Oleh: M. Afif Hasbullah
Secara mendadak saya diundang oleh mahasiswa fakultas hukum yang menyelenggarakan rembug budaya dengan mengambil tema revitalisasi budaya local pada tanggal 29 Maret 2009 di halaman kampus. Mendadak karena undangan yang baru saya terima satu jam sebelum acara dimulai. Saya diminta memberikan sambutan sekaligus pernyataan membuka acara rembug budaya itu.
Kalau hendak berbicara budaya lebih dahulu harus diketahui apa definisinya. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. (wikipedia).
Kebudayaan berkembang dan sangat dinamis dengan kehidupan manusia, ia dapat dipengaruhi dan mempengaruhi. Diskusi mengenai kebudayaan tidak terlepas dari luasnya segmentasi kehidupan ummat manusia. Semenjak lahir sampai mati, berproses dari masa lalu, sekarang dan masa depan, tentu saja dengan tidak meninggalkan suasana saling pengaruh memepengaruhi antar budaya yang berkembang dan saling berinteraksi.
Di dalam Wikipedia dikatakan bahwa perubahan sosial budaya sebagai akibat dari interaksi antar budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Di dalam perkembangan kehidupan moderen, sebagai suatu bangsa, budaya Indonesia tidak dapat dilepaskan demikian saja dari percaturan budaya-budaya dunia, apakah akan terpengaruh atau justru akan mempengaruhi budaya-budaya lain. Hal ini sekali lagi tidak dapat dilepaskan dari dealektika kehidupan yang memfaktakan adanya perubahan. Perubahan tidak dapat dihindari karena merupakan bagian dari perjalanan kehidupan. Wikipedia mencatat ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:
1. tekanan kerja dalam masyarakat;
2. keefektifan komunikasi; dan
3. perubahan lingkungan alam.
Keadaan mutakhir saat ini, membuktikan adanya faktor-faktor perubahan budaya yang sedang berkembang dan melaksanakan tugasnya. Adalah abad 21 dengan segala ritmenya yakni, komodifikasi, kemudahan komunikasi, mode, degradasi daya dukung alam, kemewahan, dan lain-lain telah membuat ummat manusia, termasuk warga Indonesia untuk tetap survive dalam budayanya yang agung, adiluhur dan tinggi sebagai warisan para cerdik cendekia dan masyarakat pada masa sebelumnya untuk dapat diaktualisasikan dalam kehidupan moderen saat ini dan ke depan. Bukan berarti bahwa budaya nusantara termasuk budaya local harus stagnan dengan warisan budaya yang telah ada dengan mereview kebesaran Majapahit, Pajajaran, maupun Sriwijaya di masa lalu semata. Tetapi bagaimana mengkonstruksi atau merevitalisasi budaya yang telah ada pada bangsa Indonesia untuk dapat di ambil manfaat demi masa-masa yang akan datang.
Keluasan dimensi budaya sekali lagi tidak terbatas pada patung-patung, bangunan-bangunan bersejarah, karya sastra, resep makanan, bahasa, maupun karya seni. Tetapi lebih jauh dari itu, merupakan keutuhan dalam dimensi kehidupan kemanusiaan dan keterkaitannya dengan alam semesta.
Menjadi persoalan budaya yang harus dikhawatirkan, ketika bangsa Indonesia sedang dilanda budaya yang negatif, semisal korupsi, illegal logging, narkotika dan obat-obatan terlarang, pornografi dan pornoaksi, birokratisasi yang feodal dan lain sebagainya. Pada sisi lain juga dihadapkan pada persoalan kemiskinan, kelaparan, bencana alam dan lain sebagainya. Tantangan budaya sedang menyerang pola kehidupan warga bangsa, semisal komodifikasi, liberalisasi, dan kapitalisasi yang terbungkus melalui media. Kemudian pada saatnya secara terus menerus menjadi pemahaman baru dan keyakinan baru untuk mengikuti demikian saja arus budaya yang tidak positif untuk pengembangan budaya Indonesia.
Persoalan yang terjadi saat ini sesungguhnya merupakan keprihatinan juga dari beberapa budayawan dan pemerhati kebudayaan tanah air. Dengan mereview tulisan pendidikansalatiga.net, tahun 70-an Mochtar Lubis misalnya sudah berbicara sangat keras tentang wajah tak keruan manusia Indonesia. Dengan wajah muram manusia Indonesia yang ciri-ciri pribadinya berkeping-keping (munafik, feodal, percaya tahayul, punya watak yang lemah, dan cenderung boros), Mochtar Lubis khawatir bangsa kita akan tertinggal jauh, dan lebih celaka lagi akan jadi korban dalam percaturan dunia.
Tak heran kalau Koentjaraningrat mengingatkan tentang perlunya perubahan mentalitas masyarakat Indonesia agar bisa menjadi bangsa yang maju. Dan, Umar Kayam tak bosan berbicara tentang pentingnya transformasi budaya kita untuk menyingkirkan budaya feodal dan birokratis dalam laku elite politik (pegawai negeri dan politisi) dan masyarakat umum.Sementara itu, Taufik Abdullah memperkenalkan sebuah rumusan yang bagus menyangkut kemiskinan budaya wacana elite politik, yang disebutnya "spiral kebodohan yang menukik ke bawah". Kebodohan yang dibalas dengan kebodohan akan melahirkan kebodohan baru. Bukankah pernyataan bodoh seorang elite politik yang ditanggapi dengan pernyataan bodoh pula oleh elite politik yang lain, begitu sering kita saksikan di media. Pernyataan itu hanya melahirkan kebodohan baru. Akhirnya menciptakan semacam spiral kebodohan yang terus menukik ke bawah.
Lebih dalam lagi Soedjatmoko mengingatkan tentang ancaman kemanusiaan, berupa kemiskinan, ledakan penduduk, degradasi lingkungan global yang dampaknya akan dirasakan bangsa Indonesia di abad ke-21. Ia juga menyebut munculnya fenomena "masyarakat stres", "masyarakat sakit", yang ditandai oleh sakit mental, kekerasan, dan penyalahgunaan obat dan kenakalan remaja. Maka tak heran kalau Soetardji Calzoum Bachri mengajak bangsa kita dengan lantang: "Wahai bangsaku/ Keluarlah engkau dari kamus kehancuran ini/ Cari kata/ Temukan ucapan/ Sebagaimana dulu para pemuda menemukan kata dalam sumpah mereka." Senada dengan Sartono Kartodirdjo yang mengumandangkan tentang pentingnya kesadaran sejarah dalam proses pendidikan bangsa. Dan, Kuntowijoyo mengajukan pentingnya transendensi dan humanisasi untuk melawan politisisasi, sekularisasi, dan komersialisasi budaya.
***
Apa yang disampaikan oleh para pakar budaya tersebut menjelaskan keprihatinan mulai tumbuhnya pola pikir, nilai, dan perilaku yang sudah menyimpang dari kehendak suatu budaya yang agung, yakni pola pikir, nilai, dan perilaku yang harmoni dengan kemanusiaan maupun alam semesta.
Dunia berikut segala isinya bukanlah warisan dari masa lalu untuk masa kini, tetapi merupakan titipan yang harus kita jaga kelestarian dan keluhurannya untuk generasi yang akan datang. Dengan demikian, diperlukan adanya pola tindakan yang terstruktur dan tunduk pada nilai-nilai kemanusian itu sendiri. Apa yang benar dan salah mestinya telah diajarkan dan menjadi nilai pada kehidupan budaya kita sebagai pitutur atau kebiasaan yang diwariskan oleh para pendahulu.
Sangat disayangkan, apabila keanekaragaman budaya lambat laun namun pasti cenderung mulai ditinggalkan oleh para calon penerus generasi mendatang. Suatu contoh, anak petani sudah tidak pernah ke sawah (tidak perlu ditanya lagi tentang ketrampilan bercocok tanam), anak perempuan sudah tidak hafal nama bumbu dapur (tidak perlu lagi ditanya resep masakan), anak petambak tidak pernah ke tambak (tidak perlu ditanya lagi tentang budidaya perikanan), seorang anak empu sudah tidak berminat melanjutkan ketrampilan orang tuanya, seorang anak perajin sudah tidak ingin meneruskan usaha orang tuanya dan sebagainya.
Yang menghawatirkan adalah ketika warisan keluhuran bangsa atau daerah hilang karena tidak ada penerus. Siapa yang mengembangkan tenun, kesenian gamelan, masakan soto, dan lain-lain. Untuk beberapa daerah bahkan mempunyai resep makanan yang sangat khas dan tidak ada di tempat lain, misalnya Lamongan ada tahu campur, tahu tek, soto, sego boranan. Tapi kaum muda sudah mulai beralih pada masakan-masakan siap saji macam Mc. Donald, Pizza Hut, Hoka-hoka bento dan lain-lain.
Dari sini perlu ada keberanian untuk mengangkat semua aspek budaya Indonesia agar lebih dapat senantiasa eksis dan diterima oleh pasar. Jangan hanya rebut, kalau budaya Indonesia ditampilkan atau “dijual” oleh bangsa asing saja. Lihat reaksi yang luar biasa dari warga Negara Indonesia terhadap dipakainya lagu rasa sayange oleh Malaysia, reog ponorogo oleh Malaysia dan sebagainya.
Sudah saatnya, semua budaya yang terserak-serak, tercecer tak terurus itu diinventarisir dengan baik. Kemudian dikembangkan dengan revitalisasi, sehingga semuanya menjadi modal yang amat menguntungkan buat bangsa, buat warga, dan tentu adalah buat anak cucu penerus di kemudian hari.
Kalau hendak berbicara budaya lebih dahulu harus diketahui apa definisinya. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. (wikipedia).
Kebudayaan berkembang dan sangat dinamis dengan kehidupan manusia, ia dapat dipengaruhi dan mempengaruhi. Diskusi mengenai kebudayaan tidak terlepas dari luasnya segmentasi kehidupan ummat manusia. Semenjak lahir sampai mati, berproses dari masa lalu, sekarang dan masa depan, tentu saja dengan tidak meninggalkan suasana saling pengaruh memepengaruhi antar budaya yang berkembang dan saling berinteraksi.
Di dalam Wikipedia dikatakan bahwa perubahan sosial budaya sebagai akibat dari interaksi antar budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Di dalam perkembangan kehidupan moderen, sebagai suatu bangsa, budaya Indonesia tidak dapat dilepaskan demikian saja dari percaturan budaya-budaya dunia, apakah akan terpengaruh atau justru akan mempengaruhi budaya-budaya lain. Hal ini sekali lagi tidak dapat dilepaskan dari dealektika kehidupan yang memfaktakan adanya perubahan. Perubahan tidak dapat dihindari karena merupakan bagian dari perjalanan kehidupan. Wikipedia mencatat ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:
1. tekanan kerja dalam masyarakat;
2. keefektifan komunikasi; dan
3. perubahan lingkungan alam.
Keadaan mutakhir saat ini, membuktikan adanya faktor-faktor perubahan budaya yang sedang berkembang dan melaksanakan tugasnya. Adalah abad 21 dengan segala ritmenya yakni, komodifikasi, kemudahan komunikasi, mode, degradasi daya dukung alam, kemewahan, dan lain-lain telah membuat ummat manusia, termasuk warga Indonesia untuk tetap survive dalam budayanya yang agung, adiluhur dan tinggi sebagai warisan para cerdik cendekia dan masyarakat pada masa sebelumnya untuk dapat diaktualisasikan dalam kehidupan moderen saat ini dan ke depan. Bukan berarti bahwa budaya nusantara termasuk budaya local harus stagnan dengan warisan budaya yang telah ada dengan mereview kebesaran Majapahit, Pajajaran, maupun Sriwijaya di masa lalu semata. Tetapi bagaimana mengkonstruksi atau merevitalisasi budaya yang telah ada pada bangsa Indonesia untuk dapat di ambil manfaat demi masa-masa yang akan datang.
Keluasan dimensi budaya sekali lagi tidak terbatas pada patung-patung, bangunan-bangunan bersejarah, karya sastra, resep makanan, bahasa, maupun karya seni. Tetapi lebih jauh dari itu, merupakan keutuhan dalam dimensi kehidupan kemanusiaan dan keterkaitannya dengan alam semesta.
Menjadi persoalan budaya yang harus dikhawatirkan, ketika bangsa Indonesia sedang dilanda budaya yang negatif, semisal korupsi, illegal logging, narkotika dan obat-obatan terlarang, pornografi dan pornoaksi, birokratisasi yang feodal dan lain sebagainya. Pada sisi lain juga dihadapkan pada persoalan kemiskinan, kelaparan, bencana alam dan lain sebagainya. Tantangan budaya sedang menyerang pola kehidupan warga bangsa, semisal komodifikasi, liberalisasi, dan kapitalisasi yang terbungkus melalui media. Kemudian pada saatnya secara terus menerus menjadi pemahaman baru dan keyakinan baru untuk mengikuti demikian saja arus budaya yang tidak positif untuk pengembangan budaya Indonesia.
Persoalan yang terjadi saat ini sesungguhnya merupakan keprihatinan juga dari beberapa budayawan dan pemerhati kebudayaan tanah air. Dengan mereview tulisan pendidikansalatiga.net, tahun 70-an Mochtar Lubis misalnya sudah berbicara sangat keras tentang wajah tak keruan manusia Indonesia. Dengan wajah muram manusia Indonesia yang ciri-ciri pribadinya berkeping-keping (munafik, feodal, percaya tahayul, punya watak yang lemah, dan cenderung boros), Mochtar Lubis khawatir bangsa kita akan tertinggal jauh, dan lebih celaka lagi akan jadi korban dalam percaturan dunia.
Tak heran kalau Koentjaraningrat mengingatkan tentang perlunya perubahan mentalitas masyarakat Indonesia agar bisa menjadi bangsa yang maju. Dan, Umar Kayam tak bosan berbicara tentang pentingnya transformasi budaya kita untuk menyingkirkan budaya feodal dan birokratis dalam laku elite politik (pegawai negeri dan politisi) dan masyarakat umum.Sementara itu, Taufik Abdullah memperkenalkan sebuah rumusan yang bagus menyangkut kemiskinan budaya wacana elite politik, yang disebutnya "spiral kebodohan yang menukik ke bawah". Kebodohan yang dibalas dengan kebodohan akan melahirkan kebodohan baru. Bukankah pernyataan bodoh seorang elite politik yang ditanggapi dengan pernyataan bodoh pula oleh elite politik yang lain, begitu sering kita saksikan di media. Pernyataan itu hanya melahirkan kebodohan baru. Akhirnya menciptakan semacam spiral kebodohan yang terus menukik ke bawah.
Lebih dalam lagi Soedjatmoko mengingatkan tentang ancaman kemanusiaan, berupa kemiskinan, ledakan penduduk, degradasi lingkungan global yang dampaknya akan dirasakan bangsa Indonesia di abad ke-21. Ia juga menyebut munculnya fenomena "masyarakat stres", "masyarakat sakit", yang ditandai oleh sakit mental, kekerasan, dan penyalahgunaan obat dan kenakalan remaja. Maka tak heran kalau Soetardji Calzoum Bachri mengajak bangsa kita dengan lantang: "Wahai bangsaku/ Keluarlah engkau dari kamus kehancuran ini/ Cari kata/ Temukan ucapan/ Sebagaimana dulu para pemuda menemukan kata dalam sumpah mereka." Senada dengan Sartono Kartodirdjo yang mengumandangkan tentang pentingnya kesadaran sejarah dalam proses pendidikan bangsa. Dan, Kuntowijoyo mengajukan pentingnya transendensi dan humanisasi untuk melawan politisisasi, sekularisasi, dan komersialisasi budaya.
***
Apa yang disampaikan oleh para pakar budaya tersebut menjelaskan keprihatinan mulai tumbuhnya pola pikir, nilai, dan perilaku yang sudah menyimpang dari kehendak suatu budaya yang agung, yakni pola pikir, nilai, dan perilaku yang harmoni dengan kemanusiaan maupun alam semesta.
Dunia berikut segala isinya bukanlah warisan dari masa lalu untuk masa kini, tetapi merupakan titipan yang harus kita jaga kelestarian dan keluhurannya untuk generasi yang akan datang. Dengan demikian, diperlukan adanya pola tindakan yang terstruktur dan tunduk pada nilai-nilai kemanusian itu sendiri. Apa yang benar dan salah mestinya telah diajarkan dan menjadi nilai pada kehidupan budaya kita sebagai pitutur atau kebiasaan yang diwariskan oleh para pendahulu.
Sangat disayangkan, apabila keanekaragaman budaya lambat laun namun pasti cenderung mulai ditinggalkan oleh para calon penerus generasi mendatang. Suatu contoh, anak petani sudah tidak pernah ke sawah (tidak perlu ditanya lagi tentang ketrampilan bercocok tanam), anak perempuan sudah tidak hafal nama bumbu dapur (tidak perlu lagi ditanya resep masakan), anak petambak tidak pernah ke tambak (tidak perlu ditanya lagi tentang budidaya perikanan), seorang anak empu sudah tidak berminat melanjutkan ketrampilan orang tuanya, seorang anak perajin sudah tidak ingin meneruskan usaha orang tuanya dan sebagainya.
Yang menghawatirkan adalah ketika warisan keluhuran bangsa atau daerah hilang karena tidak ada penerus. Siapa yang mengembangkan tenun, kesenian gamelan, masakan soto, dan lain-lain. Untuk beberapa daerah bahkan mempunyai resep makanan yang sangat khas dan tidak ada di tempat lain, misalnya Lamongan ada tahu campur, tahu tek, soto, sego boranan. Tapi kaum muda sudah mulai beralih pada masakan-masakan siap saji macam Mc. Donald, Pizza Hut, Hoka-hoka bento dan lain-lain.
Dari sini perlu ada keberanian untuk mengangkat semua aspek budaya Indonesia agar lebih dapat senantiasa eksis dan diterima oleh pasar. Jangan hanya rebut, kalau budaya Indonesia ditampilkan atau “dijual” oleh bangsa asing saja. Lihat reaksi yang luar biasa dari warga Negara Indonesia terhadap dipakainya lagu rasa sayange oleh Malaysia, reog ponorogo oleh Malaysia dan sebagainya.
Sudah saatnya, semua budaya yang terserak-serak, tercecer tak terurus itu diinventarisir dengan baik. Kemudian dikembangkan dengan revitalisasi, sehingga semuanya menjadi modal yang amat menguntungkan buat bangsa, buat warga, dan tentu adalah buat anak cucu penerus di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar