Jumat, 28 Maret 2008

Catatan Perjalanan Ke Yogyakarta


Saya mendapat undangan dari Dewan Pengurus Pusat (DPP) Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (UII) untuk mengikuti dan menyaksikan peresmian Gedung Baru sebagai kantor DPP IKA UII di Jalan Kaliurang Yogyakarta pada tanggal 21 Maret 2008. Ketika saya mendapatkan undangan yang ditandatangani oleh Pak Abdul Jamil, aku langsung konfirmasi bahwa insyaallah aku bisa hadir, rencananya sama istri.
Semenjak menerima undangan dari UII itu,memang saya tidak melakukan persiapankhusus,karena pada hari-hari itu tidakada jadwal lain yangmengharuskan saya membatalkan suatu acara atau kegiatan yang sudah terjadwal sebelumnya. Lagi pula,pada agenda undangan UII itu dapat saya manfaatkan sebagai upaya menjalin tali silaturrahim dengan sesame alumni UII dan para dosennya. Bukankah silaturrahim dapat memperluas rezeki, memanjangkan umur?, ya setidaknya suatu hubungan yang positif yang selama ini saya bangun tidak boleh terputus demikian saja. Tidak ada yang namanya bekas sahabat, teman, atau guru.
Saya berangkat ke Jogja hari Kamis, 20 Maret 2008, sekira jam 15.00 Wib naik mobil Xenia punya mertua, soalnya mobil Blazer lagi rusak belum sempat memperbaiki, sedangkan mobil Kijang entah suratnya ketlingsut kemana, sudah dicari kemana-mana gak ketemu-ketemu juga. Padahal perjalanan jauh Lamongan-Jogja plus melewati jalan-jalan berlobang dan bekas banjir, mestinya lebih mantap kalau naik mobil yang sasisnya agak tinggi dan panjang, lebih balance lah.
Saya berangkat berdua saja sama istri, anak-anak tidak diajak, lagi pula istriku memang ingin berdua saja sama saya. Soalnya kalau ajak anak,maka harus ngajak pula dua pembantu yang sehari-hari mengasuh. Intinya kami gak mau repot ceritanya. Tapi dalam hal begini aku salut sama anakku, karena tidak rewel dan repot kalau ditinggal pergi. Jangankan ke Jogja yang sehari dua hari, ditinggal naik haji saja tidak merepotkan mbahnya dan kedua ortunya beribadah.
Semenjak berangkat aku minta istriku yang pegang kemudi, soalnya beberapa hari ini keadaan fisikku kurang sehat, biasa musim flu dan batuk, lagi pula pengaruh obat tidurku belum juga hilang. Tapi di tengah perjalanan, lama-lama gak enak juga kalau tidak pegang kemudi, akhirnya ketika sampai Padangan seraya rasa kantukku hilang, aku ganti pegang kemudi.
Sepanjang perjalanan diiringi hujan, kadang gerimis-kadang deras. Yang harus ekstra waspada adalah ketika melewati jalanan yang berlobang-lobang. Kalau mau dipetakan jalanan Lamongan-Jogja mempunyai beberapa kondisi: pertama, jalanan nasional antara Lamongan-Babat masih dalam kualitas lumayan, walaupun di antara Pucuk-Moropelang jalanan sangat bergelombang namun lobang-lobang jalan tidak ada; kedua, jalan propinsi antara Babat-Bojonegoro sangat berfariasi tingkat kerusakannya, namun rata-rata bergelombang plus terdapat lobang di sana sini, jadi tiap pengemudi mesti waspada; ketiga, antara Bojonegoro-Padangan-Ngawi kondisi jalan propinsi ini amat-amat membahayakan, apalagi disaat hujan,karena kalau tidak hati-hati mobil bisa selip, ban pecah,atau perangkat roda-roda kendaraan bisa patah. Ini seringkali terjadi pada pengemudi-pengemudi kendaraan yang kurang hati-hati melewati jalanan tersebut, truk-truk pun biasa as nya patah. Demikian pula pengendara motor, saya kasihan sekali ketika dalam perjalanan kemarin terdapat pengendara motor kecelakaan, mungkin karena terkena lobang jalan sehingga tidak dapat mengendalikan kemudinya.
Keempat, jalan nasional antara Ngawi-Sragen, jalanan ini ada beberapa tempat yang berlobang dan bergelombang, padahal mestinya level jalan nasional yang ramai dan berkecepatan tinggi tersebut sangat berbahaya bila kondisi jalannya tidak save. Jalanan berlobang pun ditemukan juga di antara hutan-hutan di daerah Mantingan.
Kelima, jalan antara Solo-Jogja, ternyata secara umum kondisi jalan di sini masih lebih baik dari pada jalanan yang sebelumnya,paling tidak lobang banyak ditemui di sekitar Palur Solo, nah yang bikin mengganggu adalah keberadaan tong-tong yang dicat biru-putih ditengah-tengah jalan Palur-Solo itu. Saya hampir saja menabrak tong yang mungkin dimaksudkan oleh DLLAJ sama Polisi setempat sebagai median jalan tersebut. Saya lihat ada beberapa tong yang bergeser dari tempatnya dan kondisi tong lainnya penyok-penyok seperti habis terkena tendangan mobil. Sangat-sangat membahayakan, mestinya kalau mau bikin median jalan ya yang permanen dan diberi rambu-rambu yang jelas dibaca baik kala siang hari yang terang maupun kala malam yang hujan.
Mencermati kondisi jalan Jawa yang sedemikian parah itu, saya tidak habis pikir salahnya di mana. Maksud saya, apa salah perencanaan, salah penganggaran (anggaran kurang), salah pembangunan atau kontruksi, salah pemakaian, salah perawatan atau salah apa lagi?. Negara ini saya kira sudah mempunyai perangkat aparatur yang lengkap dan sistem pembangunan yang jelas, namun kenapa hal-hal tersebut masih saja terjadi? Dinas yang ngurusi jalan ada, dinas yang ngurusi pemakai jalan ada, dinas yang ngurusi rancang bangun ada, dan juga ada wakil rakyat yang mengesahkan tentang laik tidaknya suatu proyek dilaksanakan. Mengenai jalan, ada baiknya baca opini Edy Sujatmiko berikut.
[1]
Sampai di Jogja jam 21.30, perut lapar dan badan capek. Maka saya cari makan malam dulu sambil sekalian cari hotel, putar-putar kota Jogja gak ada masakan yang cocok dengan selera saat itu. Akhirnya makan seafood depan GOR UNY di Karangmalang. Sambil cari-cari makan tadi juga cari kamar hotel, ternyata semua penuh, mulai yang bintang lima sekelas Hyatt sampai yang losmen biasa sekalipun semua full tamu. Saya ingat telepon maupun tanya cs beberapa hotel, misalnya Jogja Plaza, Novotel, Santika, Malioboro Inn, Quality, Jayakarta, sampai yang hotel melati semacam Wisanti, LPP, Ros Inn, Ishiro, Cakrakembang dan banyak sekali yang lain tapi semua sama kamar penuh. Aku jadi surprise banget dan sekaligus baru menyadari kalau hari itu adalah hari pertama long weekend, wisatawan membanjir ke Jogja sampai kamar ludes semua.
Jadilah malam itu tidak dapat kamar, dus tidak ada tempat untuk istirahat dengan nyaman sehabis perjalanan jauh. Akhirnya opsi terakhir kami berdua nginap di tempat Hafidh, adikku yang mahasiswa S2 di MSI UGM. Ya gimana lagi harus ditiduri saja kamarnya. Mau saya tidur bertiga satu kamar, tapi adikku milih tidur tempat temannya. Tapi walau tidur berdua, ternyata gak bisa tidur, soalnya badan masih sangat gerah dan capek.
Esok hari sekira jam 08.30 saya bergegas ke kampus UII Kaliurang untuk menghadiri peresmian kantor IKA UII. Di sana alhamdulillah dapat ketemu Prof. Mahfud MD (Calon Hakim Konstitusi), Prof. Zaini Dahlan (mantan Rektor UII jaman saya sekarang Imam Besar UII), Prof. Suandi Hamid (Rektor UII Sekarang), Dr. Djawahir Thontowi (Ketua IKA dan mantan Pembimbing skripsiku), dan dosen serta senior lain.
Acara peresmian diawali sambutan panitia, ketua IKA, rektor, dan badan wakaf.baru setelah itu dilanjutkan penandatangananprasasti dan peninjauan gedung. Ternyata belum selesai semua, karena lantai atas masih finishing. Belum lagi masih ada rencana pengembangan bangunan, termasuk bikin wisma untuk tamu. Khusus wisma tamu, saya kira merupakan program yang bagus karena disamping mempunyai nilai bisnis juga dapat dimanfaatkan untuk kemudahan atau kelancaran kegiatan-kegiatan di UII yang melibatkan orang luar.Tidak repot-repot cari hotel kira-kira.
Yang saya lihat dari perkembangan UII yang dipaparkan rektor maupun pejabat UII lainnya adalah adanya visi untuk mengangkat UII segera sebagai World Class University, universitas kelas dunia. Sebagai universitas tertua di Indonesia (berdiri Juni 1945, hampir setua republik) dan PTS Jogja dengan jumlah mahasiswa terbesar, UII cukup pantas untuk itu. Profesornya saja ada 8, Doktornya 54 orang, Masternya 273 orang, dan sarjana 54 orang.Yang memang masih disayangkan jumlah tenaga sarjana yang masih banyak. Namun kabarnya 2010 UII harus free dari dosen bergelar S1. Mantaplah.
Kata Rektor UII, jumlah calon mahasiswa pun sebanyak 8500an, sedang yang diterima hanya 3500. Luar biasa, dengan peminat yang sedemikian banyak serta yang diterima sedikit, menjadikan proses seleksi semakin ketat. Untungnya, UII akan mendapatkan mahasiswa yang ideal, baik dari sisi kecerdasan maupun dari sisi daya dukung atau kepastian menyelesaikan studi dari mahasiswanya. Bibit unggul kira-kira.
UII saat ini memang masih menjadi leader bagi perguruan tinggi swasta, setidak-tidaknya perguruan tinggi Islam. Hal demikian wajar karena UII merupakan perguruan tinggi tertua di Indonesia, ia berdiri sebelum kemerdekaan, kalau tidak salah juni atau juli 1945. Didirikan oleh tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia, di antaranya Moh. Hatta, Ki Bagus Hadikusuma, Abdul Wahid Hasyim, Kahar Mudzakkir dan lain-lain. Artinya usia UII sudah lebih tua dari republik ini. Wajar kalau sudah sedemikian perkembangannya.
Keberadaan UII yang sedemikian rupa, hendaknya dapat dijadikan benchmark untuk perguruan tinggi Islam lainnya. Tentunya bukan dengan melihat usia UII yang lebih tua, namun bagaimana pengembangan perguruan tinggi Islam yang lebih baik dengan mengacu capaian UII saat ini.
Unisda sebagai perguruan tinggi swasta Islam di daerah, harus mau belajar dari semua perguruan tinggi yang lebih maju, apa yang mereka capai dan rencanakan, Unisda harus membandingkan dan merencanakan langkah-langkah untuk juga semakin memperbaiki diri. Dengan suatu langkah yang konsisten, istiqomah, dinamis dan rasa percaya yang tinggi antar seluruh sivitas bukan tidak mungkin dalam 10 atau 15 tahun mendatang sudah sama atau paling tidak mendekati perguruan tinggi yang diacu.
Habis acara di UII, malam harinya para alumni di undang oleh Rektor UII untuk jamuan makan malam di Restoran Ny. Suharti. Kata Pak rektor, kalau di Santika sudah biasa, tapi kalau di Suharti adalah nostalgia, bahwa dulu sebagai mahasiswa akan sangat tidak mungkin kalau makan di Ny. Suharti.
Besok harinya yakni Sabtu 22 Maret 2009, sebelum pulang jalan-jalan dulu cari buku di Shopping Center Malioboro, ternyata buku yang kucari yaitu Fungsi Sosial Yayasan karangan Chatamarrasjid tidak ketemu, padahal sudah saya cari di puluhan toko buku yang ada di Shopping Center maupun Gramedia dan Social Agency. Para penjaga toko itu, kenal saja tidak dengan judul bukunya. Mungkin kapan-kapan langsung hunting ke penerbit saja. Tapi walau tidak dapat buku utama yang dicari, masih dapatlah buku-buku sekunder. Buku yang di dapat juga beberapa tidak ada di Surabaya.
Habis cari buku, agenda lain cari pesanan orang rumah, kaos cap jogja alias dagadu, sandal dan baju khas Jogja. Kemudian baru cari oleh-oleh makanan, ini yang menarik dan baru tahu, ternyata kalau musim liburan panjang yang namanya Bakpia Pathok merupakan oleh-oleh yang paling banyak dicari bahkan diborong. Sehingga ketika saya cari-cari Bakpia di semua Toko ternyata habis alias ludes. Bakpia baru di dapat ketika mau pulang di Jalan Solo, itu pun sebenarnya istri saya sudah memendam dalam-dalam untuk tidak beli Bakpia. Jadi ketika mau bayar oleh-oleh selain Bakpia, ternyata kiriman Bakpia datang, jadi dapat dibayangkan mereka yang ngantri dari tadi langsung rebutan, termasuk termasuk istri saya. Dan dapat.
Sebelum pulang, acaranya makan siang, coba-coba resoran baru, ternyata enak lho. Jadi makan siang di Gejayan, tepatnya Warung Iga Bakar. Dagingnya empuk, wangi dan sambelnya ekstra pedaass. Cocok untuk lidah Jawa Timur yang suka cabe. Kapan-kapan bisa di ulang.
Perjalanan pulang saya lanjutkan, mampir Solo dulu untuk hunting roti Mandarin yang empuk itu. Lagi-lagi persediaan roti itu ludes, hebatnya banyak tamu yang saking mendemnya sama roti mandarin sampai rela antri di depan kitchennya toko. Mungkin bisa sampai 2-3 jam antri menunggu stok baru. Gila, gila. Tapi, gak dapat roti tak apalah. Istriku kemudian isi tas belanjaannya dengan roti-roti Mandarin yang lain. Lumayan buat camilan di mobil.
Perut lapar, seperti biasa kemudian saya dan istri makan Ayam Goreng Kudus di Bojonegoro kira-kira jam 20.00. Enak sekali, ya ayamnya yang empuk dan wangi, sambelnya pas, trus ditambah lalapan dan pete. Pasti ueenak. Sampai rumah kira-kira jam 21.30, lumayan capeklah. Soalnya selama di Jogja gak bisa tidur nyenyak.
[1] Jalan yang rusak diyakini sementara pihak adalah biang dari ketidaklancaran distribusi barang, komoditas bahkan manusia itu sendiri. Kerugian tidak hanya waktu tempuh, tetapi juga menjalar kepada persoalan perekonomian secara umum.
Bisa dibayangkan rusaknya jalan Pantai Utara (Pantura) Jawa yang mengemuka di awal tahun ini, ditambah lagi kemacetan akibat jalanan macet karena banjir dimana-mana, telah menghambat pasokan aneka komoditas pertanian dan pangan dari daerah-daerah di Jawa ke Jakarta dan sekitarnya.
Harga-harga aneka komoditas, kemudian tak terelakkan
naik dengan bilangan prosentase yang tinggi sehingga membuat para ibu rumah tangga menjerit karena harus mengeluarkan biaya ekstra. Singkat kata, diakui atau tidak, perekonomian rumah tangga terganggu.
Jika ekonomi rumah tangga keluarga terganggu, masyarakat juga akan terkena dan ujung-ujungnya adalah negara juga terganggu.
Tentu, hal ini harus dicegah dan seperti biasa, para pejabat terkait di republik ini kemudian menggelar rapat-rapat teknis dan koordinasi untuk mencari jalan keluar dari persoalan yang nota bene
rutin tersebut.
Adalah Menteri Pekerjaaan Umum Djoko Kirmanto yang menyulut sebuah pernyataan keras bahwa jalan nasional tidak akan pernah bagus jika beban muatan barang tak terkendali.
"Saat ini masih 60 persen dari beban yang seharusnya dan diijinkan (tonase). Kalau seperti ini, selamanya jalan akan rusak. Mengapa tidak di-nolkan saja," kata Djoko seusai menggelar rapat koordinasi tentang kerusakan jalan beberapa waktu lalu.Tudingan itu bukan tanpa alasan sebab Departemen
Pekerjaan Umum sendiri sudah melakukan survei tahun lalu tentang penyebab kerusakan jalan di jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) dan Jalur Lintas Timur Sumatera (Jalintim).
Hasilnya, ditemukan bahwa kelebihan muatan mengurangi umur ekonomis pemakaian jalan yakni untuk jalan Pantura umurnya tinggal 1,5 - 2 tahun dari yang seharusnya 10 tahun. Adapun jalan di Jalintim sudah rusak setelah empat tahun digunakan.
Dengan kondisi itu, hampir bisa dipastikan, kondisi kerusakan jalan, terutama jalan nasional di setiap propinsi di Indonesia bisa dikatakan hampir merata. Departemen Pekerjaan Umum memperkirakan diperlukan dana sedikitnya Rp10 triliun.
Contoh jalan rusak yang bisa dikemukakan, seperti disiarkan berkali-kali stasiun televisi swasta antara lain di jalur lintas timur Sumatera, Pantura Jawa Tengah dan Jawa Barat, Lampung dan daerah lainnya. Bahkan untuk di lintas Sumatera, dari total panjang 2.508 km, 1.400 km diantaranya rusak berat.
Masalah serupa terjadi di jalur Trans Sulawesi. Sebagian besar dari 850 km ruas jalan Trans Sulawesi rusak. Di ruas Mamuju-Pasangkayu, Sulawesi Barat, jalur sepanjang 280 km dipenuhi lumpur seperti kubangan kerbau.
Persoalannya kini, mengapa kerusakan jalan nasional sepertinya tidak pernah selesai setiap tahun? Betulkah, kerusakan itu karena hanya satu faktor tunggal seperti kelebihan muatan yang diijinkan (tonase)?
"Melulu" Tonase?
Ketika masalah tonase ditonjolkan oleh Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, otomatis departemen lain yang bertanggung jawab dari aspek regulasi itu yakni Departemen Perhubungan (Dephub) tidak tinggal diam.
Dephub sebagai regulator awalnya bersikukuh, jika tonase langsung diturunkan menjadi nol persen dalam waktu dekat ini, maka dampaknya akan luar biasa.
Tanpa bermaksud melindungi praktik yang sudah menjadi rahasia selama ini, yakni hampir 90 persen kendaraan truk dan barang yang melintas di seluruh jalan nasional melanggar ketentuan dan lolos dari setiap jembatan timbang yang dilaluinya, Dephub tampaknya mencoba berpikir jernih dan konsisten dengan tahapan yang sudah disepakati dengan pihak terkait.
Dalam hal tonase, yang awalnya 90 persen, secara bertahap akan diturunkan menjadi nol persen pada akhir tahun depan. Saat ini, baru 60 persen.
Namun, dengan "gertakan" dari Departemen Pekerjaan Umum tersebut, akhirnya dalam waktu kilat mengubah kebijakannya menjadi nol persen hingga akhir tahun ini yang dimulai dengan evaluasi pada Maret ini menjadi sekitar 50 persen.
"Saya sudah koordinasi dengan Ditjen Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum, soal ini," kata Dirjen Perhubungan Darat, Dephub, Iskandar Abubakar, belum lama ini.
Bahkan untuk mendukung rencana itu, Departemen Perhubungan (Dephub) berencana melibatkan swasta tahun ini untuk mengontrol tonase angkutan di jalan raya. Keterlibatan swasta itu akan ikut memantau 142 jembatan timbang di Indonesia. Dengan demikian, Direktur Lalu Lintas Angkutan Jalan, Ditjen Perhubungan Darat Dephub, Suroyo Alimoeso, pengukuran dan kontrol jembatan timbang akan dilakukan dua kali yakni oleh konsultan swasta dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Rencana ini didasarkan pada pengalaman proyek swastanisai jembatan timbang di Sumatera Barat, satu di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan di Losarang, Jawa Barat dan ternyata cukup efektif mencegah pelanggaran tonase.
Melalui program itu, peran Pemerintah Daerah sangat diharapkan karena pusat tidak mungkin mampu membiayai operasional operator swasta secara keseluruhan.
"Daerah seharusnya mendukung karena jalannya lebih terjaga," kata Suroyo.Namun, persoalannya kini adalah bagaimana mekanisme pengawasan di lapangan nantinya jika toleransi benar-benar menjadi nol persen? Ini tampaknya akan menjadi pekerjaan tersendiri yang masih menjadi tanda tanya besar.
Terbukti, ketika Dirjen Perhubungan Darat, Iskandar Abubakar didesak masalah itu, dia tak mampu menjawab secara taktis. "Memang masih rumit karena soal penegakan hukum terhadap pelanggaran, harus ada kontribusi nyata dari pihak terkait, khususnya mereka yang berwenang," katanya.
Dephub, lanjutnya, hanya sebagai regulator, sedangkan eksekusi di lapangan dilaksanakan oleh Dinas Perhubungan (Dishub) bersama jajaran di lapangan seperti kepolisian. "Sementara, sejak otonomi daerah, Dephub tak punya lagi garis komando dengan teman-teman di Dishub karena mereka berada dibawah pemda dan pemerintahan propinsi masing-masing," katanya.
Peran Konstruksi
Jika tonase yang dituding menjadi penyebab utama sudah nol persen pada akhir tahun ini, maka bagaimana peran sektor lain seperti konstruksi jalan itu sendiri dan lainnya seperti drainase, air dan sebagainya?
Ternyata dibalik tudingan bahwa tonase menjadi penyebab utama oleh sementara pihak justru ada temuan lain.
Lembaga Konsumen Jasa Konstruksi (LKJK) menilai kerusakan yang terjadi di Jalan Pantura bukan akibat kelebihan beban kendaraan, tetapi karena kualitas konstruksinya rendah."Kalau yang dipakai kelebihan tonase itu bukan alasan yang bertanggungjawab," kata Ketua LKJK Bambang Pranoto belum lama ini.
Bambang mempertanyakan mengapa kerusakan selalu terjadi setiap tahun. Hal ini menunjukkan Departemen Pekerjaan Umum tidak meningkatkan disain jalan sesuai kapasitas muat (load factor).
Seharusnya untuk "design load factor" untuk Pantura dibuat lima, tetapi kalau melihat kondisi di lapangan kelihatannya di bawah yang seharusnya sehingga pemerintah tidak dapat menimpakan kepada pengguna jalan, paparnya.
Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi menyebutkan tanggung jawab konstruksi seharusnya 10 tahun, namun yang terjadi di Pantura kurang dari lima tahun.Oleh karena itu, pernyataan Dirjen Bina Marga kerusakan akibat beban kendaraan amat naif. Ini tantangan bagi insinyur Indonesia, mengapa tidak bertanggungjawab secara profesional, ujarnya mempertanyakan.
Untuk membuktikannya, Bambang sudah pernah meminta Departemen PU melakukan audit konstruksi bersama untuk membuktikan bahwa telah terjadi kesalahan disain. "Namun, sampai sekarang, hal itu tidak pernah dilakukan," katanya.
Temuan ilmiah lain yang paling aktual adalah hasil penelitian yang dilakukan Agus Taufik, seorang dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam tesis untuk mengambil gelar doktoral menyebutkan, penyebab dari kerusakan jalan justru lebih banyak akibat konstruksi yang tidak memenuhi standar sebesar 44 persen.
"Tidak memenuhi standar itu baik kepadatan tanahnya, beton maupun aspalnya," kata Dirjen Perhubungan Darat, Dephub, Iskandar Abubakar mengutip hasil penelitian itu. Penyebab kerusakan lainnya adalah akibat sistem pengendalian air (drainase) sebesar 44 persen, sedangkan akibat kelebihan muatan hanya 12 persen.Penelitiannya dilakukan di 28 provinsi dengan 204 responden yang dicek kembali dengan data yang ada. Sehingga hasilnya akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu buktinya adalah kerusakan jalan di luar Jawa juga terjadi di wilayah Indonesia Timur.
"Padahal di jalan-jalan di Indonesia Timur umumnya tidak dilalui kendaraan bermuatan berat, tetapi kerusakan berat juga terjadi," kata Iskandar. (Diambil dari www.antara.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar