Selasa, 11 Maret 2008

Melarang Kelas Jauh dengan Perda, Perlukah?


Pada 29 Mei 2007 lalu, Dewan Pendidikan Lamongan (DPL) mengundang para pimpinan perguruan tinggi di Lamongan plus Dinas P&K Kabupaten Lamongan dalam suatu pertemuan silaturrahim dan forum tukar pikiran yang cukup menarik. Menariknya pertemuan ini karena: pertama, forum pertemuan yang melibatkan pimpinan perguruan tinggi di Lamongan memang baru kali itu dilakukan, maklum biasanya para pimpinan perguruan tinggi cukup sulit berkumpul mungkin karena kesibukan masing-masing; kedua, yang mengundang adalah DPL, biasanya kalau para pimpinan perguruan tinggi yang mengundang dari Kopertis, Aptisi, Pemda atau perguruan tinggi lain. Ketiga, materi masalah yang dibicarakan cukup aktual dan menjadi concern bersama antara semua pihak.
Masalah-masalah tersebut di antaranya adalah: pertama, bagaimana mewujudkan kerjasama yang sinergik antara perguruan tinggi dengan pemerintah daerah dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas dan mutu SDM daerah dalam menyongsong masa depan, suatu kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak yang pada akhirnya akan bermuara kepada keuntungan daerah itu sendiri; kedua, bagaimana mengatasi atau memberantas maraknya kelas jauh dari perguruan tinggi luar kabupaten Lamongan dengan suatu peraturan daerah. Dengan kata lain, ada suatu keinginan dari perguruan tinggi di kabupaten Lamongan untuk peningkatan mutu pendidikan di daerahnya dengan melarang secara tegas kelas jauh dengan suatu peraturan daerah. Namun dalam tulisan ini, penulis cenderung hendak mengulas terkait dengan penyelenggaraan kelas jauh.
Kelas Jauh dan Pendidikan Jarak Jauh
Kedua istilah di atas yakni Kelas Jauh (KJ) dan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) nampaknya hampir sama namun ternyata mempunyai arti dan konsekwensi keabsahan yang berbeda. KJ adalah suatu kelas paralel yang melakukan proses belajar mengajar (academic process) di tempat yang terpisah dengan jurusan atau program studi kampus induknya dengan satu ijin penyelenggaraan yang terdapat pada kampus induk, setidaknya demikian pengertian yang sering dilansir oleh pejabat pada direktorat pendidikan tinggi. Misalnya, ada suatu jurusan atau fakultas dari perguruan tinggi X dari kabupaten/kota lain (atau bahkan dalam satu kabupaten/kota) membuka tempat kuliah terpisah dari kampus induk. Karena terpisah, maka biasanya fasilitas penunjang pembelajaran seperti laboratorium, perpustakaan, unit kemahasiswaan, layanan kantor administrasi bisa dikatakan tidak ada atau cukup minim sekali, namun untuk layanan administrasi kalaupun ada biasanya adalah kepanjangan tangan (perwakilan) dari kantor administrasi induk.
Sedangkan PJJ menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juncto Kepmendiknas Nomor 107/U/2001 tentang Penyelenggaraan Program Pendidikan Tinggi Jarak Jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi dan media lain. Sehingga penyelenggaraan PJJ pasti menggunakan perangkat Information Technology (IT) misalnya untuk fasilitas teleconfrence dan e-learning tutorial (proses perkuliahan dan penugasan dosen melalui teknologi virtual).
Belum cukup demikian, ternyata menurut Surat Dirjen Dikti Nomor: 3040/D/T2005 Perihal Penjelasan tentang penyelenggaraan kelas Jarak Jauh menyatakan bahwa PJJ harus diusulkan terlebih dahulu untuk mendapatkan ijin penyelenggaraan PJJ dari Dirjen Dikti.
Syarat untuk mengusulkan penyelenggaraan PJJ pun ternyata tidak ringan, misalnya: pertama, Mempunyai sumber daya untuk merancang, menyusun, memproduksi, dan menyebarluaskan seluruh bahan ajar yang diperlukan untuk memenuhi kurikulum program; kedua, Mempunyai sumber daya untuk memutakhirkan secara berkala setiap bahan ajar yang diproduksi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; ketiga, Memiliki sumber daya untuk menyelenggarakan interaksi antara dosen, asisten atau tutor dengan mahasiswa secara intensif, baik melalui tatap muka, telekonferensi, surat menyurat elektronik, maupun bentuk-bentuk interaksi jarak jauh yang sinkronus dan asinkronus lainnya, yang menjamin dosen akan dapat mengenal secara individual setiap mahasiswanya, sehingga mampu menjaga kualitas proses pembelajaran; keempat, Mempunyai sumber daya untuk menyediakan fasilitas praktikum dan/ atau akses bagi mahasiswa untuk melaksanakan praktikum;
Kelima, Mempunyai sumber daya untuk menyediakan fasilitas pemantapan pengalaman lapangan dan/atau akses bagi mahasiswa untuk melaksanakan pemantapan pengalaman lapangan; keenam, Mempunyai sumber daya untuk melakukan evaluasi hasil belajar secara terprogram dan berkala minimal 2 (dua) kali per semester; ketujuh, Mempunyai sumber daya dengan bidang keahlian manajemen PTJJ dan pembelajaran jarak jauh; kedelapan, Mempunyai sumber daya untuk mengorganisasikan unit sumber belajar yang bertujuan memberikan layanan teknis dan akademis secara intensif kepada mahasiswa dan dosen dalam proses pembelajaran; kesembilan, Sudah mempunyai ijin penyelengaraan program studi secara tatap muka dalam bidang studi yang sama yang telah diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dengan nilai A atau U (Unggulan); kesepuluh, Bekerja sama dengan perguruan tinggi lain yang sudah mempunyai ijin penyelenggaraan program studi yang sama untuk memfasilitasi kegiatan pengembangan program dan bahan ajar, pemberian layanan bantuan belajar, layanan perpustakaan dan pelaksanaan praktikum dan pemantapan pengalaman lapangan, serta penyelenggaraan evaluasi hasil belajar secara jarak jauh.
Beberapa persyaratan tersebut sangat berat, barangkali hanya dapat dipenuhi oleh PTN/PTS kelas satu di negeri ini. Akibatnya, kelas jauh yang ada saat ini hampir dapat dipastikan di luar ketentuan persyaratan tersebut di atas.
Perda yang melarang KJ
Barangkali usulan tentang larangan KJ melalui Perda oleh perguruan tinggi di Lamongan pada forum DPL juga dilatarbelakangi oleh maraknya KJ dan tidak efektifnya peraturan perundang-undangan nasional yang melarang KJ tersebut di atas. Perda yang berisi larangan KJ di daerah memang dapat dianggap penting dan tidak penting. Dianggap tidak penting karena aturan secara nasional sudah sangat gamblang dan jelas serta tidak ada tidak penafsiran lain. Belum lagi suatu aturan undang-undang adalah berlaku mengikat secara umum, baik level nasional maupun individu yang diatur. Oleh karenanya, persoalan yang harus ditangani bersama adalah bagaimana menegakkan hukumnya, pada satu pihak perguruan tinggi tidak lagi membuka KJ di luar ketentuan yang ada, pada pihak lain konsumen harusnya tidak menggunakan lagi jasa KJ, serta Stakeholder (pemerintah dan dunia usaha) tidak lagi mengakui dan menerima kelayakan ijasah kesarjanaan yang dikeluarkan oleh KJ baik untuk lamaran pekerjaan atau kenaikan pangkat.
Sedangkan pengaturan dalam Perda dianggap penting, dengan alasan untuk lebih memudahkan penegakan hukum dan penumbuhan nilai kesadaran kepada semua pihak terkait di level daerah, baik kalangan pemerintah daerah, perguruan tinggi, maupun konsumen dan stakeholder bahwa KJ adalah tidak benar. Konsekwensinya mau tidak mau semua komponen di daerah akan melaksanakannya.
Dengan Perda atau tidak, ternyata semua peraturan hanya akan menjadi macan kertas apabila tidak ada niatan dan komitmen dari semua pihak untuk segera menghentikan praktik KJ yang kalau dibiarkan terus menerus subur tanpa ada kontrol untuk penjaminan mutu pendidikan yang lebih baik.
Seorang teman rektor di Surabaya menyatakan pada penulis, “bagaimana ya caranya mereka (perguruan tinggi penyelenggara KJ, pen.) bisa menyelenggarakan KJ sebanyak lima atau sepuluh KJ, kami saja cukup kerepotan untuk menjaga mutu dan kualitas pembelajaran, kehadiran dosen dan respon mahasiswa dalam mewujudkan atmosfir akademik yang baik di kampus yang satu-satunya ini”. Suatu ungkapan yang mestinya harus menggelitik semua pihak. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar