Minggu, 09 Maret 2008

Siapkah Kita Berdemokrasi dan Berkedaulatan Rakyat?


Oleh: M. Afif Hasbullah

Judul tersebut terinspirasi dari potret cara berdemokrasi oleh warga negara Indonesia yang semenjak 10 tahun lalu telah berhasil menggulingkan rezim Orde Baru dengan ikonnya Demokrasi Pancasila. Oleh beberapa kalangan yang memprokamirkan diri sebagai aktifis pro demokrasi, rezim Orde Baru tersebut dianggap anti demokrasi. Judul tersebut juga dapat membawa ke sudut pemikiran yang agak aneh, anehnya karena ketika kita menggulingkan Orde Lama juga dengan alasan ingin memperoleh kehidupan demokratis, begitu pula ketika Orde Baru digulingkan juga dengan tujuan ingin mendapatkan demokrasi. Lagi-lagi bahwa apa yang dialami bersama oleh warga bangsa adalah tidak cukup merasakan hakekat demokrasi yang sudah di dengung-dengungkan.
Semua rezim yang pernah eksis di Indonesia menyatakan bahwa dirinya demokratis, lihat saja masa 1945-1959 kita menganut demokrasi Liberal, kemudian karena dianggap terlalu longgar memberikan kebebasan maka pada masa 1959-1966 diberlakukanlah melalui Dekrit Presiden apa yang disebut Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin juga pada akhirnya dianggap tidak pas, otoriterisme nampak sekali, oleh karenanya maka rakyat menginginkan adanya Demokrasi bentuk baru yang lebih menjamin kebebasan. Maka kemudian lahirlah Demokrasi Pancasila, artinya suatu nilai-nilai demokrasi yang jiwai oleh norma yang terkandung dalam Pancasila, setidaknya dapat dikatakan bahwa demokrasi ini adalah demokrasi model Indonesia. Jargon Demokrasi Pancasila yang diusung pada masa 1966-1998, yakni sepanjang mantan presiden Soeharto berkuasa hingga lengser keprabon, lagi-lagi dianggap masih penuh nuansa demokrasi semu, hal tersebut nampak dari sistem kepartaian terbatas, pemilu yang kurang transparan, pemberian kursi gratis pada ABRI (kini TNI/Polri) di DPR/MPR dan sebagainya.
Dari berbagai macam demokrasi yang telah kita laksanakan tersebut, nampak ada gurat kekecewaan, kemudian menjadi bertanya-tanya, kok demokrasinya begini sih, katanya demokrasi namun prakteknya kok seperti itu.
Namun ternyata dari pengalaman panjang tersebut, warga bangsa tidak kemudian anti pati terhadap demokrasi, hal ini ditunjukkan ketika Orde Baru diganti oleh reformasi, ternyata rakyat juga masih menginginkan demokrasi pula. Namun sudah tidak pakai embel-embel liberal, terpimpin atau pancasila sekalipun. Menjadi sebuah pertanyaan, apakah kata sifat itu adalah sesuatu yang sangat mengganggu implementasi demokrasi yang sesungguhnya?, masih memerlukan pembuktian di kemudian hari.
Praktek demokrasi dalam 10 tahun terakhir menunjukkan ada kekurangsiapan dalam melaksanakan demokrasi, misalnya dapat terlihat dari: munculnya gejolak negatif dalam berbagai kasus pilkada karena kalah pemilihan, sampai beberapa kasus menjadi anarkis (membakar, merusak, melukai); kepercayaan yang rendah dari rakyat terhadap penyelenggara pemilu maupun institusi hukum yang berwenang memutus sengketa-sengketa pemilu, sehingga menjadikan persoalan pemilu semakin berlarut-larut; masih digunakannya jalur-jalur kepentingan jabatan maupun modal (dalam konteks negatif) untuk pemenangan pemilu; adanya fakta bahwa setelah pelaksanaan pilkada menjadikan masyarakat terbelah, walaupun bisa terjadi tidak tampak kasat mata keterbelahan masyarakat, namun sangat terasa menjadi konflik yang laten; kadang-kadang para wakil kontestan politik di DPR/DPRD yang kalah pemilu, dengan berbagai cara ingin menjatuhkan pemenang; belum lagi beberapa kejadian kontak fisik yang berkonotasi kekerasan terjadi di gedung parlemen.
Akhirnya rakyat menjadi kecewa, atau minimal tidak ada kebanggaan terhadap partai politik maupun institusi demokrasi lainnya. Sebab apa yang diinginkan oleh rakyat kecil pada umumnya adalah: murahnya sandang-pangan; mudahnya mendapatkan pekerjaan dan uang; terjaminnya beberapa kebutuhan sosialnya, seperti kesehatan dan pendidikan yang murah atau bahkan gratis, dan sebagainya.
Sehingga akan menjadi suatu kontradiksi yang tidak akan pernah ketemu, ketika demokrasi hanya diartikan sebagai sebuah kebebasan rakyat untuk menduduki jabatan tertentu dan power terhadap penguasaan atas rakyat kecil, dihadapkan dengan tujuan demokrasi yakni untuk kemakmuran bersama seluruh rakyat.
Di sinilah kemudian menjadi penting bagi kita untuk dapat memahami korelasi yang tak dapat dipisahkan antara: pertama, demokrasi dan hak asasi manusia; kedua, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.
Demokrasi versus HAM
Demokrasi adalah kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, dalam pengertian ini mestinya praktik kekuasaan dalam lapangan praksis haruslah merepresentasikan substansi keinginan, harapan dan cita-cita rakyat. Oleh karena itu maka kekuasaan yang tidak mengabdi untuk kepentingan rakyat, bukanlah demokrasi itu sendiri.
Demokrasi juga bukanlah suatu praktik aktualisasi kebebasan yang tiada batasnya, misalnya adalah setiap orang boleh dengan semena-mena mengganggu sesuatu yang menjadi kebebasan orang lain. Sebab kalau hal demikian dibiarkan maka yang terjadi adalah anarkisme, menang sendiri dan yang berlaku adalah siapa yang kuat merekalah yang menang.
Oleh karena itu, agar dalam hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik diperlukan pemahaman dan aktualisasi konsep-konsep hak asasi manusia (HAM). HAM diperlukan karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai hak dasar yang telah diberikan Yang Maha Kuasa, artinya dalam posisi ini tiap manusia mempunyai hak masing-masing yang kalau seseorang memahami kepentingan haknya sendiri tanpa memperdulikan terganggunya hak orang lain atas pelaksanaan hak seseorang tersebut akan menjadi suatu kekacauan dalam hubungan bermasyarakat.
Nah, oleh karena itu perlu aturan hukum yang mengaturnya, yakni mengatur aplikasi HAM yang tidak boleh mengganggu HAM pihak lain. Begitu pula dengan aplikasi demokrasi, sebagai sebuah visi kebebasan rakyat juga harus ada koridor hukum yang mengatur praktik demokrasi tersebut. Sehingga dalam kondisi demikian tidaklah ada versus antara demokrasi dengan HAM, keduanya tidak dapat dipisahkan, bahkan harus berjalan seiring.
Kedaulatan Rakyat dan kedaulatan hukum
Pada masa lalu konstitusi kita menyatakan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Hal ini telah nyata menimbulkan penafsiran yang mudah untuk dipolitisasi ke arah yang negatif, artinya penafsiran tersebut cenderung berpotensi meninggalkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sesungguhnya untuk dibajak oleh para elit korup dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Tentunya dengan dalih bahwa rakyat telah memandatkan kedaulatannya pada mereka para elit. Ini yang terjadi setidaknya sepanjang Orde Baru.
Kondisi demikian tidak boleh terjadi terus, harus ada perbaikan dalam sistem aktualisasi kedaulatan rakyat kita. Harus diakhiri munculnya ”sabotase” terhadap kedaulatan rakyat, apakah itu berbentuk pelanggengan kekuasaan seperti dalam kasus Orde Baru ataupun berbentuk pelengseran kekuasaan dengan ”tanpa proses hukum” seperti pernah menimpa Presiden Abdurrahman Wahid.
Atas dasar pengalaman yang buruk tersebut, rakyat melalui wakilnya di MPR mengevaluasi perlunya kedaulatan hukum untuk dapat mengawal aktualisasi kedaulatan rakyat. Sehingga kedaulatan rakyat harus taat pada kedaulatan hukum, artinya dengan kedaulatan rakyat apa saja dapat dilakukan oleh rakyat asal tidak melanggar kedaulatan hukum. Merespon hal tersebut bunyi konstitusi saat ini adalah ”Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945). Bunyi pasal tersebut menunjukkan ada kemajuan hukum kita, tentunya di kemudian hari kita ingin: praktik demokrasi yang kita lakukan senantiasa diimbangi pengakuan terhadap HAM; dan terhadap praktik kedaulatan rakyat senantiasa diimbangi pula dengan hukum yang juga berdaulat. Dengan demikian masih adakah keraguan terhadap kesiapan kita untuk berdemokrasi dan berkedaulatan rakyat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar