Disunting Kembali oleh M. Afif Hasbullah
Secara hakiki pesantren merupakan lembaga (institusi) yang memiliki banyak fungsi, fungsi dimaksud adalah sebagai lembaga pendidikan, keagamaan, kemasyarakatan, pengkaderan dan dakwah. Melalui fungsi-fungsi tersebut, maka pesantren memiliki posisi strategis dan fungsional bagi agama khususnya dan bangsa pada umumnya.
Pada dataran strategis pesantren mengemban amanat sbagai penjaga dan pengembang nilai-nilai dasar keagamaan sepanjang kesejarahan Islam di Indonesia, di samping itu juga merupakan pengemban autentisitas keilmuan dalam Islam. Pada dataran fungsional, pesantren dapat mengemban dinamika-dinamika sosial masyarakat di sekelilingnya, baik melalui pendidikan formal, non formal maupun aktivitas lain yang intinya mencerdas-akhlaqkan masyarakat. Menunjuk posisi demikian, maka tidak salah jika pesantren sering dikatakan oleh banyak orang sebagai benteng sekaligus gerbang pengembangan masa depan Islam.
Menurut penelitian para ahlul ilmi, pesantren bermula dari pengajian-pengajian rutin kelompok kecil baik yang dilaksanakan di rumah maupun surau. Dari kelompok kecil tersebut, karena memiliki daya tarik yang khas, maka masyarakat yang jauh dari lingkungan pengajian tersebut datang dan menginap di tempat tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan itu, dibangunlah sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan keagamaan tersebut. Untuk itu pengajian demikian pada akhirnya disebut pondok pesantren.
Pesantren Matholi’ul Anwar didirikan pada 18 Januari 1914 oleh Kyai Abdul Wahab. Pada saat itu belum terwujud pesantren sebagaimana pengertian pesantren sekarang yaitu ada kyai, tempat ibadah, asrama santri dan sarana belajar, namun baru berupa pengajian-pengajian rutin yang menggunakan rumah kyai sebagai tempatnya. Kyai Abdul Wahab kembali ke Rahmatullah pada 12 Maret 1925.
Setelah founding father tersebut meninggal dunia, maka pengajian tersebut di lanjutkan oleh putra-putra menantu beliau yaitu Kyai Abdullah, Kyai Rusman dan Kyai Dja’far. Kepengasuhan beliau bertiga tersebut berjalan hingga tahun 1935.
Adapun semenjak 17 Juli 1935 kepengasuhan pesantren digantikan oleh K.H. Soefyan Abdul Wahab, yang ketika itu beliau baru berumur 18 tahun dan sedang giat-giatnya mengenyam ilmu di berbagai pesantren di sekitar kabupaten Lamongan, termasuk di pesantren Langitan. Dalam usia yang masih sangat belia tersebut, beliau mengasuh pesantren sekaligus juga mondar-mandir menimba ilmu kepada beberapa Kyai dengan pengajian sorogan. Hal ini dapat dipahami bahwa tanggung jawab beliau secara pribadi dan sosial sangat besar dan seimbang.
Usia 18 tahun untuk memimpin jama’ah pada era dewasa ini nampaknya terlalu muda. Namun kala itu, kharisma dan kepribadian beliau sebagai putra Kyai memang layak untuk menyandang derajad tersebut, demikian pula tanggung jawab yang sedemikian besar dalam memimpin ummat harus diiringi dengan kemampuan yang baik dalam penguasaan keilmuan maupun kepemimpinan.
Untuk itulah saudara-saudara ipar beliau yang lebih tua dan alim memberikan kepercayaan dan tanggung jawab penerusan dan kepengasuhan pesantren kepada beliau. Sebagai perwujudan tanggung jawab tersebut, beliau menerima amanat dengan niat semata-mata pengabdian dan penghambaan kepada Allah, di samping itu tak henti-hentinya beliau terus meningkatkan belajarnya.
Semangat mencari ilmu seperti yang dipraktekkan Kyai Soefyan sudah sepatutnya ditiru dan diteladani oleh para santri, pelajar, dan ummat, misalnya kebiasaan Kyai Soefyan yang selalu istiqomah muthola’ah kitab-kitab hingga larut malam. Kebiasaan ini masih beliau lakukan hingga sehari menjelang wafat beliau. Beliau juga selalu terbuka sekaligus selektif terhadap arus informasi. Sikap tawazun, tawassuth, dan i’tidal menjadi bagian dari kepribadian beliau. Beliau juga mempunyai kebiasaan membaca buku-buku umum atau aktual berikut berlangganan majalah dan koran yang kala itu bagi lingkungan pesantren yang masih dirasa asing. Tidak mengherankan, dengan kebiasaan demikian menjadikan wawasan beliau sangat maju dan tidak tertinggal oleh arus informasi yang relevan dengan pengembangan keislaman, kemasyarakatan dan kondisi sosial-politik.
Kepribadian dan akhlaq beliau juga patut dijadikan sebagi teladan bagi kita. Beliau selalu menghargai pendapat orang lain, mendengarkan dua kali lebih banyak dari pada berbicara, mengasihi kaum lemah, nada suaranya teduh dan menyejukkan hati bagi orang lain, ketika berceramah tidak menjadikan orang lain tersinggung, mengasihi orang miskin dan menghormati orang kaya. Hal ini nampak dari kebiasaan beliau jika di undang oleh seseorang dalam hari dan jam yang hampir bersamaan, yang satu miskin dan yang lain kaya, maka beliau datang dulu kepada orang miskin tersebut, baru kemudian kepada orang kaya.
Dalam bidang sosial kemasyarakatan dan kepemerintahan, pribadi beliau pantas teladani ummat Islam. Misalnya dalam kesibukan mengajar di madrasah, mengaji di pesantren dan ceramah di tengah-tengah masyarakat, beliau masih menyempatkan menjadi Ketua Tanfidliyah NU Karanggeneng, hingga beliau pernah mewakili Partai NU duduk sebagai anggota DPRD Tingkat II Lamongan. Demikian juga dalam hal pemerintahan, beliau juga pernah menjadi anggota tim P-7 Jawa Timur. Demikian ini didorong oleh motivasi beliau untuk mewujudkan fungsi dan posisi pesantren secara maksimal. Pada saat yang sama, berbagai kesibukan dalam urusan masyarakat dan pemerintah tersebut tidak menjadikan pengurangan perhatian beliau pada pengembangan pesantren dan lembaga-lembaga yang ada di dalamnya.
Semenjak kepengasuhan pesantren dipegang oleh Kyai Soefyan, maka diadakan pengembangan-pengembangan pesantren yang sangat bermakna dan berdampak sampai dewasa ini. Pengembangan dimaksud bukan hanya pengajian level kampung seperti pada masa kepengasuhan sebelumnya, namun pengembangan yang menjadikan suatu bibit pesantren menjadi pesantren yang sesungguhnya. Pada masa beliau inilah telah lengkap unsur kyai, langgar (musholla) dan asrama (pondokan), hal ini terjadi pada 1 Januari 1949. Perkembangan ini tentu tidak terlepas dari ilmu, kharisma dan kepribadian beliau sebagai sosok pengasuh.
Dengan didirikannya pesantren, respon masyarakat sangat positif. Pertumbuhan yang postif itu dapat dilihat, kalau pada awal mula santrinya hanya 3 orang, maka dua tahun berikutnya sudah menjadi 60 orang. Dengan banyaknya murid atau santri tersebut, maka beliau mendirikan sekolah formal, yaitu tepatnya pada tahun 1951. Sekolah yang dibuka tersebut adalah Madrasah Ibtida’iyah. Pendirian madrasah tersebut tidak terlepas dari dorongan dan saran para Kyai dan pejabat kabupaten Lamongan, misalnya dari K.H. Mustaqim dan Bapak Susminto, seorang Hakim di Lamongan kala itu.
Pengembangan demi pengembangan semakin pesat, dan mendapat respon positif dari masyarakat, sehingga santrinya semakin pesat. Untuk itu perlu disediakan sarana belajar yang memadai pula, bukan hanya pendidikan tingkat dasar (MI), namun juga pendidikan formal yang lebih tinggi yaitu Madrasah Tsanawiyah (dahulu MMP) yang didirikan tahun 1959 dan Madrasah Aliyah (dahulu MMA) yang didirikan sepuluh tahun kemudian yakni pada tahun 1969.
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran, bahwa semangat beliau dalam mencerdas-akhlaqkan generasi muda sangat tinggi atau dapat dilihat dari cara beliau berfikir yang menampakkan progresifitas ide jauh ke depan. Sebagai salah satu buktinya, semenjak tahun 1979 beliau sudah mempunyai ide untuk mendirikan lembaga pendidikan lanjutan pertama dan atas yang bersifat umum (SMP dan SMA), perguruan tinggi, rumah sakit, dan penerbitan. Biar pun pendidikan lembaga umum tersebut belum didirikan hingga beliau kembali ke Rahmatulloh, namun tebaran ide itu masih senantiasa beredar dalam komunitas penerusnya untuk diambil sebagai program pengembangan pesantren pada masa sekarang dan ke depan.
Hingga 20 Januari 1983 saat K.H. Soefyan Abdul Wahab pulang ke Rahmatullah, jumlah murid dan santri Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar dengan berbagai unit yang ada yaitu Madrasah Banin Banat, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah sudah cukup lumayan yaitu lebih 1250 orang. Namun, tidak berarti bahwa dengan wafatnya beliau pengembangan pesantren menjadi stagnan, justru semangat dan cita-cita beliau senantiasa dilanjutkan dengan memegang mata rantai penghargaan terhadap tradisi yang ada dengan terus berusaha mengaktualisasikan, inovatif dan akomodatif terhadap perkembangan baru di sekelilingnya.
Setelah meninggalnya beliau, maka kepemimpinan dilanjutkan oleh K.H. Mahsuli Effendi dan putra-putra menantu beliau antara lain Drs. K.H. Masykuri Shodiq, S.H., Drs. K.H. Moh.Taufiq dan Drs. K.H. Saifuddin Zuhri, MA. Selain itu, tentu saja peran dari Ibu Nyai Hj. Masfiyah Soefyan sebagai orang tua yang sangat bijaksana dan pengayom yang baik, serta putri-putri beliau yakni Ny. Hj. Shofiyah Mahsuli, Ny. Dra. Hj. Siti Zaenab Anwar, Ny. Dra. Hj. Siti Djamilah Masykuri, Ny. Hj. Dra. Siti Aisyah Taufiq, dan Ny. Dra. Hj. Khotimah Suryani Saifuddin juga cukup mewarnai dinamika kepemimpinan yang ada. Hampir tidak ada keputusan penting yang di ambil lembaga ini tanpa melalui ijin, restu dan istikharah Ibu Nyai Hj. Masfiyah Soefyan.
Formasi kepemimpinan tersebut berkurang sejak tahun 2001, yakni ketika dua putra menantu beliau Kyai Masykuri dan Kyai Saifuddin dipanggil ke Haribaan Yang Maha Kuasa pada tanggal 26 Juni 2001, atau tiga hari sebelum pelaksanaan Haul Kyai Soefyan yang ke XVIII.
Adapun pendidikan formal yang ada hingga dewasa ini, bukan hanya Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah (sebagaimana ketika Kyai Soefyan wafat). Namun dengan pertolongan dan ridlo dari Alloh SWT, ide beliau untuk mendirikan sekolah umum telah terwujud, yaitu SMP NU berdiri tahun 1985, SMEA NU 1 berdiri tahun 1986 dan Universitas Islam Darul ‘Ulum (Unisda) berdiri tahun 1989 dengan delapan Fakultas dan lima belas program studi strata satu dan dua, yaitu Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Bahasa Indonesia, Pendidikan Matematika, Ilmu Hukum, Manajemen, Akuntansi, Agronomi, Teknik Sipil, Teknik Arsitektur, Pendidikan Agama Islam, Ilmu Politik, Ilmu Pemerintahan, Matematika, Magister Pendidikan Islam, dan Magister Pendidikan. Adapun jumlah santri, siswa dan mahasiswa, hingga dewasa ini adalah 4.679 orang.
Demikian sekilas pondok pesantren dan riwayat singkat Al maghfurlah Kyai Soefyan berikut ide-ide dan pandangan beliau yang kiranya patut dijadikan sebagai teladan bagi pengabdian kita pada Alloh SWT. Teriring harapan, semoga seluruh amal, ide, perjuangan dan ibadah beliau menjadi amal sholeh di hadapan Alloh SWT dan kita yang hidup dapat meneruskan dan mengembangkannya. Amin Yarobbal Alamin.
Wallohul Musta’an Ila Sabilirrohman
Wallohul Muwafiq Ila Aqwamitthoriq
Wasalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Disusun di Lamongan 22 Agustus 1996 (Haul ke XIII)
Diedit kembali di Lamongan 06 April 2008 (Haul ke XXV)
Secara hakiki pesantren merupakan lembaga (institusi) yang memiliki banyak fungsi, fungsi dimaksud adalah sebagai lembaga pendidikan, keagamaan, kemasyarakatan, pengkaderan dan dakwah. Melalui fungsi-fungsi tersebut, maka pesantren memiliki posisi strategis dan fungsional bagi agama khususnya dan bangsa pada umumnya.
Pada dataran strategis pesantren mengemban amanat sbagai penjaga dan pengembang nilai-nilai dasar keagamaan sepanjang kesejarahan Islam di Indonesia, di samping itu juga merupakan pengemban autentisitas keilmuan dalam Islam. Pada dataran fungsional, pesantren dapat mengemban dinamika-dinamika sosial masyarakat di sekelilingnya, baik melalui pendidikan formal, non formal maupun aktivitas lain yang intinya mencerdas-akhlaqkan masyarakat. Menunjuk posisi demikian, maka tidak salah jika pesantren sering dikatakan oleh banyak orang sebagai benteng sekaligus gerbang pengembangan masa depan Islam.
Menurut penelitian para ahlul ilmi, pesantren bermula dari pengajian-pengajian rutin kelompok kecil baik yang dilaksanakan di rumah maupun surau. Dari kelompok kecil tersebut, karena memiliki daya tarik yang khas, maka masyarakat yang jauh dari lingkungan pengajian tersebut datang dan menginap di tempat tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan itu, dibangunlah sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan keagamaan tersebut. Untuk itu pengajian demikian pada akhirnya disebut pondok pesantren.
Pesantren Matholi’ul Anwar didirikan pada 18 Januari 1914 oleh Kyai Abdul Wahab. Pada saat itu belum terwujud pesantren sebagaimana pengertian pesantren sekarang yaitu ada kyai, tempat ibadah, asrama santri dan sarana belajar, namun baru berupa pengajian-pengajian rutin yang menggunakan rumah kyai sebagai tempatnya. Kyai Abdul Wahab kembali ke Rahmatullah pada 12 Maret 1925.
Setelah founding father tersebut meninggal dunia, maka pengajian tersebut di lanjutkan oleh putra-putra menantu beliau yaitu Kyai Abdullah, Kyai Rusman dan Kyai Dja’far. Kepengasuhan beliau bertiga tersebut berjalan hingga tahun 1935.
Adapun semenjak 17 Juli 1935 kepengasuhan pesantren digantikan oleh K.H. Soefyan Abdul Wahab, yang ketika itu beliau baru berumur 18 tahun dan sedang giat-giatnya mengenyam ilmu di berbagai pesantren di sekitar kabupaten Lamongan, termasuk di pesantren Langitan. Dalam usia yang masih sangat belia tersebut, beliau mengasuh pesantren sekaligus juga mondar-mandir menimba ilmu kepada beberapa Kyai dengan pengajian sorogan. Hal ini dapat dipahami bahwa tanggung jawab beliau secara pribadi dan sosial sangat besar dan seimbang.
Usia 18 tahun untuk memimpin jama’ah pada era dewasa ini nampaknya terlalu muda. Namun kala itu, kharisma dan kepribadian beliau sebagai putra Kyai memang layak untuk menyandang derajad tersebut, demikian pula tanggung jawab yang sedemikian besar dalam memimpin ummat harus diiringi dengan kemampuan yang baik dalam penguasaan keilmuan maupun kepemimpinan.
Untuk itulah saudara-saudara ipar beliau yang lebih tua dan alim memberikan kepercayaan dan tanggung jawab penerusan dan kepengasuhan pesantren kepada beliau. Sebagai perwujudan tanggung jawab tersebut, beliau menerima amanat dengan niat semata-mata pengabdian dan penghambaan kepada Allah, di samping itu tak henti-hentinya beliau terus meningkatkan belajarnya.
Semangat mencari ilmu seperti yang dipraktekkan Kyai Soefyan sudah sepatutnya ditiru dan diteladani oleh para santri, pelajar, dan ummat, misalnya kebiasaan Kyai Soefyan yang selalu istiqomah muthola’ah kitab-kitab hingga larut malam. Kebiasaan ini masih beliau lakukan hingga sehari menjelang wafat beliau. Beliau juga selalu terbuka sekaligus selektif terhadap arus informasi. Sikap tawazun, tawassuth, dan i’tidal menjadi bagian dari kepribadian beliau. Beliau juga mempunyai kebiasaan membaca buku-buku umum atau aktual berikut berlangganan majalah dan koran yang kala itu bagi lingkungan pesantren yang masih dirasa asing. Tidak mengherankan, dengan kebiasaan demikian menjadikan wawasan beliau sangat maju dan tidak tertinggal oleh arus informasi yang relevan dengan pengembangan keislaman, kemasyarakatan dan kondisi sosial-politik.
Kepribadian dan akhlaq beliau juga patut dijadikan sebagi teladan bagi kita. Beliau selalu menghargai pendapat orang lain, mendengarkan dua kali lebih banyak dari pada berbicara, mengasihi kaum lemah, nada suaranya teduh dan menyejukkan hati bagi orang lain, ketika berceramah tidak menjadikan orang lain tersinggung, mengasihi orang miskin dan menghormati orang kaya. Hal ini nampak dari kebiasaan beliau jika di undang oleh seseorang dalam hari dan jam yang hampir bersamaan, yang satu miskin dan yang lain kaya, maka beliau datang dulu kepada orang miskin tersebut, baru kemudian kepada orang kaya.
Dalam bidang sosial kemasyarakatan dan kepemerintahan, pribadi beliau pantas teladani ummat Islam. Misalnya dalam kesibukan mengajar di madrasah, mengaji di pesantren dan ceramah di tengah-tengah masyarakat, beliau masih menyempatkan menjadi Ketua Tanfidliyah NU Karanggeneng, hingga beliau pernah mewakili Partai NU duduk sebagai anggota DPRD Tingkat II Lamongan. Demikian juga dalam hal pemerintahan, beliau juga pernah menjadi anggota tim P-7 Jawa Timur. Demikian ini didorong oleh motivasi beliau untuk mewujudkan fungsi dan posisi pesantren secara maksimal. Pada saat yang sama, berbagai kesibukan dalam urusan masyarakat dan pemerintah tersebut tidak menjadikan pengurangan perhatian beliau pada pengembangan pesantren dan lembaga-lembaga yang ada di dalamnya.
Semenjak kepengasuhan pesantren dipegang oleh Kyai Soefyan, maka diadakan pengembangan-pengembangan pesantren yang sangat bermakna dan berdampak sampai dewasa ini. Pengembangan dimaksud bukan hanya pengajian level kampung seperti pada masa kepengasuhan sebelumnya, namun pengembangan yang menjadikan suatu bibit pesantren menjadi pesantren yang sesungguhnya. Pada masa beliau inilah telah lengkap unsur kyai, langgar (musholla) dan asrama (pondokan), hal ini terjadi pada 1 Januari 1949. Perkembangan ini tentu tidak terlepas dari ilmu, kharisma dan kepribadian beliau sebagai sosok pengasuh.
Dengan didirikannya pesantren, respon masyarakat sangat positif. Pertumbuhan yang postif itu dapat dilihat, kalau pada awal mula santrinya hanya 3 orang, maka dua tahun berikutnya sudah menjadi 60 orang. Dengan banyaknya murid atau santri tersebut, maka beliau mendirikan sekolah formal, yaitu tepatnya pada tahun 1951. Sekolah yang dibuka tersebut adalah Madrasah Ibtida’iyah. Pendirian madrasah tersebut tidak terlepas dari dorongan dan saran para Kyai dan pejabat kabupaten Lamongan, misalnya dari K.H. Mustaqim dan Bapak Susminto, seorang Hakim di Lamongan kala itu.
Pengembangan demi pengembangan semakin pesat, dan mendapat respon positif dari masyarakat, sehingga santrinya semakin pesat. Untuk itu perlu disediakan sarana belajar yang memadai pula, bukan hanya pendidikan tingkat dasar (MI), namun juga pendidikan formal yang lebih tinggi yaitu Madrasah Tsanawiyah (dahulu MMP) yang didirikan tahun 1959 dan Madrasah Aliyah (dahulu MMA) yang didirikan sepuluh tahun kemudian yakni pada tahun 1969.
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran, bahwa semangat beliau dalam mencerdas-akhlaqkan generasi muda sangat tinggi atau dapat dilihat dari cara beliau berfikir yang menampakkan progresifitas ide jauh ke depan. Sebagai salah satu buktinya, semenjak tahun 1979 beliau sudah mempunyai ide untuk mendirikan lembaga pendidikan lanjutan pertama dan atas yang bersifat umum (SMP dan SMA), perguruan tinggi, rumah sakit, dan penerbitan. Biar pun pendidikan lembaga umum tersebut belum didirikan hingga beliau kembali ke Rahmatulloh, namun tebaran ide itu masih senantiasa beredar dalam komunitas penerusnya untuk diambil sebagai program pengembangan pesantren pada masa sekarang dan ke depan.
Hingga 20 Januari 1983 saat K.H. Soefyan Abdul Wahab pulang ke Rahmatullah, jumlah murid dan santri Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar dengan berbagai unit yang ada yaitu Madrasah Banin Banat, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah sudah cukup lumayan yaitu lebih 1250 orang. Namun, tidak berarti bahwa dengan wafatnya beliau pengembangan pesantren menjadi stagnan, justru semangat dan cita-cita beliau senantiasa dilanjutkan dengan memegang mata rantai penghargaan terhadap tradisi yang ada dengan terus berusaha mengaktualisasikan, inovatif dan akomodatif terhadap perkembangan baru di sekelilingnya.
Setelah meninggalnya beliau, maka kepemimpinan dilanjutkan oleh K.H. Mahsuli Effendi dan putra-putra menantu beliau antara lain Drs. K.H. Masykuri Shodiq, S.H., Drs. K.H. Moh.Taufiq dan Drs. K.H. Saifuddin Zuhri, MA. Selain itu, tentu saja peran dari Ibu Nyai Hj. Masfiyah Soefyan sebagai orang tua yang sangat bijaksana dan pengayom yang baik, serta putri-putri beliau yakni Ny. Hj. Shofiyah Mahsuli, Ny. Dra. Hj. Siti Zaenab Anwar, Ny. Dra. Hj. Siti Djamilah Masykuri, Ny. Hj. Dra. Siti Aisyah Taufiq, dan Ny. Dra. Hj. Khotimah Suryani Saifuddin juga cukup mewarnai dinamika kepemimpinan yang ada. Hampir tidak ada keputusan penting yang di ambil lembaga ini tanpa melalui ijin, restu dan istikharah Ibu Nyai Hj. Masfiyah Soefyan.
Formasi kepemimpinan tersebut berkurang sejak tahun 2001, yakni ketika dua putra menantu beliau Kyai Masykuri dan Kyai Saifuddin dipanggil ke Haribaan Yang Maha Kuasa pada tanggal 26 Juni 2001, atau tiga hari sebelum pelaksanaan Haul Kyai Soefyan yang ke XVIII.
Adapun pendidikan formal yang ada hingga dewasa ini, bukan hanya Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah (sebagaimana ketika Kyai Soefyan wafat). Namun dengan pertolongan dan ridlo dari Alloh SWT, ide beliau untuk mendirikan sekolah umum telah terwujud, yaitu SMP NU berdiri tahun 1985, SMEA NU 1 berdiri tahun 1986 dan Universitas Islam Darul ‘Ulum (Unisda) berdiri tahun 1989 dengan delapan Fakultas dan lima belas program studi strata satu dan dua, yaitu Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Bahasa Indonesia, Pendidikan Matematika, Ilmu Hukum, Manajemen, Akuntansi, Agronomi, Teknik Sipil, Teknik Arsitektur, Pendidikan Agama Islam, Ilmu Politik, Ilmu Pemerintahan, Matematika, Magister Pendidikan Islam, dan Magister Pendidikan. Adapun jumlah santri, siswa dan mahasiswa, hingga dewasa ini adalah 4.679 orang.
Demikian sekilas pondok pesantren dan riwayat singkat Al maghfurlah Kyai Soefyan berikut ide-ide dan pandangan beliau yang kiranya patut dijadikan sebagai teladan bagi pengabdian kita pada Alloh SWT. Teriring harapan, semoga seluruh amal, ide, perjuangan dan ibadah beliau menjadi amal sholeh di hadapan Alloh SWT dan kita yang hidup dapat meneruskan dan mengembangkannya. Amin Yarobbal Alamin.
Wallohul Musta’an Ila Sabilirrohman
Wallohul Muwafiq Ila Aqwamitthoriq
Wasalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Disusun di Lamongan 22 Agustus 1996 (Haul ke XIII)
Diedit kembali di Lamongan 06 April 2008 (Haul ke XXV)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar