Minggu, 09 Maret 2008

Hendak Kemana BHP?

Oleh: M. Afif Hasbullah
Membangun bangsa yang cerdas merupakan semangat, cita-cita dan tujuan bernegara (staatsidee) yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Pasal 31 UUD 1945 hasil perubahan Keempat, mempertegas semangat tersebut dengan menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan negara berkewajiban untuk memprioritaskan alokasi anggaran minimal 20% dari APBN dan APBD. Atas dasar itu, telah disahkan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN), yang mendelegasikan pengaturan tentang Badan Hukum Pendidikan melalui Undang-undang.
Konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP)[1] diilhami oleh semangat mengembalikan dan melindungi fungsi institusi pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai kemasyarakatan dan membebaskan pendidikan dari hegemoni kekuasaan, dan pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat dan dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat. Dalam hal ini, peran pemerintah dalam mengkonstruksi pendidikan akan tergantikan oleh masyarakat dan pemerintah hanya akan berperan sebagai fasilitator.
Persoalannya adalah apakah alasan dibuatnya RUU BHP?; Bagaimana RUU ini meletakkan peran pemerintah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi serta bagaimana mengkonstruksi hubungan antara penyelenggara pendidikan (yayasan, perkumpulan, badan wakaf, pemerintah, dan lain-lain) dengan satuan pendidikan?; dan apakah RUU BHP merupakan jawaban yang tepat bagi pengembangan pendidikan tinggi kedepan?
RUU BHP dimunculkan sebagai amanat UU SPN, yakni penyelenggara pendidikan berbentuk badan hukum (BH). UU SPN Pasal 43 ayat (3) menyatakan bahwa BHP berprinsip nirlaba. Di sisi lain, pendidikan berbasis masyarakat juga mempersyaratkan adanya jaminan atas penyelenggaraan pendidikan yang transparan, partisipatif dan akuntabel oleh penyelenggaraan pendidikan. Bila tidak, maka peluang terjadinya penyimpangan oleh para pelaku pendidikan akan terjadi.
Pendidikan berbasis masyarakat bukan berarti tanggungjawab negara untuk menjamin hak warga negara atas pendidikan menjadi tereliminasi. Negara tetap bertanggungjawab menyediakan anggaran, sarana dan prasarana agar seluruh warga negara dapat menikmati kesempatan atas pendidikan secara merata dan tanpa diskriminasi sesuai dengan konsideran huruf (c) UU SPN.
Dalam konsep RUU tersebut diatur tentang badan hukum pendidikan anak usia dini, dasar, menengah dan tinggi - baik swasta maupun negeri, namun khusus mengenai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diatur lebih lanjut dalam RUU PT BHMN.
Terdapat 2 (dua) opsi untuk PTN yang diatur dalam pasal peralihan RUU BHP; pertama, dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang kekayaannya tidak dipisahkan dari negara, kedua, dalam bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang kekayaannya dipisahkan dari negara.
Dalam perkembangannya, konsep RUU tersebut telah banyak mengalami perubahan, ke arah yang lebih rigid dan lengkap mengatur tentang konsep pengelolaan institusi pendidikan berbentuk badan hukum (BH). Meskipun banyak juga hal yang harus tetap dikritisi.
Dalam RUU BHP versi yang baru, semua bentuk pendidikan baik yang diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah daerah atau pemerintah harus berbentuk BH yang sama yaitu BHP. Oleh karenanya, jika RUU BHP disahkan - maka peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan pemerintah tentang BHMN tidak akan berlaku lagi. Masih menurut draft RUU BHP yang baru terdapat BHP milik pemerintah pusat (BHPP), BHP milik pemerintah daerah (BHPPD), dan BHP yang diselengarakan oleh masyarakat (BHPM).
Tujuan RUU yang mengatur BHP pada dasarnya untuk menciptakan BH baru melengkapi sejumlah BH yang sudah ada. Adapun jenis BH yang selama ini dikenal adalah perseroan terbatas (PT), koperasi, yayasan, perusahaan umum (perum), badan layanan umum (BLU), perhimpunan, dan yang paling baru adalah badan hukum milik negara (BHMN).
Berbagai jenis BH, kecuali BHMN, dianggap kurang memadai sebagai "kendaraan" yang mengelola pendidikan. PT jelas kurang pas karena fungsi PT adalah mencari keuntungan. Apalagi berbagai organ dalam PT tidak dapat digunakan untuk mengakomodasi pengurus lembaga pendidikan, seperti kepala sekolah dan rektor. Demikian pula dengan koperasi, perum, dan BLU.
BHP diharapkan menjadi BH yang dapat mengakomodasi organ yang dikenal pada lembaga pendidikan. Hanya saja RUU yang mengaturBH dan secara eksklusif mengatur pendidikan dapat dipertanyakan. Apakah tepat pengaturan BH untuk melakukan satu kegiatan atau industri secara eksklusif?. Dari sejumlah jenis BH yang dikenal, tidak ada satu pun yang secara eksklusif diperuntukkan untuk menjalankan kegiatan atau industri tertentu.
Sebagai contoh BHMN sendiri ternyata tidak secara eksklusif diperuntukkan untuk menjalankan kegiatan pendidikan mengingat Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) didirikan dalam bentuk BHMN. Demikian pula PT dan yayasan yang tidak ditujukan untuk satu kegiatan (single activity) secara eksklusif.
Indonesia memang membutuhkan lebih banyak BH agar setiap kegiatan atau industri dapat memilih BH yang sesuai dengan kebutuhan. Namun adalah suatu yang tidak lazim bila penyelenggara pendidikan dilakukan oleh suatu BH yang khusus untuk itu.
Rasional RUU BHP
Bila ditilik ke belakang, ada dua alasan mendasar mengapa RUU BHP dimunculkan. Pertama, lembaga pendidikan negeri yang selama ini merupakan bagian dari instansi pemerintah dalam bentuk unit pelaksana teknis (UPT) ingin dimandirikan dengan status sebagai BH.
UPT yang menjadi BH bukanlah lembaga BH, melainkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Kalaupun pengurus lembaga pendidikan dapat mengikatkan lembaganya dengan pihak ketiga, kewenangan tersebut berasal dari pendelegasian kewenangan yang dimiliki oleh Menteri Pendidikan Nasional.
Ada banyak alasan mengapa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah hendak dimandirikan. Alasan dapat muncul dari pemerintah, tetapi juga bisa dari lembaga pendidikan.[2]
Birokrasi ala pemerintah membuat para pejabat yang mengelola universitas harus memenuhi syarat kepangkatan untuk menduduki eselonisasi tertentu layaknya instansi pemerintah. Demikian pula urusan anggaran akan mengikat aturan yang berlaku di instansi pemerintah. Bahkan pengisian jabatan kerap dijadikan ajang politik ketimbang amanah untuk mengedepankan suasana akademis. Dari sini terlihat bahwa tujuan mem-BHMN-kan keempat perguruan tinggi itu sama sekali bukan untuk komersialisasi pendidikan.
Bila saat ini di antara empat universitas BHMN terkesan melakukan komersialisasi hal ini terpulang pada kebijakan dari pimpinannya yang harus bergelut dengan minimnya subsidi dari pemerintah. Harus diakui bahwa pendidikan yang prima membutuhkan banyak dana.
Menaikkan biaya operasional mahasiswa merupakan kebijakan yang paling mudah meskipun tidak semua universitas melakukannya. Bila kebijakan tersebut yang diambil, maka pimpinan universitas tidak berbeda dengan kepala daerah yang mengenakan retribusi dan pajak daerah untuk mendapatkan pendapatan asli daerah.
Alasan kedua dimunculkannya RUU BHP terkait dengan penyelenggaraan pendidikan oleh pihak swasta. Hampir semua penyelenggara pendidikan swasta dilakukan oleh BH berupa yayasan, perkumpulan, dan badan wakaf. Penggunaan yayasan memunculkan dua kepengurusan, yaitu pengurus yayasan dan pengurus lembaga pendidikan.
Pengelolaan lembaga pendidikan diserahkan kepada institusi yang dikenal dalam lembaga tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir kerap muncul perselisihan antara pengurus Yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Diharapkan ke depan RUU tersebut dapat mengeliminir perselisihan. Karena dalam formula baru tersebut para pendiri atau wakil pendiri dan organisasi penyelenggara yang lama (bekas yayasan, perkumpulan, badan wakal dan lain-lain) akan melebur dalam salah satu organ BHP sebagai organ penentu kebijakan tertinggi (OPKT) atau semacam komisaris dalam perseroan terbatas.
Diyakini terdapat urgensi untuk menata sistem pendidikan di Indonesia, penataan tersebut meliputi legalitas konstitusional terhadap sistem pendidikan maupun lembaga pendidikan, pendanaan, kemandirian, daya saing, dan sistem manajemen mutunya. Meskipun keberadaan BH baru yang akan dijadikan kendaraan untuk penyelenggaraan BH sangat didambakan, namun RUU BHP masih belum dapat menjawab kebutuhan tersebut. Kekurangan RUU BHP tersebut di antaranya: substansi RUU BHP banyak memiliki kekurangan bila yang hendak diatur adalah keberadaan BH. RUU BHP perlu mendapat revisi lagi; ego sektoral dari Depdiknas sangat kental tercermin dalam RUU BHP, padahal yang hendak diatur adalah BH; dan RUU BHP terlalu berkeinginan untuk menyeragamkan lembaga pendidikan dari semua tingkatan. Apalagi yang dijadikan patokan adalah institusi yang dikenal pada empat universitas BHMN.
Apabila ketiga faktor tersebut masih tetap eksis dalam RUU BHP, nampaknya upaya menyongsong kondisi pengelolaan pendidikan Indonesia yang lebih baik masih akan menjadi keraguan (ambigu).

Daftar Bacaan:
Ali, Chidir, 1999, Badan Hukum, PT Alumni, Bandung.
Black, Henry Campbell, 2000, Black’s Law Dictionary-Abridged Seventh Edition, West Publishing Co, St. Paul Minn.
Juwana, Hikmahanto, Apa Tujuan RUU BHP, Kompas, November 2006.
Rido, R. Ali, 2001, Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, PT Alumni, Bandung.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Higher Education Long Term Strategy 2003 – 2010 (HELTS 2003 – 2010), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Draft Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan, Panja RUU BHP DPR RI, edisi November 2007.
[1] Badan Hukum menurut definisi hukum adalah legal entity atau legal person, dalam Black’s Law Dictionary dinyatakan sebagai a body, other than a natural person, that can function legally, sue or be sued, and make decisions through agents. Sementara dalam kamus hukum versi Bahasa Indonesia, badan hukum diartikan dengan organisasi, perkumpulan atau paguyuban lainnya di mana pendiriannya dengan akta otentik dan oleh hukum diperlakukan sebagai persona atau sebagai orang.
[2] Dari pengalaman empat perguruan tinggi negeri, UI, ITB, IPB, dan UGM, sewaktu menjadi BHM alasan muncul dari lembaga tersebut. Kemandirian dibutuhkan oleh keempat PTN tersebut karena penyelenggaraan pendidikan yang sudah lama dibirokrasikan layaknya instansi pemerintah membuat mereka kehilangan daya saing. Akibatnya, sulit diharapkan keempat perguruan tinggi itu untuk bersaing dengan perguruan tinggi swasta, apalagi harus bersaing dengan perguruan tinggi luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar