Minggu, 16 Maret 2008

Prof. Mahfud MD dan Prof. Jimly Terpilih menjadi Hakim MK RI

Oleh: M. Afif Hasbullah
Saya termasuk salah satu orang yang cukup berbahagia ketika mendengar Prof. Mahfud dan Prof Jimly terpilih dalam voting setelah pelaksanaan fit and proper test yang diselenggarakan oleh DPR RI 14 Maret 2008 lalu. Mereka berdua memang salah satu dari tiga hakim Mahkamah Konstitusi yang maju dari DPR, sedang calon hakim yang lain akan maju dari institusi pemerintah atau Presiden dan Mahkamah Agung, masing-masing institusi berkontribusi 3 (tiga) orang hakim Mahkamah Konstitusi.
Kebahagiaan itu memang bukan tanpa alasan: pertama, Prof. Mahfud merupakan guru penulis semenjak Strata 1 di Fakultas Hukum UII Yogyakarta hingga strata 2 di Magister Hukum UGM Yogyakarta, bahkan ketika S2 penulis sempat dibimbing oleh beliau dalam penulisan tesis. Ketika di UII pun penulis sudah mulai komunikasi dengan beliau baik dalam forum kuliah maupun dalam forum Pemantau Pemilu 1999 yang dikomandoi oleh UII selaku koordinator Forum Rektor Yogyakarta. Kedua, Prof. Mahfud merupakan salah satu Guru Besar Luar Biasa di Unisda Lamongan, sebuah perguruan tempat penulis mengabdikan perjuangan di bidang pendidikan. Beliau kalau dijadwalkan ke Unisda sangat komunikatif dan dapat memberikan materi dan wawasan kepada sivitas akademika secara kontekstual dan up to date, layaknya seorang terpelajar. Ketiga, secara pribadi dorongan moral yang diberikan kepada penulis dalam menempuh ilmu dan menjadi seorang intelektual sangat bermanfaat bagi pribadi penulis. Keempat, personality beliau yang hampir tanpa sekat dengan murid-muridnya maupun siapapun, menjadikan beliau dekat dengan siapapun. Walaupun mantan menteri dan anggota DPR namun tetap biasa seperti Pak Mahfud yang dikenal ketika S1.
Bagaimana dengan Prof. Jimly?, Prof. Jimly memang tidak dikenal secara pribadi oleh penulis seperti halnya Prof. Mahfud, namun tidak berarti bahwa penulis tidak kenal dengan beliau. Perkenalan dengan Prof. Jimly tentu saja dimulai dari buku-buku beliau yang penulis baca, kebetulan ketika S2 penulis ada di jurusan ketatanegaraan, hal ini menjadikan penulis secara pemikiran mengenal pemikiran beliau lewat tulisannya. Selain itu Prof. Jimly beberapa saat lalu juga berkunjung secara pribadi ke Unisda Lamongan, tempat penulis mengabdi, dalam acara Dies Natalis ke 21 dan Wisuda Sarjana pada 29 Desember 2007. Suatu pertemuan yang membawa manfaat bagi saya pribadi maupun sivitas akademika Unisda, baik itu tambahan wawasan dan pemikiran dari seorang ahli hukum tata negara maupun juga masukan-masukan untuk pengembangan perguruan tinggi Unisda pada masa yang akan datang. Beliau pun sangat mudah di hubungi, apakah telepon, e-mail maupun surat.
Terpilihnya 2 orang pakar hukum dan 1 orang anggota DPR (Akil Mochtar, red) dalam fit and proper test di DPR RI, mengindikasikan bahwa ada kemauan yang cukup baik dari parlemen untuk mempertahankan reputasi MK pada saat yang akan datang. Hal tersebut diketahui dari track record Prof. Jimly yang selama memimpin MK dapat membawa lembaga tersebut sebagai penjaga konstitusi yang baik (guardian of constitution). Demikian pula Prof. Mahfud, walaupun ketika mengikuti fit and proper test berstatus orang partai namun di dalam pemikiran-pemikirannya keintelektualannya masih sangat kental dan mendominasi daripada penampakan unsur politiknya. Sebagai intelektual kampus, dia sangat pandai mengemas dan menempatkan dirinya dalam suasana politik yang haus kekuasaan dan abu-abu. Lihat saja ketika PKB berkonflik, baik ketika konflik Matori maupun Alwi Shihab-Choirul Anam, yang tampak adalah langkah-langkah beliau untuk menyatukan partai dan elit-elitnya, serta tentu saja tidak mengambil sikap memihak terhadap masing-masing kelompok. Seluruh argumentasi yang dia keluarkan dalam partai, kelihatan tidak asal omong seperti politisi kebanyakan, dia memakai alasan keilmuan yang diketahuinya. Sehingga walaupun argumentasi itu tidak diterima atau ada pihak lain yang merasa tersudut, tidak kemudian menjadikan argumentasi yang dikemukakannya mudah dipatahkan dan disudutkan.
Prof. Mahfud kelihatan all out dalam mempersiapkan pekerjaan barunya mengabdi sebagai Hakim MK ini. Namun kerja keras yang dilakukan senantiasa tidak luput dari do’a yang tentu juga dimintakan beliau pada para kolega dan muridnya yang mendukungnya. Hal ini nampak dari SMSnya ke penulis pada tanggal 30 Desember 2008, ”Doakan agar Allah yang menentukan, saya memang sedang di plot ke MK”. Demikian pula ketika beliau terpilih menyatakan pada penulis, ”do’akan saya agar dapat melaksanakan tugas dengan baik”.
All out dengan 10 Rambu
All out nya Prof. Mahfud juga ditunjukkan dalam tataran konsep, dia mempunyai konsep yang diciptakannya untuk rambu-rambu dirinya, dan penulis yakin adalah sebagai modal awal dalam rangka memperbaiki lagi kinerja MK yang sudah berjalan selama ini. Terdapat 10 (sepuluh) rambu yang dikemukakan Prof. Mahfud untuk sebagai pegangan para Hakim Konstitusi, termasuk dirinya. ”Saya akan berpegang pada sepuluh rambu itu kalau saya menjadi hakim konstitusi”, katanya tegas. Sepuluh rambu itu adalah:[1]
Rambu yang pertama, hakim konstitusi tidak boleh membuat putusan yang sifatnya mengatur. “Misalnya dia mengatakan, UU nomor sekian batal, harus diatur begini. Itu salah. Mengatur itu ranahnya legislatif, bukan MK,” kata Mahfud.
Ia memberi contoh dibolehkannya calon independen mengikuti Pilkada. Saat itu MK merekomendasikan agar pelaksanaan Pilkada untuk sementara bisa tetap dijalankan dengan membuat peraturan KPU yang mengacu pada UU Pemerintahan Aceh. “Itu salah. Itu bukan urusan MK. (Cukup—red) batalkan saja. Titik,” tandas Mahfud.
Kedua, hakim konstitusi tidak boleh membuat ultra petita. Yaitu memutuskan sesuatu yang tidak diminta. “Ultra petita itu melanggar haknya legislatif,” kata Mahfud.
Ketiga, hakim konstitusi tidak boleh mendasarkan putusan pada UU. Mahfud mengkritik pengujian Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, berkaitan dengan calon independen. Salah satu acuan MK dalam membatalkan Pasal-pasal itu adalah UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Contoh lain yang diberikan Mahfud mengenai putusan MK tentang pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial (KY). Lima Pasal UU 22 Tahun 2004 tentang KY dibatalkan karena bertentangan dengan UU MA. “Itu tidak boleh. UU itu bisa dibatalkan hanya bila bertentangan ke atas dengan UUD,” jelasnya.
Keempat, hakim konstitusi tidak boleh mengintervensi delegasi perundang-undangan dan atribusi kewenangan. Artinya, bila UUD mengatakan suatu hal perlu diatur dalam UU, lalu ada orang yang tidak suka terhadap UU itu, MK tidak boleh membatalkannya.
Kelima, hakim konstitusi tidak boleh memutus perkara berdasakan teori. Menurut Mahfud, seorang hakim konstitusi harus berpijak pada original intend, bukan pada teori. “Konstitusi itu adalah apa yang ditulis dalam UUD meskipun tidak sesuai dengan teorinya John Locke atau siapapun,” ungkapnya.
Soal ini, Mahfud membeber pengalamannya sewaktu menjadi ahli di MK. Ketika itu, seorang hakim di MK merujuk teori hakim di Amerika dan Belanda. “Saya bertanya: Mengapa Anda tidak berpegang pada hakim di Arab Saudi? Kan sama-sama teori di luar negeri?” seloroh Mahfud.
Keenam, hakim konstitusi tidak boleh melanggar azas nemo judex in causa sua. Maksudnya, hakim tidak boleh memutus hal-hal yang menyangkut kepentingan dirinya sendiri. “Kalau diminta, jangan diterima. Serahkan kepada legislative review jika itu dianggap tidak benar,” ungkap Mahfud. Ia mencontohkan putusan MK yang melarang KY mengawasi hakim MK.
Ketujuh, hakim konstitusi tidak boleh mengomentari perkara yang masih disidangkan di depan publik. Kali ini Mahfud mengkritik kebiasaan beberapa hakim MK yang kerap bicara kasus yang ia tangani di seminar atau di kampus.
Kedelapan, hakim konstitusi tidak boleh mencari atau menganjurkan orang untuk berperkara. Berdasarkan pengamatan Mahfud, ada hakim MK yang bertindak seperti itu. “Ndak boleh. Cari-cari perkara kayak pedagang asongan saja,” kritiknya.
Kesembilan, hakim konstitusi tidak boleh ikut campur dalam urusan politik. Misalnya menjadi penengah ketika presiden bertengkar dengan pihak tertentu. “Biarkan politik itu berjalan alamiah,” seru Mahfud. “Ndak ada itu di dalam konstitusi hakim kok jadi penengah kasus politik.”
Kesepuluh, hakim konstitusi tidak boleh beropini tentang eksistensi UUD. Misalnya, seorang hakim MK berpendapat UUD harus diubah.”Itu bukan urusan dia. Itu urusan MPR. Hakim hanya melaksanakan apa yang tertulis di dalam UUD,” kata Mahfud.
Mahfud menyadari, tak semua orang sepakat dengan sepuluh rambu itu. Karena itu ia mempersilahkan rambu-rambu itu diperdebatkan. ”Orang boleh sepakat, boleh tidak,” ujarnya.
Penulis yakin apabila rumusan-rumusan tersebut didukung juga oleh Hakim MK yang lain, perbaikan positif akan terjadi pada MK RI. Proficiat buat Prof. Mahfud dan Prof. Jimly!
[1] Diambil dari hukumonline

Tidak ada komentar:

Posting Komentar