kondisi yang lebih baik dalam prosedur maupun hakekatnya, mengganti otoritas pemilihan eksekutif dari dipilih oleh DPR atau DPRD menjadi dipilih langsung oleh rakyat.
Kelangsungan pemilihan langsung ini, ternyata juga disambut dengan rasa salut oleh sebagian rakyat. Namun, pada sisi lainnya ternyata substansi dari demokrasi itu sendiri belum cukup dirasakan manfaatnya. Entah itu kerusuhan setelah pilkada, rasa tidak terima yang cukup mewarnai dari pihak yang kalah, maupun dendam yang terus menerus dipelihara, sehingga semua ini menyisakan ketegangan, keterbelahan, dan perpecahan di tengah-tengah masyarakat.
Praktik demokrasi era reformasi ternyata juga masih menyisakan masalah. Dengan masalah tersebut, kemudian ada pihak yang berusaha untuk mengusulkan kembalinya pemilihan eksekutif (khususnya pemilihan kepala daerah) kepada DPRD seperti masa Orde Baru. Beberapa waktu lalu Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi bahwa sebaiknya model pemilihan kepala daerah (pilkada) kembali ke pola lama. Pilkada langsung sekarang ini, menurut tokoh Islam nasional itu, terlalu membutuhkan dana besar, menjadi ancaman disintegrasi bangsa, dan telah banyak mengorbankan warga Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga menambahkan bahwa keterlibatan langsung rakyat dalam pesta demokrasi tersebut cukup dilaksanakan dalam agenda pemilu untuk DPR, DPRD, DPD, presiden, dan wakil presiden saja.
Betulkah ini merupakan suatu solusi terbaik?
Menurut hemat saya, mereka yang usul seperti itu seperti anak kecil yang minta permen warna merah, dikasih. Tapi kemudian dimakan ternyata rasanya tidak enak, sehingga minta warna biru, demikian pula ketika dikunyah rasanya juga gak enak. Lantas, ingin kembali pada permen warna merah yang tadi. Ini sering kita dengar, ketika ada sosok rakyat yang mengidolakan soekarno, “ah, tidak seperti dipimpin Soekarno”. Demikian pula dengan kerinduan sebagian rakyat pada figur kekuasaan Soeharto dan yang lainnya. Sehingga, program kenegaraan kita menjadi maju-mundur, maju-mundur, dan maju-mundur.
Kesiapan berdemokrasi menjadi prioritas utama. Kalau kesiapannya tidak ada dapat dipastikan prosedur dan sistem seperti apapun senantiasa menyisakan persoalan. Ada beberapa hal yang menyebabkan dugaan kekurangsiapan sementara elemen warga bangsa ini dalam mengawal demokrasi:
1. mental yang muncul baru berkuasa, sehingga kalaupun kalah tidak siap, tidak rela menerima kekalahan.
2. politik masih menjadi bidang pekerjaan, bukan pengabdian dan perjuangan.
3. masih memakai emosi dan fanatisme kelompok dalam memandang kalah dan menang.
4. masih kerap memakai cara-cara inkonstitusional dalam memperoleh kekuasaan, misalnya suap, money politics dan sebagainya.
5. perilaku korupsi yang pada faktanya masih seiring berjalan dengan pelaksanaan sistem demokrasi.
6. sistem demokrasi yang kurang konsisten, misalnya perubahan aturan suatu undang-undang dengan tujuan semata-mata untuk mendukung kepentingan kelompoknya bukan kepentingan rakyat dan keluhuran demokrasi.
Walaupun poin-poin di atas belumlah mencakup keseluruhan kekurang siapan berdemokrasi, namun setidaknya dapat menunjukkan pada kita mengenai plus minus demokrasi yang sedang kitya laksanakan. Sehingga dengan ini semua, dapat dipetakan mana hal-hal yang harus diperbaiki di masa yang akan datang.
Terus terang, dengan usulan kembalinya pilkada ke pola lama, saya ragu dengan ketulusan pihak-pihak yang mendukungnya. Saya khawatir apa yang diusulkan itu karena pihak yang mengusulkan sering kalah, belum lagi ketidaksiapan kelompoknya untuk berdemokrasi secara fair, dan mungkin juga kekurangmampuan pihak pengusul untuk memanaj dan mengarahkan warganya dalam berpolitik. Sehingga kocar-kacir dan terpecah-pecah.
Mestinya yang perlu dilakukan adalah penguatan simpul-simpul organisasi masyarakat, termasuk tapi tidak terbatas pada NU dan Muhammadiyah. Sejauh mana dapat mengarahkan dan mensolidkan massanya agar dapat berpolitik secara dewasa, santun dan bermartabat serta tunduk dan patuh pada organisasi. Demikian pula kepada partai politik (parpol) hendaknya dapat mensolidkan konstituennya dengan cara-cara yang mendewasakan rakyat sebagai insan demokrasi. Cara-cara yang elegan dan jujur perlu dilakukan oleh parpol dalam merebut simpati rakyat, pencitraan mestinya dilakukan dengan contoh para wakil rakyat dalam berpolitik, dan juga harus ditunjukkan dengan kinerja yang secara nyata ditujukan pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.Jadi, yang harus dilakukan adalah: pertama, para pemimpin harus jadi contoh pemimpin yang baik, jujur, dan adil; kedua, dewasakanlah civic education para anggota organisasi dan para konstituen parpol menjadi cerdas berpolitik. Sekian.
Kata demos dan kratos atau kratein menyusun suatu bentuk kata demokrasi yang kemudian terdefinisikan dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government from the people, by the people dan for the people). Di dalam praktik politik dan ketatanegaraan, Indonesia selalu mengusung label demokrasi dalam sistem penyelenggaraan Negara. Pada awal kemerdekaan mengusung demokrasi liberal, masa Orde Lama ada demokrasi terpimpin, pada Orde Baru ada demokrasi Pancasila dan pada era reformasi diusung demokrasi semata, tanpa kata sifat.
Namun sesungguhnya apa yang hendak dicari dengan berbagai macam demokrasi itu?, ada baiknya lebih dahulu kita meninjau unsur-unsur pembentuk demokrasi itu, sekedar contoh menurut International Commision of Jurist dalam sidangnya di Bangkok pada tahun 1969 dinyatakan bahwa unsur pembangun demokrasi adalah: keberadaan perlindungan konstitusionil yang memungkinkan rakyat mendapatkan hak-haknya dan prosedur mendapatkan haknya; kedua, lembaga peradilan yang bebas, independen dan tidak memihak; keempat, pemilihan umum yang bebas; kelima, kebebasan dalam mengeluarkan pendapat; keenam, kebebasan untuk berserikat dan berkumpul; dan ketujuh, adanya pendidikan mengenai civic education.
Kalau beberapa unsur di atas dapat dilaksanakan, maka diharapkan melalui demokrasi penyelenggaraan Negara akan dapat dilaksanakan dengan damai dan aman. Dalam arti, demokrasi hendaknya dapat menjamin suatu model suksesi kepemimpinan yang damai, dapat dinikmatinya suatu solusi permasalahan yang berkeadilan, dihargainya suatu kondisi pluralisme, berkembangnya toleransi dalam hidup bernegara dan bermasyarakat, serta diakomodasinya suara rakyat dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Dengan demikian, mestinya demokrasi adalah ketersatu-paduan antara rakyat dengan pemerintahnya, warga dengan pemimpinnya. Karena sesungguhnya antara rakyat dengan pemimpin bukanlah terpisah, namun integral dalam satu kesatuan warga bangsa itu sendiri.
Inilah kemudian, di masa lalu yang senantiasa menjadi perdebatan mengenai apakah pemimpin itu harus terpisah dengan rakyat atau satu kesatuan. Dalam sejarah tata Negara Indonesia, terdapat the founding father yang menginginkan hak asasi manusia (HAM) tidak dimasukkan secara eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), misalnya Soekarno dan Soepomo. Mereka berdua berargumentasi, bahwa dengan Negara Indonesia yang integralistik ini tidak diperlukan pemasukan HAM dalam UUD 1945 secara vulgar. Karena tidak ada pemisahan antara pemimpin dengan rakyat, selain itu pemimpin dalam Negara integralistik tidak mungkin mengkhianati rakyatnya.
Pandangan tersebut, agak berbeda dengan Hatta dan Yamin yang lebih bersikap hati-hati dalam memberikan batasan dan kekuasaan pada seorang pemimpin. Menurut mereka berdua, pemimpin harus jelas mana hak dan kewajibannya, demikian pula hak rakyat itu apa saja. Sehingga di kemudian hari diharapkan dapat diminimalisir suatu penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pimpinan Negara.
Apa yang terjadi di atas, kemudian membuat dinamika warna demokrasi yang berbeda-beda. Taruhlah demokrasi terpimpin pada masa Orde Lama, walaupun demokrasi itu dilakukan oleh presiden sebagai pemimpin pengambil kebijakan, nampaknya juga dilator belakangi oleh maksud untuk melindungi dan memakmurkan rakyat. Walaupun kemudian, menjadi suatu ekses-ekses pada pihak-pihak tertentu, bahwa ini tidak demokratis.
Lantas kemudian, demokrasi yang pada masa lalu banyak melalui sistem perwakilan, artinya rakyat hanya memilih perwakilan di DPR maupun DPRD dirasakan tidak memuaskan. Di antaranya juga karena yang menentukan eksekutif yang terpilih adalah perwakilan yang di DPR dan DPRD itu. Rakyat ingin memilih sendiri pemimpin mereka.
Reformasi yang datang sebagai upaya untuk merubah kepada kondisi yang lebih baik dalam prosedur maupun hakekatnya, mengganti otoritas pemilihan eksekutif dari dipilih oleh DPR atau DPRD menjadi dipilih langsung oleh rakyat.
Kelangsungan pemilihan langsung ini, ternyata juga disambut dengan rasa salut oleh sebagian rakyat. Namun, pada sisi lainnya ternyata substansi dari demokrasi itu sendiri belum cukup dirasakan manfaatnya. Entah itu kerusuhan setelah pilkada, rasa tidak terima yang cukup mewarnai dari pihak yang kalah, maupun dendam yang terus menerus dipelihara, sehingga semua ini menyisakan ketegangan, keterbelahan, dan perpecahan di tengah-tengah masyarakat.
Praktik demokrasi era reformasi ternyata juga masih menyisakan masalah. Dengan masalah tersebut, kemudian ada pihak yang berusaha untuk mengusulkan kembalinya pemilihan eksekutif (khususnya pemilihan kepala daerah) kepada DPRD seperti masa Orde Baru. Beberapa waktu lalu Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi bahwa sebaiknya model pemilihan kepala daerah (pilkada) kembali ke pola lama. Pilkada langsung sekarang ini, menurut tokoh Islam nasional itu, terlalu membutuhkan dana besar, menjadi ancaman disintegrasi bangsa, dan telah banyak mengorbankan warga Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga menambahkan bahwa keterlibatan langsung rakyat dalam pesta demokrasi tersebut cukup dilaksanakan dalam agenda pemilu untuk DPR, DPRD, DPD, presiden, dan wakil presiden saja.
Betulkah ini merupakan suatu solusi terbaik?
Menurut hemat saya, mereka yang usul seperti itu seperti anak kecil yang minta permen warna merah, dikasih. Tapi kemudian dimakan ternyata rasanya tidak enak, sehingga minta warna biru, demikian pula ketika dikunyah rasanya juga gak enak. Lantas, ingin kembali pada permen warna merah yang tadi. Ini sering kita dengar, ketika ada sosok rakyat yang mengidolakan soekarno, “ah, tidak seperti dipimpin Soekarno”. Demikian pula dengan kerinduan sebagian rakyat pada figur kekuasaan Soeharto dan yang lainnya. Sehingga, program kenegaraan kita menjadi maju-mundur, maju-mundur, dan maju-mundur.
Kesiapan berdemokrasi menjadi prioritas utama. Kalau kesiapannya tidak ada dapat dipastikan prosedur dan sistem seperti apapun senantiasa menyisakan persoalan. Ada beberapa hal yang menyebabkan dugaan kekurangsiapan sementara elemen warga bangsa ini dalam mengawal demokrasi:
1. mental yang muncul baru berkuasa, sehingga kalaupun kalah tidak siap, tidak rela menerima kekalahan.
2. politik masih menjadi bidang pekerjaan, bukan pengabdian dan perjuangan.
3. masih memakai emosi dan fanatisme kelompok dalam memandang kalah dan menang.
4. masih kerap memakai cara-cara inkonstitusional dalam memperoleh kekuasaan, misalnya suap, money politics dan sebagainya.
5. perilaku korupsi yang pada faktanya masih seiring berjalan dengan pelaksanaan sistem demokrasi.
6. sistem demokrasi yang kurang konsisten, misalnya perubahan aturan suatu undang-undang dengan tujuan semata-mata untuk mendukung kepentingan kelompoknya bukan kepentingan rakyat dan keluhuran demokrasi.
Walaupun poin-poin di atas belumlah mencakup keseluruhan kekurang siapan berdemokrasi, namun setidaknya dapat menunjukkan pada kita mengenai plus minus demokrasi yang sedang kitya laksanakan. Sehingga dengan ini semua, dapat dipetakan mana hal-hal yang harus diperbaiki di masa yang akan datang.
Terus terang, dengan usulan kembalinya pilkada ke pola lama, saya ragu dengan ketulusan pihak-pihak yang mendukungnya. Saya khawatir apa yang diusulkan itu karena pihak yang mengusulkan sering kalah, belum lagi ketidaksiapan kelompoknya untuk berdemokrasi secara fair, dan mungkin juga kekurangmampuan pihak pengusul untuk memanaj dan mengarahkan warganya dalam berpolitik. Sehingga kocar-kacir dan terpecah-pecah.
Mestinya yang perlu dilakukan adalah penguatan simpul-simpul organisasi masyarakat, termasuk tapi tidak terbatas pada NU dan Muhammadiyah. Sejauh mana dapat mengarahkan dan mensolidkan massanya agar dapat berpolitik secara dewasa, santun dan bermartabat serta tunduk dan patuh pada organisasi. Demikian pula kepada partai politik (parpol) hendaknya dapat mensolidkan konstituennya dengan cara-cara yang mendewasakan rakyat sebagai insan demokrasi. Cara-cara yang elegan dan jujur perlu dilakukan oleh parpol dalam merebut simpati rakyat, pencitraan mestinya dilakukan dengan contoh para wakil rakyat dalam berpolitik, dan juga harus ditunjukkan dengan kinerja yang secara nyata ditujukan pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.Jadi, yang harus dilakukan adalah: pertama, para pemimpin harus jadi contoh pemimpin yang baik, jujur, dan adil; kedua, dewasakanlah civic education para anggota organisasi dan para konstituen parpol menjadi cerdas berpolitik. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar